Para pembatik tak henti-henti menciptakan inovasi dalam dunia perbatikan di tanah air. Dari awalnya batik tulis lalu berkembang ke batik cap, sampai ke print lilin/malam dan print warna/sablon. Inovasi teknik pembuatan batik tak berhenti di situ, kemudian muncul lagi batik cabut warna dan batik embos.
Kini yang paling terbaru adalah batik burn out yang diperkenalkan oleh Muh. Zaenudin (43 tahun), pembatik asal kota Pekalongan pada acara diskusi yang diselenggarakan Yayasan Batik Indonesia di Museum Tekstil, Jakarta (8/10/2017).
(Baca juga: Menyibak Kisah dan Filosofi di Balik Motif Batik Lasem)
Pemuda lulusan pertama Fakultas Batik Universitas Pekalongan itu mengatakan, ia telah bereksperimen membuat batik dengan teknik burn out. Teknologi Burn Out (BO) lebih dikenal dalam industri printing (sablon), yang pada dasarnya menghilangkan salah satu jenis seratnya pada kain campuran serat seperti polyester-kapas atau polyester-rayon.
Dengan cairan tertentu, kandungan salah satu seratnya pada selembar kain yang berserat campuran bisa dihilangkan. Dengan menghilangnya salah satu seratnya maka kandungan warna di salah satu seratnya pun akan hilang. Ketika dipadukan dengan teknik membatik maka ia bisa memilih bagian mana yang warnanya akan dihilangkan dengan cara menutupnya dengan malam atau lilin, seperti tenik membatik pada umumnya.
Teknik ini bisa diterapkan pada pewarnaan batik dengan teknik printing dan teknik perendaman. Berkali-kali ia sudah mencobanya dan hasilnya menunjukan hal yang positif.
(Baca juga: Menyesapi Filosofi Batik Nusantara)
Untuk membuat batik burn out serat yang dihilangkan adalah serat yang terbuat dari kapas atau rayon. Dengan direndam larutan asam sulfat dengan komposisi 70%-30% dibanding air selama 15 sampai 20 menit, maka serat kapas atau rayonnya yang tidak dilindungi malam atau lilin akan terbakar dan lebur dalam larutan asam. Sehingga yang tersisa hanya polyesternya dan bagian kain yang tertutup malam.
“Hasilnya adalah polyesternya akan menjadi transparan seperti brokat,” jelasnya di depan peserta diskusi sambil menunjukan hasil eksperimennya. “Ini hasil yang belum sempurna, karena ada bagian yang masih ada sisa-sisa serat sehingga belum benar-benar transparan,” lanjutnya lagi.
Ia mengakui hasil eksperimennya belum sempurna, tapi sudah menunjukan hasil yang positif. Yang diperlukan adalah eksperimen-eksperimen lanjutan untuk menyempurnakan batik burn out gagasannya.
(Baca juga: Memintal Cerita Wastra Asli Bumi Laskar Pelangi)
Ketua Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia, Rahadi Ramelan, yang juga jadi pembicara soal hak cipta dalam diskusi itu menegaskan bahwa metode membuat batik seperti gagasan Muh. Zaenudin ini bisa dipatenkan.
“Ini jadi peluang. Kalau metode baru bukan lagi hak cipta tapi ini bisa dipatenkan. Kalau motif batik bisa menjadi hak cipta, kalau ini bisa dipatenkan,” tegas mantan menteri dan juga peneliti ini.
Menurutnya, UNESCO telah mengakui Batik Indonesia sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity alias Budaya Tak Benda Warisan Manuia. Termasuk juga dengan segala dinamikanya dan gagasan-gagasan baru yang timbul kemudian.
Nampaknya Muh. Zaenudin harus terus melakukan eksperimen sampai batik burn out-nya sempurna dan kita juga kita harus bersabar untuk menunggu batik itu menjadi produk massal yang mengisi pasar batik di dunia.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR