Upaya Atasi Kekurangan Gizi dengan Memanfaatkan Panganan Lokal

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 11 Januari 2019 | 09:30 WIB
Anak-Anak di Timor Leste. (urf/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id - Menurut data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Timor Leste memiliki angka kekurangan gizi yang tertinggi di dunia. Lebih dari 50% anak-anak di negara tersebut, menderita stunting–kondisi yang dapat memengaruhi perkembangan mental dan fisik mereka dalam jangka panjang. 

Melihal hal tersebut, Mark Notaras, dan istrinya, Alva Lim, meluncurkan organisasi nonprofit bernama Timor-Leste Food Innovators Exchange (TLFIX) untuk mengedukasi warga di seluruh Timor Leste untuk memasak makanan sehat dengan bahan-bahan yang tersedia di sana.

Baca Juga : Cara Efisien Memetakan Kemiskinan: Gunakan Gambar Satelit Antariksa

Dilansir dari voaindonesia.com, mereka berharap dapat meyakinkan warga untuk membuat makanan murah dengan tanaman asli yang tumbuh di negara itu.

“Kami mendorong warga untuk mengonsumsi beragam bahan pakan yang ada di sekeliling mereka guna meningkatkan asupan gizi,” ujar Notaras, dikutip dari VOA.

Sebelumnya, UNICEF telah memberikan pelatihan bagi para ibu di Timor Leste untuk menyajikan makanan yang lebih sehat. Misalnya, dengan menggabungkan wortel dan sayuran hijau, ke dalam nasi yang menjadi makanan utama anak-anak. 

Sementara itu, Notaras dan Lim menerapkan pendekatan yang lebih inovatif. "Kami menggunakan dongeng tentang makanan untuk memperbaiki asupan gizi anak-anak," kata Notaras. 

Mereka juga bergabung dengan beberapa organisasi serupa. Salah satu contoh yang bisa diikuti adalah cara Bioversity International yang berpusat di Roma, mengubah tren konsumsi makanan impor. Sebaliknya, mereka berhasil mempromosikan makanan dari bahan baku khas di wilayah tersebut, seperti "bayam Maya". 

Baca Juga : Bukan Sekadar Bahan Bacaan, Buku Mampu Pengaruhi Perilaku Sosial Anda

Namun, rencana ini tidak semudah yang dibayangkan. Perlu diketahui bahwa beras yang ada di Timor Leste, harganya tiga kali lebih mahal dibanding varietas yang diimpor dari Vietnam.

Selain itu, menurut Notaras, untuk mengubah perilaku dan dinamika pasar, perlu waktu hingga puluhan tahun. 

Lim berharap, warga Timor Leste dapat mengurangi konsumsi makanan impor yang telah mengalami pemrosesan, termasuk saus dan kecap botolan. 

“Ada begitu banyak keragaman makanan di Timor Leste. Saya akan merasa sedih jika itu tidak dimanfaatkan dan akhirnya punah," kata Lim.