Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Kuno, kerap kali digambarkan dengan perperangan, kebijakan, dan kehidupan di masa lalu yang digambarkan dengan kepemimpinan laki-laki. Tapi nyatanya, terdapat banyak peran perempuan di masa lalu untuk menjalankan roda sejarah tetap berjalan. Perempuan Jawa kuno memiliki kesetaraan peran dalam mencari kerja hingga menjadi pemimpin politik di masa lalu, meskipun dibalut dengan budaya yang cenderung patriarkis.
Ufi Saraswati dalam jurnalnya yang berjudul Kuasa Perempuan Dalam Sejarah Indonesia Kuna, “Wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam (kalem), tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi atau terkontrol, dan daya tahan untuk menderita tinggi”.
Bahkan dalam istilah wanita dalam bahasa Jawa, ialah Wani Ditata. Suatu pengertian yang mengkarakterkan wanita dalam budaya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Meskipun memiliki pandangan terhadap perempuan yang patriarkis di dalam budaya Jawa, tidak demikian dengan beberapa bukti mengenai keberadaan perempuan di tanah Jawa pada masa lalu.
Titi Surti Nastiti, menulis disertasinya yang berjudul Kedudukan Perempuan Dalam Masyarakat Jawa Kuna Abad 8-15 Masehi, menyampaikan bahwa perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, meski secara kuantitas tidak sebanyak laki-laki.
Nastiti menjelaskan dalam disertasinya, kesetaran yang dimaksud ialah dengan meraih pencapaian sebagai pejabat publik, kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan kesenian, dan lainnya.
Pada bidang pemerintahan kerajaan di era Jawa Kuno perempuan memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada suaminya. Salah satunya adalah Sri Rajapatni Gayatri sepeninggalan suaminya, Raden Wijaya. Gayatri memang tidak pernah menjadi penguasa, tapi perannya di istana Majapahit sangat penting bagi kerajaan.
Menurut Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang disadur Agus Aris Munandar dalam jurnalnya yang berjudul Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masa Jawa Kuno: Era Majapahit, saat itu Majapahit sedang dalam pemberontakan pada pemerintah Jayanagara, raja kedua Majapahit. Pemberontakan tersebut adalah huru-hara yang dipimpin Ra Kuti yang membuat raja mengungsi ke Tuhanyaru dengan dikawal pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada.
Baca Juga: Studi Ikonografi Mengungkap Puncak Keindahan Seni Pahat Majapahit
Saat pemberontak menduduki kedaton, para pemberontak tidak merusak kedaton tersebut, karena di dalamnya masih kerabat raja. Salah satunya yang bertahan di dalam kedaton adalah Gayatri, istri pendiri kerajaan. Akibatnya, Ra Kuti dan pemberontaknya segan pada Gayatri dan tidak berhasil menguasai Majapahit karena Gayatri yang memiliki simbol kuasa Majapahit.
Contoh lainnya dalam jurnal Ufi Saraswati, ketika Wikramarddhana mengeluarkan prasasti Patapan II dan prasasti Karang Bogem yang menggunakan lambang daerah Lasem, daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Meskipun raja Majapahit adalah Wikramarddhana, penggunaan lambang tersebut mencerminkan Kusumawardhani lebih berkuasa daripada suaminya.
Keberanian perempuan sebagai pemimpin kerajaan di era Jawa kuno tercatat dalam sejarah. Berdasarkan berita Tiongkok abad 7 hingga 8 M, Kerajaan Kalingga yang dipimpin Ratu Sima yang dinilai Dinasti Tang sebagai kerajaan yang sangat kuat. Berdasarkan berita tersebut, hingga orang Ta-Shih pada 674 M yang berniat menyerang Kalingga, mengurungkan niat disebabkan oleh keperkasaan Kalingga.
Tokoh-tokoh perempuan lainnya juga menghiasi sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Kuno, nama seperti Isyana Tunggawijaya dari Kerajaan Mataram Kuno, Tribhuwana Tunggadewi (Diah Gitarja) dan Dyah Suhita dari Majapahit.
Selain bidang kepemimpinan politik, beberapa prasasti sebagai bukti tekstual lainnya. Beberapa diantaranya juga membantu perekonomian keluarga, atau bekerja membantu suami menggarap sawah atau ladang. Dalam jurnalnya, Ufi menyampaikan bahwa perempuan pada masa tersebut handal dalam berniaga di tingkat eceran sampai saudagar yang melakukan perdagangan hingga tingkat internasional.
“Walaupun kaum perempuan pada masa itu sudah menikmati kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan, dalam hal tertentu, terutama di bidang keagamaan, perannya masih lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bela dan sati tukon” tulis Ufi.