Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 24 Juli 2019 | 19:29 WIB
Suasana mandi dalam kamp tawanan perang Jepang di Kampong Makassar, Jakarta. Kamp ini khusus dihuni perempuan dan anak-anak. (Tropenmuseum/Wikimedia commons)

Seorang perempuan Eropa sedang memasak dengan cara primitif di lingkungan yang tidak sehat. Keadaan ini banyak dijumpai di berbagai kamp tawanan perang Jepang. (Australian War Memorial)

Nio menulis secara saksama mengenai pengalamannya hidup di kamp tawanan Jepang. Kemudian pada 1946 dia  menerbitkannya dengan judul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Sementara itu sebuah buku serupa ditulis oleh Rita la Fontaine de Clercq Zubli berjudul Disguised, yang terbit pertama kali di London pada 2007.

Rita merupakan gadis Indo-Belanda. Kala menjadi tawanan Jepang, dia baru berusia 12 tahun. Selama di kamp, Rita menyamar sebagai anak lelaki. Penyamaran itu telah menyelamatkan nasibnya: lepas dari perekrutan jugun ianfu—perempuan pemuas seks para serdadu Jepang. Para tawanan perang, menurut Rita, keluarganya menerima ransum berupa gula, biji jagung, minyak, kopi, teh, garam, dan merica. Mereka hidup bersama 700 perempuan dan anak-anak dari berbagai kebangsaan. “Biji jagung itu tidak layak dimakan manusia. Sebelum bisa dimasak, harus ditumbuk menjadi tepung atau direndam semalaman agar lembut,” ungkapnya. “Minyak gorengnya paling aneh, berupa benda padat yang tebal berwarna jingga, mirip margarin dicampur saus tomat.”

Baca juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia BelandaTawanan lelaki dan tawanan perempuan ditempatkan di kamp terpisah. Mereka menghadapi kebiasaan hidup yang berubah drastis. Seperti soal makanan, mandi pun menjadi persoalan, baik bagi perempuan maupun laki-laki sekalipun. Jalan termudah untuk menyesuaikan kehidupan kamp adalah, ungkap Rita, dengan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru.

Para perempuan menggunakan kain sarung untuk mandi di sumur. Satu tangan memegangi sarung, sementara tangan lainnya mengguyur air dengan gayung. Ketika menyabuni badan, tepian sarung digigit, sementara dua tangan bekerja di dalam sarung. “Sulit sekali menggunakan sarung sebagai penutup tubuh,” ungkap Rita. “Aku merasa seperti tukang sulap saja.”Namun, Nio mempunyai kisah sendiri soal acara mandi di kamp. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Bisa dimengarti,” tulisnya. “Kita moesti mandi berbareng sama banjak orang dengen... terlandjang!” Mereka yang tidak suka mandi dengan cara ini, ungkap Nio, bisa mandi bercelana. “Dan ini soesah dilakoeken sebab kita tida ada poenja tjelana laen boeat gantinja itoe!”Meskipun Nio dan Rita terpaut usia dan lokasi kamp yang jauh, keduanya mengalami suatu masa yang menorehkan kenangan nan tak lekang. Masa itu telah menjungkirbalikkan kehidupan mereka di sebuah kawasan asing bak hidup di dunia lain.

Potret Rita la Fontaine de Clercq Zubli di buku memoarnya tentang masa pendudukan Jepang 1942-45. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)