Nationalgeographic.co.id - Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sonny Wibisono, berpendapat bahwa polemik batas wilayah perairan Natuna di Laut Cina Selatan bisa lebih sederhana jika kita (Indonesia) memiliki bukti sejarah tertulisnya.
“Kekurangan kita cuma satu, ga pernah dicatet,” ungkap Sonny dalam diskusi ‘Ada Apa dengan Natuna? Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi dari Batas Negeri,’ di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Sonny mengomentari budaya Indonesia yang lebih menyukai dongeng dibanding menulis. Menurutnya, budaya ini yang membuat Indonesia tidak memiliki bukti tertulis tentang peradaban masyarakat di wilayah Natuna.
Baca Juga: Penemuan-penemuan Arkeologis di Natuna yang Perlu Anda Ketahui
Meski begitu, sejumlah data arkeologi penting ditemukan di Pulau Bungaran Besar, tempat tim arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menjumpai banyak situs sejarah. Temuan ini menggambarkan aktivitas dan budaya masyarakat Natuna dari masa lalu.
Bukan hanya hidup di masa klasik ataupun kolonial, masyarakat lama Natuna bisa dibilang telah ada semenjak zaman prasejarah. Pernyataan tersebut didukung dengan temuan beliung-beliung, gerabah prasejarah, dan kubur-kubur batu. Beberapa pecahan gerabah menunjukan kemiripan ciri dengan Vietnam, yang menandakan sudah adanya hubungan maritim dengan daerah lain pada masa itu.
Baca Juga: Mengakhiri Polemik Misteri Kematian Charles Darwin
Ramai sebelumnya, sejumlah kapal nelayan China yang didampingi Coast Guard diketahui memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau pada Desember hingga Januari kemarin. Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF).
Merespon hal itu, Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto berencana membangun pangkalan militer baru di Natuna dan sejumlah wilayah Indonesia timur.
“Menurut saya, pendekatan yang bisa dilakukan Indonesia ada dua. Keamanan (militer) dan budaya,” papar Sonny di pertengahan diskusi.