Kentang tumbuk berbaur daging cincang sarat bumbu itu membelai lidah dan kerongkongan. Perkedel bakar olahan Augustine “Ine” Samuel itu memaksa saya mengubah “keyakinan” selama ini: tiada perkedel seenak buatan Eyang Putri saya.
Bercita rasa agak beda tapi setara, perkedel bakar itu tersaji dalam pinggan pyrex tahan panas seperti macaroni schootel dan macaroni schootel vegetarian di sisinya. Ada pinggan hidangan berwarna lembayung. Saya sangat mengenalinya: huzaren sla, salad Belanda, potongan kentang, nanas, tomat, daun selada bersaus kuning telur dan dominan bit yang membuat adonan ini berwarna merah ungu.
Dulu, seminggu sekali Eyang Putri atau ibu saya membuatnya untuk “menyeimbangkan gizi” saya dan dua adik yang tak suka sayur. Saya ambil sedikit saja hidangan yang sejak lama saya hindari itu.
Untunglah ada mangkuk favorit saya: sup! “Ini bukan sup, tapi stoof makanya potongan wortel, kentang, kubisnya besar-besar,” tutur ramah Ine, putri Lena Jonathans yang terkenal sebagai pembuat dodol Depok dan sate kambing jempolan, sambil membawa cobek kecil berisi sambal gandaria. Perangsang “jahanam” ini membuat saya tak bisa menolak tawaran untuk mengisi kembali piring dengan perkedel bakar dan stuuf.
Menu ala Belanda home made itu bagi saya menjadi bukti sejati bahwa warga di kawasan Jalan Pemuda, Depok Lama itu memang dibesarkan dengan tradisi Belanda, selain bukti fisik bahwa rumah-rumah di kawasan ini masih banyak yang berarsitektur Indisch (Hindia Belanda).
Ketika kuliah di Universitas Indonesia di kampus baru, Depok, Jawa Barat, saya mendengar istilah Belanda Depok. Seperempat abad kemudian barulah saya sempat berkunjung. Mereka bukan keturunan Belanda yang tinggal di Depok.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR