Gerimis datang dan pergi di Jalan Nanjing, salah satu pusat perbelanjaan di Shanghai, Tiongkok, Sabtu (22/8/2015) malam. Sesekali reda, lalu deras, silih berganti. Namun, orang-orang tak surut dari jalur khusus pejalan kaki itu.
Toko busana, aksesori, swalayan, kedai dan kafe, serta hotel berderet di kanan kiri jalan sepanjang 5,5 kilometer tersebut. Alunan musik terdengar dari deretan toko dan kedai itu. Sesekali kereta wisata melintas. Bolak-balik dari persimpangan Jalan Zhongshan di sisi timur serta Jalan Yan’an dan Jing’an di sisi barat. ”Teng teng teng, tuuuut tuuut tuuut,” suaranya membelah keramaian.
Akhir pekan di Jalan Nanjing memang semarak. Ada lebih banyak turis dan warga berseliweran di pusat perbelanjaan itu. Boks neon, lampu taman, papan iklan digital, dan lampu hias menyala kelap-kelip warna-warni. Di beberapa titik, ada stan pameran busana, promosi produk, serta pentas musik dan pergelaran seni tradisional.
Saya beruntung ada di Nanjing, Sabtu malam itu, karena sebagian warga tengah merayakan Qi Xi. Qi Xi tak ubahnya hari Valentine ala Tiongkok yang biasa dirayakan setiap hari ketujuh bulan ketujuh kalender Tiongkok. Muda mudi keluar rumah untuk merayakan hari kasih sayang. Wajar jika di jalan itu berseliweran anak-anak muda memegang bunga-bunga bertangkai.
Posisi Nanjing terbilang strategis. Jalan ini merupakan penghubung dua lokasi favorit yang diburu wisatawan di Shanghai, yakni The Bund di tepian Sungai Huangpu di bagian timur dan Shanghai People’s Square di bagian barat. Itu sebabnya Nanjing tak pernah sepi. Konon sedikitnya 1 juta orang melintasi Jalan Nanjing setiap hari.
Dari kamar hotel tempat menginap, Majesty Plaza Hotel, denyut Nanjing cukup terasa. Hotel ini diapit Jalan Najing dan Jalan Jiujiang, tepat di pintu depan dan pintu belakangnya. Pukul 06.00, ketika toko dan perkantoran di kawasan itu belum buka, pejalan kaki sudah berseliweran. Jalanan bertambah ramai pada pukul 09.00 dan terus berlangsung hingga pertokoan tutup pukul 22.00.
Kini, ada ratusan toko dan tempat belanja dengan ”rentang kelas” yang lebar di sepanjang jalur itu. Ada tempat makan yang jamak, seperti KFC, Pizza Hut, dan McDonald’s, serta kedai-kedai khusus makanan ala Jepang, Thailand, dan Korea. Ada pedagang suvenir dan oleh-oleh dengan harga miring dan bisa ditawar, tetapi ada pula toko-toko dengan dagangan kelas dunia, seperti Zara, Tiffany, danMont Blanc.
Denyut kemajuan
Bagi pencinta belanja, Nanjing adalah surga. Namun, ada ”surga kecil” lain untuk berbelanja di Shanghai antara lain Pasar Yuyuan. Pasar ini tumbuh seiring ramainya peziarah ke kuil. Kini, Yuyuan menjadi ikon pasar tradisional yang ramai dikunjungi turis sekaligus menjadi ikon Shanghai lama.
Bangunan di pasar itu umumnya telah melewati fase rekonstruksi. Di satu sisi, bangunan menyimpan karakteristik rumah di akhir Dinasti Qing (1840-1911), sementara di sisi lain mewakili gaya arsitektur Dinasti Ming (1368-1644). Para turis dan penduduk setempat datang untuk menemukan barang unik, makan, atau berbelanja kerajinan dari bambu, ukiran, lukisan, dan kain.
Ah, andai pasar-pasar tradisional di Jakarta bisa ditata seperti ini. Masih mempertahankan bentuk aslinya sebagai pasar rakyat, tetapi juga tertata bersih dan rapi sehingga menarik turis.
Anda sangat bisa menawar di pasar ini. Satu potong kaus bergambar ikon Shanghai, misalnya, ditawarkan 50-90 yuan atau sekitar Rp 100.000-Rp 180.000. Namun, setelah ditawar harganya bisa turun menjadi 20-30 yuan. Barang suvenir, seperti gantungan kunci, magnet, dan alat cap, ditawarkan 5-40 yuan. ”Dengan harga yang ditawarkan (pedagang), Anda bisa pulang dengan jumlah suvenir yang besar,” kata seorang pedagang untuk meyakinkan bahwa dagangannya murah.
Akan tetapi, berkunjung ke Shanghai tak melulu soal belanja. Di ujung timur Nanjing ada The Bund. Area terbuka di tepi Sungai Huangpu ini menjadi tempat kumpul dan berfoto yang ramai.
Ada yang memilih deretan bangunan kuno di sisi barat sebagai latar. Ada yang memilih gedung-gedung modern di sisi timur di seberang sungai.
Dari Bund, pengunjung bisa dengan jelas melihat deretan gedung pencakar langit di Distrik Pudong yang bermandi cahaya di malam hari. Dari lokasi ini, foto-foto yang menjadi penanda Shanghai banyak beredar di internet. Foto dengan gambar Sungai Huangpu dan deretan gedung pencakar langit, termasuk Oriental Pearl Tower, Shanghai World Financial Center, Jin Mao, dan Shanghai Tower dengan ketinggian 632 meter.
Berjalan kaki menyusuri Nanjing menuju The Bund seolah merekam perjalanan Shanghai. Bangunan-bangunan kuno terawat dengan baik, sementara di bagian yang lain gedung-gedung modern dibangun di kawasan yang ditata baik. Dari tepian, dua sisi kota itu terlihat jelas: Shanghai lama di Puxi dan Shanghai baru di Pudong.
Pikiran kembali melayang ke rencana revitalisasi Kota Tua Jakarta yang tak kunjung usai.
Pamela Yatsko di bukunya New Shanghai menulis, Shanghai bangkit dengan cepat awal 1990-an ketika pemerintah pusat mendukung pengembangannya melalui sejumlah tindakan penting antara lain menyetujui pendirian kawasan baru di Pudong yang awalnya merupakan area pertanian. Pertumbuhan ekonomi dua digit selama beberapa dekade membuat Shanghai tumbuh menjadi pusat keuangan, bisnis dan perdagangan, manufaktur, serta komunikasi. (Mukhamad Kurniawan)
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR