Benteng Van Den Bosch: Sang Penjaga Jalur Sungai Bengawan Solo

By Agni Malagina, Senin, 30 Maret 2020 | 23:43 WIB
Anggota Yon Armed 12 Ngawi sedang mengadakan latihan rutin bersama di Benteng Pendem. (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - Ngawi memiliki sebuah tinggalan benteng bersejarah, Benteng Van Den Bosch. Warga setempat juga menjulukinya sebagai Benteng Pendem. Benteng ini dibangun di atas lahan yang strategis pada tahun 1839-1845. Karya arsitek Jacobus von Dentzsch ini terletak di tanah yang merupakan ujung pertemuan dua sungai (yang biasa disebut ‘tempuran’ dalam bahasa Jawa) yang keduanya dinamai sungai Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.

Lokasi benteng berada agak jauh dari pusat kota karena posisinya juga mengamankan jalur transportasi sungai pasca perang Jawa 1825-1830. Sungai Bengawan Solo sangat strategis, mengingat pada abad ke-19 merupakan salah satu jalur transportasi utama dari pesisir utara ke pedalaman pulau Jawa. Benteng ini ‘bersaudara’ dengan Benteng Benteng Willem I—atau Benteng Pendem Ambarawa. Uniknya, inilah satu-satunya benteng di Hindia Belanda yang memiliki lapas memberikan pelatihan bertani bagi anak-anak gelandangan.

Kini bangunan benteng seluas 7.594,2 meter persegi ini dikelola oleh Batalyon Armed 12 Kostrad Ngawi. Sejak 2012 benteng ini dibuka untuk kunjungan wisata. Komandan Batalyon Armed 12 Kostrad, Ronald F Siwabessy, membangun sebuah museum mini di kawasan benteng.

“Memanfaatkan ruang bangunan tua. Dulu dianggap angker. Kami ingin orang yang datang ke sini mengetahui sedikit sejarah benteng dan Yon Armed, bukan mencari keangkeran dan menyebarkan bahwa benteng ini mengerikan,” ujarnya menceritakan kenekatannya mulai menata benteng tanpa bantuan ahli. Ia mengaku mengambil inisiatif untuk memanfaatkan Benteng van Den Bosch lebih intensif setelah kunjungan Presiden Joko Widodo. Kabarnya, Presiden memerintahkan jajaran kementeriannya untuk merevitalisasi benteng ini pada 2020.

Baca Juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting

Ronald F Siwabessy menjelaskan aksi renovasi makam di dalam area Benteng Pende bersama sejumlah ulama dan santi dari sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Makam tersebut sering dikunjungi peziarah. (Sigit Pamungkas)

“Dulu benteng ini menjadi tempat tinggal anggota. Ada sarang walet, rusak dan dirusak. Kami ingin membantu menyelamatkan! Maka setiap Kamis kami rutin mengadakan pertemuan dan latihan di benteng, sekaligus menjaga dan lebih dekat dengan masyarakat. Warga bisa memakai area benteng untuk bergiat,” ujarnya sambil mengisahkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi juga turut berperan serta membantu mengembangan pemanfaatan benteng dengan menambah fasilitas tempat sampah, membangun toilet umum, menata taman dan pedestrian. 

Ia dan anggotanya pun mengerjakan pemugaran seadanya untuk museum dan makam seorang tokoh pejuang yang menjadi pahlawan karena berjuang melawan Belanda serta dimakamkan di dalam benteng.

“Ini makam yang sering dikunjungi. Jadi wisata religi bagi beberapa pesantren di Jawa Timur. Ini memugar gerbangnya pun bersama dengan para kiayi dan santri. Makamnya tidak kami pindah, tetap akan berada di sini,” ujar Ronald.

“Ini sejarah, perjuangan bangsa ada di benteng ini, kenalkan dulu pada masyarakat Ngawi,” tegas Ronald. 

Berbagai kajian pendokumentasian, pelestarian dan pemanfaatan Benteng Pendem telah diselenggarakan baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemerintah Pusat guna merevitalisasi Benteng Pendem sejak tahun 2018 hingga 2019. 

Nadia Purwestri, Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur mengungkapkan bahwa benteng yang dibangun setelah Perang Diponegoro berakhir ini memiliki nilai signifikansi sejarah,”merupakan representasi dari perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda yang sangat sulit dipadamkan sehingga menguras tenaga, nyawa dan kekayaan Belanda.”

Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC

Benteng Ngawi dari ketinggian. Ia terletak di antara aliran sungai Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. (Sigit Pamungkas)

“Idealnya, dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sekitar dengan mengikuti kaidah-kaidah Pelestarian Cagar Budaya. Benteng itu harus bisa menghidupi dirinya dalam artian untuk fungsi yang menghasilkan uang,” ungkap Nadia yang turut mendampingi proses perencanaan revitalisasi benteng tersebut sejak tahun 2018 bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

“Pokoknya potensi ekonomi benteng harus digali dan dikembangkan. Tapi jangan kebablasan dijadikan mall. Benteng itu bisa digunakan untuk kegiatan banyak komunitas di Ngawi. Perlu menejemen pengelolaan yang baik dan solid dari pemangku kepentingannya,” tambah Nadia.

“Tambah lagi masyarakat harus bisa ikut merasakan dampak pengembangan dan pemanfaatan benteng. Jangan orang luar atau pengusaha kelas tongkol saja yang merasakan hasilnya, masyarakat juga harus kebagian dan berpartisipasi,” pungkasnya.

Selain terletak di tempuran strategis dan berfungsi sebagai benteng pengaman area transportasi sungai terkenal Sungai Bengawan Solo, Benteng Ngawi  juga terletak berada di sudut timur laut pusat kota. Lahan benteng diapit oleh dua sungai. Di sisi utara dan selatan seberang sungai terdapat perkampungan tradisional yang masih mempertahankan bentuk bangunan tradisional Jawa yaitu Desa Ngawi Purba dan Desa Selopuro. Demikian pula kawasan sisi utara benteng terdapat kawasan kota Ngawi berupa kawasan permukiman lama, pusat perniagaan atau kawasan pecinan, dan pusat pemerintahan.

 

Masyarakat dari Desa Ngawi Purba masih menggunakan transportasi sungai untuk menyeberang menuju kawasan kota Ngawi melalui jalan darat di kawasan Benteng Pendem. (Sigit Pamungkas)

Tjahjono Widijanto salah seorang sastrawan dan budayawan Ngawi menyebutkan bahwa Kota Lama Ngawi dan Kabupaten Ngawi memiliki berbagai keistimewaan walaupun selama ini banyak orang menganggap bahwa Ngawi ‘hanya sebagai tempat transit’. Dia juga seorang penulis buku-buku tentang sejarah budaya Ngawi seperti Ngawi Tempo Doeloe dan Ngawi Bertutur. 

“Ngawi punya keunggulan di bidang geografis, arkeologi dan sejarah. Ngawi telah dikenal sebagai tempat Pithecantropus erectus dengan temuan Dubuis di Trinil. Ini menunjukan Ngawi sejak lama mempunyai peradaban sungai. Di masa yang lebih muda, Ngawi merupakan daerah strategis karena menjadi jembatan lalu lintas daerah Mataram dengan daerah Brang Wetan. Ini berarti Ngawi merupakan daerah agraris sekaligus lintas perdagangan darat. Di masa perang Jawa Ngawi menjadi salah satu daerah yg diperhitungkan,” ujar Tjahjono.

Menurutnya, Ngawi juga memilki sejarah panjang terkait sastra, baik dalam lingkup sastra Jawa maupun sastra Indonesia.Tersebutlah nama Umar Kayam yang menjabat Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Gajah Mada (1978-1997), Direktur Jenderal Radio Televisi Film Departemen Penerangan (1966-1969), dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972). Sejumlah nama tokoh sastra Jawa dan sastrawan asal Ngawi masih panjang, dua diantaranya adalah Alwan Tafsiri dan Poerwadi Atmodiarjo. 

Dia turut menanggapi rencara revitalisasi Benteng Van Den Bosch pada 2020. “Ngawi memiliki ikon Trinil, Benteng Van Den Bosch, dan Kepatihan. Harus melibatkan banyak pihak atau pakar, arsitek, sejarawan, budayawan, arkeolog, dan lainnya. Jangan sampai hanya berorientasi pada ekonomi pariwisata saja,” ujar Tjahjono 

“Revitalisai Benteng Pendem dapat menjadi salah satu contoh pariwisata budaya dan sejarah yang tidak semata bersandar pada ekonomi tetapi ada kesadaran budaya, local wisdom, dan menjadi labiratorium sejarah budaya,” pungkasnya.

Benteng Van Den Bosch Ngawi memiliki keunikan dan menjadi penting dalam konteks sejarah dan peradaban kota Ngawi. Ia tak hanya ikon namun juga tengah menghadapi dilema pembangunan, penataan dan pemanfaatannya. Ia akan segera berubah wajah dan berganti imaji.

Akankah benteng ini tetap cantik lestari tanpa beautifikasi yang berlebihan? Akankah masyarakat sekitar akan merasakan manfaat revitalisasinya?