Reruntuhan Keraton Plérèd yang berlokasi di tenggara Kota Yogyakarta merupakan bekas istana Amangkurat Pertama. Sisa tembok yang mengelilingi keraton itu telah menjadi benteng batu terakhir bagi laskar Dipanagara. Pada Juli 1826, sebulan setelah Pertempuran Plérèd, operasi pengejaran diteruskan untuk menyerbu Dekso, sebuah desa yang menjadi markas besar Dipanagara di sisi barat Kali Progo. Namun, pasukan Belanda hanya menjumpai desa itu telah ditinggalkan penghuninya. Seorang janda Van Ingen, perwira Belanda yang tewas di Nanggulan, pernah menyanjung Errembault yang beruntung bisa selamat dalam kecamuk perang di Eropa dan Jawa. Namun, Sang Kapten itu hanya menimpalinya, “Sejatinya, waktuku belumlah datang.” Pada akhirnya, selepas enam bulan dari Perang Jawa, Errembault meninggal dengan kepangkatan mayor di Antwerpen, Belanda, pada September 1830. Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti di Ecole Française d'Extrême-Orient (EFEO) menemukan kembali catatan harian Errembault di sebuah pasar loak tepian Seine, Prancis. Sang peneliti itu adalah Henri Chambert-Loir, yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Prancis dan pernah menjabat sebagai Kepala EFEO di Jakarta. Kini, buku harian yang sarat gambaran sejarah itu tersimpan di perpustakaan EFEO di 22 Avenue du President Wilson, Paris, Prancis.
Baca Juga : Ketangguhan Haenyeo, Para Penyelam Perempuan di Pulau Jeju
“Saya sangat senang kalau buku harian ini menarik bagi Anda,” kata Peter Brian Ramsay Carey kepada National Geographic. Dia merupakan salah satu sejarawan Inggris dari University of Oxford yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Dipanagara. Menurutnya, Errembault juga membuat catatan harian dalam Perang Peninsula di Spanyol dan Portugal selama 1807-1811, tetapi dia kemudian turut dalam Perang Napoleon di Rusia di mana buku harian itu hilang pada Pertempuran Borodino pada Agustus 1812. “Jadi kita sangat beruntung karena catatan harian yang istimewa ini selamat—dan ajaibnya justru ditemukan di pasar loak di Seine.”Inilah satu-satunya buku harian Errembault yang selamat. Pada saat ini Carey dan Mark Loderichs—sejarawan militer Belanda dan peneliti dari Museum Bronbeek—sedang berupaya menerbitkan catatan harian Errembault de Dudzeele et d’Orroir. “Ini bukan satu-satunya catatan harian dari periode ini. Namun, inilah catatan yang paling menarik dengan sudut pandang kemanusian dan sejarah sosial,” ujar Carey.
Simak “Kisah Tragis Sang Pangeran dan Gelora Perang Jawa” dalam majalah National Geographic edisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.