Tradisi Kapur Sirih dalam Tarian Sangkan Siheh di Tepian Lematang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Januari 2021 | 22:15 WIB
Batil, demikian orang Gayo menyebut tempat pinang sirih. Inilah satu-satunya pusaka Desa Tampor Paloh yang selamat dari banjir bandang awal dekade pertama pada abad ini. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Matahari beranjak mengangkasa. Lima perempuan meringis menahan rasa panas yang mengikis. Kaki-kaki mungil mereka berjingkat menapaki batu-batu tepian Sungai Lematang. Mereka berbusana songket merah ceria dengan mahkota dan taburan aneka hiasan warna emas yang berkilau.Tampak di latar belakang mereka Bukit Serelo yang berada dalam naungan kelambu asap kebakaran lahan.

Apapun alasannya, mereka harus tersenyum memesona.

“Ini tari sambut,” ujar Fidriansyah Fieter Gumay, selaku koreografer. “Judulnya Sangkan Siheh.” Dalam bahasa Lahat, sangkan berarti karena atau sebab dan siheh berarti sirih. Setiap tamu akan kita sambut dengan tarian ini.”Pada  zaman dahulu biasanya dipentaskan untuk para pembesar dan raja, ungkap Fieter, kini biasanya dipentaskan untuk menghormat pejabat negara.  

Tari Sangkan Siheh biasanya dipentaskan paling sedikit oleh lima penari, atau maksimal 15 penari. Jumlahnya harus ganjil, bukan syarat mistik, melainkan syarat estetik lantaran satu penari harus membawa kotak sirih.

Tradisi pinang sirih jamak dijumpai di Nusantara. Pohon pinang atau Areca catechu adalah spesies palem yang tumbuh di sebagian besar wilayah tropis Pasifik, Asia, dan sebagian Afrika Timur. Pohon ini termasuk dalam famili Arecaceae pada ordo Arecales.

Dawn F. Rooney dalam bukunya bertajuk Betel Chewing Traditions in South-East Asia, mengungkapkan bahwa "penggunan kata pinang dan sirih secara luas dijumpai di Indonesia, yang mungkin merujuk kawasan asal mulanya di mana kedua kata itu kerap digunakan."

Tradisi pinang sirih diduga mulai ada lebih dari 3.000 tahun silam, mungkin lebih awal. Berkembang di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Madagaskar. Tradisi pun masih dijumpai di kawasan Nusantara sampai abad ini.

"Selain dikunyah," ungkap Rooney, "sirih dan bahan lainnya banyak digunakan untuk tujuan pengobatan, magis, dan simbolik." Pinang sirih diberikan sebagai pencegahan sejumlah besar penyakit, termasuk gangguan pencernaan dan cacing. Dia mengungkapkan juga bahwa orang-orang meyakini racikan itu dapat memfasilitasi kontak dengan kekuatan supernatural sehingga kerap digunakan untuk mengusir roh, terutama yang berhubungan dengan penyakit.

"Sirih membina hubungan," imbuh Rooney. "Berfungsi sebagai jalan komunikasi antara kerabat, kekasih, teman, dan orang asing." Lantaran keterikatannya yang begitu erat dengan masyarakat pendukungnya, sirih digunakan secara simbolis untuk memantapkan tindakan keadilan seperti sumpah setia dan penyelesaian tuntutan hukum. "Sirih adalah pengganti uang sebagai pembayaran kepada bidan dan ahli bedah untuk layanan yang diberikan."

Beberapa cerita rakyat Melayu mendokumentasikan betapa penting pinang sirih dalam tatanan budaya masyarakat. Salah satunya legenda perkelahian Hang Tuah dan Hang Jebat di Kesultanan Malaka. Selama perkelahian itu Hang Tuah meminta istirahat untuk mengunyah sirih. Saat mengunyah sirih itulah Hang Tuah lengah. Lawannya, Hang Jebat, tahu kesaktian keris itu. Dia lalu mendekatinya dan merampas keris milik Hang Tuah. Akhirnya, Hang Jebat memenangi perkelahian itu bukan oleh kekuatannya melainkan karena Hang Tuah menghentikan mengunyah sirih. 

Tradisi ini masih lestari dalam budaya Melayu, meskipun pendukungnya kian sedikit. Mereka umumnya adalah orang-orang tua.

“Sampai sekarang masih ada tradisi kapur sirih di Lahat,” ujar Nurhidayati, salah seorang penari senior. Dia telah menekuni hobi menarinya sejak sepuluh tahun silam. Salah satu prestasi dalam hidupnya adalah sebagai duta Kabupaten Lahat untuk menari di depan pengunjung Tong-Tong Fair atau Pasar Malam Besar di Den Haag, Belanda.

Nurhidayati mengatakan bahwa tradisi kapur sirih masih terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lahat di pedalaman, namun hanya dilakukan oleh perempuan-perempuan tua. Racikannya, kapur dan sirih—tanpa pinang dan tembakau. Bahkan, tradisi itu masih berlanjut hingga zaman sekarang. Sangkan Siheh menawarkan sirih sebagai “kudapan” selamat datang bagi tamu yang berkunjung ke Lahat.

Para penari Sangkan Siheh yang berlatar Sungai Lematang dan Bukit Serelo, tengara Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)