Keanggunan Legong Kuntul dan Filosofi Kearifan Melestarikan Alam

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 27 Juni 2019 | 16:46 WIB
Tari Legong Kuntul, salah satu dari 15 varian dari tari Legong Keraton. (Rifqi Rizqullah/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id— Biasanya, Legong Kuntul dibawakan oleh dua hingga enam gadis berkipas. Aturan bakunya, mereka adalah para gadis yang belum mendapat menstruasi, dan dipentaskan di halaman keraton kala bulan purnama.

Tarian Legong Kuntul merupakan bagian dari tarian pementasan. Legong berasal dari kata “leg” dan “gong”. “Leg” yang bermakna “gerakan nan luwes”, sementara “gong” adalah tetabuhan gamelan. Alunan tetabuhan yang mengiringinya dikenal sebagai Gamelan Semar Pagulingan. Tanah Para Dewa memiliki sederet tarian legong, konon tarian legong mulai dipentaskan pada akhir abad ke-19. Tampaknya, Legong merupakan kelindan dari berbagai unsur tari yang berbeda dari kebudayaan Hindu Jawa yang awalnya diekspresikan lewat tarian tradisi berjenis drama tari atau gambuh.

Tarian Legong Kuntul mengingatkan para pelancong Tanah Para Dewata tentang kawasan lestari di sepanjang jalan Desa Petulu, Ubud, yang dihuni ratusan kuntul—mungkin seribuan! Burung-burung itu membuat sarang di pohon-pohon sepanjang jalan desa. Warga Petulu menghormati keberadaan kuntul-kuntul itu sebagai bagian dari filosofi hidup mereka. Warga desa tak ada yang berani mengusir kawanan kuntul itu. Bahkan mereka meyakini bahwa melimpahnya panen tak terlepas dari peran kawanan kuntul dalam menjaga sawah dan ladang mereka.

“Aneh juga, kenapa kokokan itu betah di sini. Padahal banyak desa memiliki pepohonan seperti desa kami, ujar seorang warga Petulu. “Kalau ingin menyaksikan burung kokokan terbang di desa sini, datanglah sebelum matahari terbit atau sebelum matahari terbenam.”

Baca juga: Ketika Masyarakat Tuli-Bisu Menari di Desa Bengkala