Nationalgeographic.co.id - Lapangan Mayangan berada di salah satu badan Jalan Patimura. Lapangan ini sedang diisi oleh balon besar bermuka Spongeboob, rumah hantu, rel-rel mini, juga bangunan lintasan roda-roda gila. Di Mayangan, Pasar Malam sudah diadakan sejak beberapa hari lalu. Pagi ini Pasar Malam itu mati. Namun, Jalan Patimura telah sibuk oleh kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.
Toko kelontong Casriatun berada di seberang Lapangan Mayangan ini. Toko ini luas, penuh oleh bermacam kebutuhan rumahan. “Toko ini awalnya warung wedangan. Tempat nongkrongnya tetangga-tetangga sini,” kata perempuan berusia 39 tahun itu. Warung ini, kata Casriatun, mulai ia buka sejak tahun 2002 silam. Tapi, tokonya belum serapi seperti yang tampak hari ini kala itu.
Sekitar enam tahun lalu toko kelontong Casriatun bergabung dengan Sampoerna Retail Community (SRC). “Saya diberikan pelatihan bagaimana menata toko lebih baik. Strategi pemasaran juga diajarkan sama mereka,” kata ibu dua anak itu.
Baca Juga: Merawat Cerita untuk Citra Kota Kreatif Dunia
Tentang pelatihan itu, Henny Susanto menjelaskan. “Kami menginisiasi beberapa program edukasi untuk diberikan kepada toko-toko kelontong,” kata Head of Commercial Business Development SRC itu. Penataan toko, pengelolaan toko, hingga strategi pemasaran adalah beberapa pelatihan yang diberikan SRC kepada toko-toko kelontong yang menjadi mitranya.
“SRC punya visi bagaimana Indonesia ke depannya bisa lebih baik. Salah satu caranya melalui pemberdayaan usaha-usaha kecil ini,” lanjut Henny. Sejak menjadi bagian SRC, Casriatun mengganti nama toko kelontong miliknya menjadi SRC Bambang. Nama itu diambil dari nama suaminya, Bambang Mardiyanto, yang juga turut mengelola toko kelontong di Jalan Mayangan ini.
Di Pekalongan, Casriatun bergabung dalam Kluster Kuliner UKM Pekalongan. Komunitas ini, seperti kata Casriatun, adalah tempat silaturahmi dan saling tukar informasi antar pengusaha-pengusaha lokal di Pekalongan. “Beberapa anggota Kluster ini sering menitipkan produk mereka di toko saya,” kata Casriatun. Produk-produk lokal itu kemudian ia susun di rak Pojok Lokal di dalam tokonya. Salah satu produk lokal itu adalah Kopi Tahlil.
Pojok lokal adalah salah satu bagian dari rak di SRC yang dikhususkan untuk menjual produk-produk UKM yang ada disekitar SRC tersebut. Dengan adanya Pojok Lokal ini diharapkan dapat mengangkat perekonomian warga sekitar toko.
Pada mulanya, Kopi Tahlil merupakan minuman yang dihidangkan oleh warga ketika mereka menggelar tahlilan. Baru tujuh belas tahun lalu kopi ini marak beredar dalam bentuk kemasan di Pekalongan. Sepintas, kopi ini sama dengan kopi lainnya. Yang membedakan kopi ini dengan kopi yang banyak beredar adalah campuran rempah-rempah yang amat terasa di lidah begitu kopi ini diminum. “Kopi Tahlil adalah campuran kopi arabika, jahe, cengkeh, serai, hingga pala,” kata Muhammad Mahfud salah seorang peracik Kopi Tahlil. “Tapi,” lanjut pria berusia 25 tahun, “ga semua orang Pekalongan bisa bikin Kopi Tahlil.”
Baca Juga: Toko Kelontong Bersiasat Di Tengah Arus Modernitas
Sebelum kopi racikan Mahfud itu beredar di toko-toko kelontong, kopi itu ia pasarkan sendiri di pasar-pasar kaget dan melalui sosial media. “Kadang saya berjualan juga di lokasi-lokasi car free day,” kata Mahfud. Adanya Pojok Lokal di SRC Bambang memudahkan Mahfud untuk memasarkan produknya itu. “Toko kelontong Bu Atun itu bisa menjembatani produk saya sampai ke rumah-rumah warga,” ujar Mahfud.
Program Pojok Lokal yang dijalankan oleh SRC Bambang memang program yang ditujukan untuk pemberdayaan usaha-usaha kecil yang ada di Pekalongan. Sejak Pojok Lokal itu ada, kurang lebih tujuh usaha kecil milik warga telah menitipkan produk mereka di SRC Bambang. “Program ini sangat membantu warga di sekitar saya,” kata Casriatun. Dari rak-rak yang hanya diisi oleh produk lokal inilah usaha-usaha kecil masyarakat bisa semakin tumbuh dan berkembang. Seperti kata Henny, upaya ini adalah salah satu jalan untuk Indonesia yang lebih sejahtera di masa datang.