Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 27 Maret 2020 | 11:44 WIB
Penampilan ibu-ibu Indonesia dengan gigih dan bersemangat membawakan tarian nusantara dalam acara Sp (Elisabeth Novina)

Nationalgeographic.co.id - Perempuan kerap diidentifikasikan sebagai objek kecantikan atau sekadar tokoh kedua dalam kehidupan. Barulah sejak gerakan emansipasi wanita dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika pada awal abad ke-20, kebebasan perempuan Indonesia dalam mengurusi hal-hal nondomestik semakin terbuka.

Meski begitu, ternyata jauh sebelum itu, budaya kita memiliki kecenderungan lain terhadap perempuan, terutama pada masa kerajaan klasik.

Baca Juga: Bulu Burung, Tren Mode yang Menggambarkan Kehebatan Pria Masa Lampau

Titi Surti Nastiti, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam penelitiannya menyampaikan bahwa perempuan abad ke-8 hingga ke-15 memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Pada sektor politik pun, perempuan memiliki kesetaraan dalam memimpin kerajaan.

“Kedudukan laki-laki dan perempuan itu sejajar, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,” kata Nastiti saat diwawancarai di kantor Arkeologi Nasional.

“Jadi, di istana, seorang putri mahkota atau putra mahkota itu ditunjuk karena dia lahir dari seorang raja dan permaisuri dan kemudian akan dilanjutkan menjadi penguasa di masa depan,” paparnya. 

Sebagai contoh, nama-nama perempuan ditemukan sebagai pemimpin kerajaan pada era klasik, atau Hindu-Buddha. Beberapa diantaranya seperti Ratu Sima, Tribhuwana Wijayatunggadewi, dan Dyah Suhita.

Selain itu, kalaupun tidak menjabat sebagai raja, perempuan memiliki peran besar dalam politik. Salah satu contohnya adalah Sri Rajapatni Gayatri. Sepeninggal suaminya, Raden Wijaya, Gayatri memiliki peran sangat penting bagi kerajaan terutama pada masa pemberontakan yang dipimpin Ra Kuti. Pemberontakan itu dapat dikendalikan berkat keberadaan Gayatri di istana, saat raja kedua Majapahit, Jayanegara, diungsikan.

Tidak hanya dalam susunan tertinggi di Kerajaan, Nastiti menjelaskan bahwa pada watak atau tingkat kabupaten kerajaan, wanwa atau desa, dan kerajaan vassal juga berlaku kesempatan bagi perempuan untuk memimpin.

“Kalau yang di bawah ini, laki-laki dan perempuan itu sama. Jadi, pejabat desa itu bisa laki-laki atau perempuan. Mereka ini bukan keturunan kerajaan dan dipilih berdasarkan achievement,” katanya.

Baca Juga: Rekam Jejak Pertunjukan Musik Klasik di Hindia Belanda pada Abad Ke-19

Nastiti menambahkan, achievement atau pencapaian yang dimaksud adalah dari segi  sosial, ekonomi, kebudayaan, kesenian, dan lainnya. Ia menyimpulkan bahwa di masa lalu, perempuan bisa juga berprestasi dalam sektor-sektor tersebut.

“Perempuan ada juga yang sebagai hulu air (pekerjaan yang mengurusi agaria, sawah dan air). Hampir di semua lini ada, kecuali bidang keagamaan,” jelas Nastiti.