Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 15 April 2020 | 08:00 WIB
Adegan para kuli perempuan di perkebunan lada. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Rubiyah atau Matah Ati (berdiri dengan membawa busur panah) sebagai pemimpin Korps Prajurit Perempuan Jawa. (Hafidz Novalsyah/NG Traveler)

Kita kerap menarasikan kiprah perempuan Indonesia yang selalu tertindas dan dihalang-halangi untuk mempunyai pemikiran maju. Padahal berabad-abad silam, perempuan telah berperan bersama laki-laki memerangi ketidakadilan.

Peneliti lain tentang kiprah perempuan adalah Profesor Ann Kumar dari Australian National University. Ia menyelisik sebuah buku harian milik seorang prajurit perempuan Mangkunagara pada akhir abad ke-18. Buku itu tersimpan dalam koleksi perpustakaan Universiteit Leiden.

Pemilik buku harian itu berkisah seputar kehidupannya sebagai prajurit dan keadan politik istana. Dalam catatannya yang berjudul Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of Lady Soldier, Kumar mengungkapkan prajurit perempuan Jawa tak hanya terlatih seperti geisha. Akan tetapi juga, terampil berkuda hingga menembak salvo dengan tata cara militer.

Namun, sejatinya korps prajurit perempuan bukanlah inovasi Mangkunegaran. Jauh sebelumnya, pada abad ke-17, Sultan Agung telah mempunyai para ajudan perempuan yang selalu mengawalnya. Sumber Belanda dari Rijklof van Goens dan Valentijn mencatat bahwa prajurit perempuan dipilih dari perempuan-perempuan tercantik.

Meski raja tidak pernah mengambil sebagi selir, mereka lebih beruntung dari selir. Mereka bangga karena suami mereka tak berani memperlakukan mereka dengan buruk, takut raja akan murka. Tak hanya di Jawa, sumber Inggris dari Peter Mundy mencatat bahwa dia sempat melihat pengawal perempuan berjalan membawa senjata busur panah di Aceh.

Mungkin istana-istana lain punya prajurit perempuan, tetapi prajurit perempuan Mangkunagaran-lah yang terlatih dan diistimewakan dalam hirarki wanita istana, demikian menurut pendapat Kumar. Sayangnya, prajurit perempuan Mangkunagara yang menulis buku harian itu juga misterius. Prajurit perempuan ini tidak menyebutkan namanya.

Setidaknya, menurut Kumar, buku harian itu mengajak untuk menimbang kembali tentang pandangan kita tentang perempuan Indonesia. “Selama ini dunia Barat melihat perempuan Asia sebagai kaum yang dikekang...”, demikian tulis Kumar, “...Tapi para prajurit perempuan jelas tidak hidup dalam masyarakat seperti itu.”