Jumlah Populasi Satwa Endemik Anoa dan Babirusa Mengkhawatirkan

By Silvia Triyanti Luis, Senin, 9 September 2019 | 10:39 WIB
Anoa (Gloria Samantha)

Nationalgeographic.co.id – Populasi Satwa endemik Sulawesi tengah kian berkurang. Balai Besar Taman Nasional melakukan monitoring terhadap beberapa jenis satwa endemik seperti anoa dan babirusa sejak 2014 yang terdapat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.

Berdasarkan monitoring yang dilakukan terdapat penurunan populasi untuk anoa dan Babirusa. Penurunan populasi ini mengkhawatirkan kepunahan yang akan dialami oleh satwa endemik yang ada di Indonesia. Berdasarkan monitoring terakhir pada tahun 2018 anoa hanya berjumlah sekitar 10 ekor hal ini menurun 87 persen dibanding dengan baseline data awal di tahun 2013.

Penurunan jumlah populasi juga terjadi pada babirusa. Pada data awal tahun 2013 jumlah populasi babirusa sebesar 74 sedangkan data 2018 mengatakan bahwa hanya terdapat 41 ekor. Perbedaan data ini mengakibatkan penurunan jumlah populasi sekitar 44 persen dalam kurun waktu 5 tahun.

Dilansir dari VOA, Dedy Asriadi Kepala Bidang Teknis Konservasi BBTNLL mengatakan diperlukan penelitian lebih jauh untuk mengetahui penyebab penurunan populasi terkait dua satwa endemik tersebut.

“Keterancaman satu jenis  kan ada dua faktor, pertama memang habitatnya itu terfragmentasi artinya yang dulunya menjadi habitatnya itu terkonversi menjadi penggunaan lain, biasanya begitu yah, jadi kebun kah atau apa, atau yang kedua itu akibat perburuan,” ujarnya.

Dedy mengatakan terkait adanya penurunan poluasi tersebut ia juga meminta bantuan kepada pihak lembaga pendidikan di wilayah tersebut untuk ikut terlibat dalam melakukan penelitian terkait penurunan populasi dua satwa ini. Dengan luas Taman Nasional Lore Lindu yang mencapai 115.733,70 ribu hektare, ia membutuhkan keterlibatan dari pihak pemangku kepentingan disana untuk memberikan sejumlah data kepada BBTNLL. Rencananya pada bulan September 2019 akan dilakukan monitoring kembali dengan menggunakan teknologi kamera pemantau di sekitar wilayah tersebut.

Koordinator lapangan EPASS, Program Peningkatan Sistem Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ilfianti menjelaskan bahwa ada salah satu cara untuk menurunkan tingkat ancaman di kawasan tersebut. Caranya adalah dengan membangun kesepakatan konservasi masyarakat (KKM) melalui perjanjian kerjasama (PKS) antara pemerintah desa dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.

Dalam kesepakatan itu menurutnya memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan akses pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di zona tradisional untuk kebutuhan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Jusman, Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu juga menanggapi hal tersebut dengan senada. Ia mengatakan bahwa dengan pemanfaatan HHBK di zona tradisional dapat memberikan dampak peningkatan perekonomian masyarakat. Adanya hal ini membuat masyarakat tidak perlu lagi untuk merambah hutan guna mencari nafkah dan mengganggu habitat satwa-satwa endemik seperti anoa dan babirusa.

Selain satwa anoa dan babirusa, tercatat juga ada sekitar 225 burung di Taman Nasional Lore Lindu, termasuk 78 jenis endemik Sulawesi dan 46 jenis yang penyebarannya terbatas. Kekayaan jenis burung tersebut membuat  Taman Nasional Lore Lindu menjadi surga bagi para pengamat burung.