Mitos Penemuan Api dalam Budaya Tutur Warga Lewolema, Flores Timur

By Natalia Mandiriani, Rabu, 25 September 2019 | 17:03 WIB
Dalam Ritus Api ini akan dinyalakan tujuh obor yang mewakili 7 desa yang ada di Kecamatan Lewolema. Dulunya ritus ini untuk kegiatan pembakanan kayu di kebun adat yang bertujuan membersihkan segala macam penganggu. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Mitos penemuan api, menurut masyarakat Lewolema, adalah peristiwa penting. Utamanya soal mengobarkan semangat dan pembersihan segala bahan pengganggu. Api menjadi sebuah tata cara dalam upacara keagamaan (ritus) yang terjadi pada kegiatan pembakaran kayu di kebun adat.

Api yang dihasilkan bukan sembarang api. Warga Lamaholot membuat api dari kayu-kayu, yang dipercaya ada peran nenek moyang. Bilah-bilah kayu saling digesekkan hingga mengeluarkan percikkan api. Dari situ, api dipindahkan ke media yang lebih besar, seperti obor.

Ritus api menjadi penanda pembukaan Festival Lamaholot Flores Timur 2019. Lamaholot adalah suku bangsa yang mendiami pulau Flores Timur, Adonara, Lembata, Solor, dan Alor.

Baca juga: Pesan di Balik Pemakaman, Kebersamaan, dan Pluralisme di Toraja

Lama dalam bahasa aslinya berarti kampung dan Holot artinya bersambung. Secara harafiah, Lamaholot adalah kampung yang bersambung-sambung. Festival ini mengangkat tema Puin Ta’an Uin To’u, Gahan Ta’an Kahan Ehan, Pai Ta’an tou yang artinya Mari Jadi Satu.

Ritus Api dihadirkan pada pembukaan festival dengan harapan membakar obor semangat dan menjauhkan penghalang serta rintangan. Tradisi ritus api senantiasa dinyalakan demi merawat peradaban.

Acara yang terselenggara berkat kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Flores Timur dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini dilaksanakan di dua tempat, yakni Desa Bantala, Kecamatan Lewolema, dan Pulau Adonara.

Para sesepuh adat Lewolema melingkar menyalakan api dengan cara menggesekkan bilah kayu dalam Ritus Api. Ritus ini menjadi simbolisasi pembukaan Festival Lamaholot 2019 yang memiliki filosofi membakar semangat dan menjauhkan segala penghalang dan rintangan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Festival yang diadakan pada 11-15 September 2019 ini diharapkan menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional masyarakat Lamaholot dan membangkitkan masyarakat untuk terus menjaga warisan kultural.

Baca juga: Belajar Tentang Perbedaan dari Suku Korowai di Papua

“Pada festival kali ini, konsep gotong-royong menjadi roh yang menggerakkan komunitas-komunitas seni budaya yang ada untuk berkontribusi secara nyata,” ujar Anton Hadjon, Bupati Flores Timur dalam pidatonya membuka festival ini.

Tahun ini menjadi kali kedua Festival Lamaholot dilakukan. Warga masyarakat tampak antusias mengikuti seluruh rangkaian. Dari anak-anak hingga orang dewasa turut berpartisipasi dengan cara masing-masing.

“Senang sekali ada festival seperti ini,” kata Ariel, seorang anak 10 tahun yang turut berpartisipasi dalam kemeriahan festival ini. Ia dan teman-temannya menjadi pagar betis saat pembukaan Festival Lamaholot tahun ini pada 11 September 2019.

Yosep Bala Koten (34) berpose dengan menggunakan pakaian adat saat mengikuti serangkaian acara Festival Lamaholot di Desa Bantala, Larantuka, Flores Timur. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia.)