Jauh di dataran tinggi Honshu utara, Jepang, orang-orang Matagi memulai perburuan musim dingin. Mereka berdoa sebelum memasuki kawasan gunung nan suci, lalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendengarkan, menunggu, dan mengawasi; menangkap tanda-tanda yang nyaris tak terlihat bahwa beruang hitam sudah dekat.
Kelompok para lelaki itu kemudian dibagi dua, kelompok pertama bertindak sebagai penjaga, sementara yang lainnya sebagai umpan. Dengan perlahan, mereka mendekat sebelum akhirnya penembak jitu melepaskan tembakannya. Noda merah membekas di atas salju yang putih bersih ketika bangkai beruang itu diseret menuju tanah datar terdekat untuk dikuliti dan dipotong-potong menggunakan pisau tradisional Matagi. Bagian usus beruang ditinggalkan sebagai persembahan terhadap dewi gunung.
(Baca juga: Kota Meksiko Kecil yang Merangkul Islam)
Formalitas dan kekuatan spiritual dari tindakan membunuh ini membedakannya dari perburuan modern. Matagi merupakan komunitas pemburu yang berasal dari abad ke-16. Setiap permukiman di utara Honshu memiliki ciri khas tersendiri, namun semuanya menganggap diri mereka sebagai penjaga khusus keseimbangan alam. Namun karena beruang hitam Jepang–mangsa utama mereka–ditetapkan sebagai spesies terancam, perburuan tersebut kini dihadapkan pada kontroversi.
Fotografer Javier Corso menghabiskan 15 hari bersama para Matagi, mengambil foto yang menggambarkan bagaimana praktik mereka berakar pada 400 tahun sejarah. Corso mengerjakan proyek tersebut sebagai bagian dari perusahaan produksi OAK stories, agensi jurnalis, fotografer, dan pembuat film yang berfokus pada cerita lokal. Ia bekerja bersama Alex Rodal, kepala penelitian di OAK yang melakukan penelitian selama enam bulan di Matagi sebelum pemotretan.
(Baca juga: Pengasingan Bagi Wanita Nepal yang Sedang Menstruasi)
"Saya ingin menunjukkan asal-usul komunitas ini sehingga orang-orang dapat memahami apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya," kata Corso. "Saya ingin menunjukkan ketenangan berburu dan komunikasi mereka dengan gunung."
Di samping kekasaran mendalam dari pembunuhan dalam perburuan tersebut, foto-foto Corso menyampaikan sebuah identitas yang sangat terkait dengan binatang yang mereka cari.
Perburuan itu merupakan praktik spritual yang sangat kuat, dan Corso merupakan yang pertama diizinkan untuk mendokumentasikannya, di luar fotografer Jepang Yasuhiro Tanaka.
(Baca juga:"Sumpah Laut", Bentuk Kearifan Lokal yang Masih Bertahan di Bumi Nusantara)
Corso dan timnya menghabiskan lima hari bersama kelompok Matagi, berusaha mendapatkan kepercayaan mereka dan mempelajari budaya mereka, sebelum akhirnya diajak ke gunung.
"Saya sangat terkesan dengan cara mereka berburu," ujar Corso. "Itu benar-benar penuh hormat. Meskipun mereka mengenakan pakaian modern, banyak yang berburu dengan senjata yang sama dengan leluhur mereka tujuh generasi lalu.
Tetapi perburuan itu telah dibatasi dalam beberapa tahun terakhir. Menyusul bencana nuklir di Fukushima pada tahun 2011, negara melarang masyarakat Matagi untuk memasarkan daging beruang selama enam tahun karena kekhawatiran akan kontaminasi. "Mereka terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup," ujar Corso.
Selain itu, ada banyak pembatasan birokrasi yang sekarang berlaku soal perburuan. "Proses untuk mendapatkan lisensi berburu beruang hitam sangat menjemukan dan mahal. Anda juga harus memperbaharuinya setiap tiga tahun, bahkan jika Anda tidak terlibat langsung dalam perburuan sesungguhnya," ujar Alex Rodal. "Hal ini membuat para pemuda enggan melakukannya."
Seperti halnya komunitas-komunitas awal negara, praktik budaya mereka berada dalam ancaman. "Jika suatu saat beruang hitam Jepang punah, Matagi tidak akan menjadi penyebabnya" ujar Rodal. "Saya pikir komunitas Matagi akan hilang bahkan sebelum spesies beruang itu punah," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR