Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 15 April 2020 | 08:00 WIB
Adegan para kuli perempuan di perkebunan lada. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saya kebetulan berjumpa Profesor Peter Brian Ramsay Carey di peron Stasiun Rawabuntu, Serpong. Kami sama-sama menanti kereta ke arah Tanahabang. Dia membuka tas punggungnya untuk mengambil sebuah buku mungil yang saat itu belum diluncurkan. “Ini buat Anda,” ujarnya.

Buku itu bertajuk Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Profesor Carey—guru besar pada Trinity College, Oxford—menulis bersama Vincent Houben, seorang guru besar sejarah di Humboldt University Berlin. “Sebelum Perang Jawa,” kata Peter, “perempuan memiliki peran penting di banyak bidang—dari perdagangan sampai politik.”

Saya bertanya, sejak kapan perempuan, khususnya Jawa, menjadi terbelakang kedudukannya? Peter mengutarakan beberapa perkara penyebabnya, salah satunya kolonialisme.

Karya mereka tampaknya telah membuat kaum perempuan di Indonesia memiliki landasan kuat sebagai bagian penting dalam evolusi negeri ini selama berabad-abad.

Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?

Akhir Perang Jawa telah mengubah tatanan sosial di Jawa. Salah satunya, bagaimana tatanan baru kolonialisme memengaruhi sikap dan cara berpikir orang Jawa terhadap kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat.

Sampai pada akhirnya, kita mencatat sederet sosok perempuan berpikiran modern muncul pada akhir abad ke-19.

Raden Ayu Lasminingrat (1843-1948) yang kerap menerjemahkan buku-buku Belanda ke bahasa Sunda. Melalui karya-karya sastra yang disadurnya, Lasminingrat ingin masyarakat Indonesia mendapat pengetahuan laksana keluar dari kegelapan. Dia berjasa mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Garut, Jawa Barat. Sejak 1879, dia telah mendidik anak-anak dengan berbagai bacaan bahasa Sunda—dari moral, agama, sampai sains.

Raden Ayu Kartini (1879-1904), perempuan Jawa yang memiliki minat pada literasi bangsanya. Dia hadir tidak sekadar sosok pejuang hak-hak perempuan, tetapi juga mendorong ekonomi kreatif rakyat Japara. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, dia mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kediaman mereka.

Dewi Sartika (1884-1947) yang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan di Tanah Pasundan. Ia kemudian mendirikan Sakola Istri, sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda.

Ema Poeradiredja (1902-1976) yang aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond. Ia terlibat dalam Kongres Pemuda hingga akhirnya menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Kota Bandung.

Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

Rubiyah atau Matah Ati (berdiri dengan membawa busur panah) sebagai pemimpin Korps Prajurit Perempuan Jawa. (Hafidz Novalsyah/NG Traveler)

Kita kerap menarasikan kiprah perempuan Indonesia yang selalu tertindas dan dihalang-halangi untuk mempunyai pemikiran maju. Padahal berabad-abad silam, perempuan telah berperan bersama laki-laki memerangi ketidakadilan.

Peneliti lain tentang kiprah perempuan adalah Profesor Ann Kumar dari Australian National University. Ia menyelisik sebuah buku harian milik seorang prajurit perempuan Mangkunagara pada akhir abad ke-18. Buku itu tersimpan dalam koleksi perpustakaan Universiteit Leiden.

Pemilik buku harian itu berkisah seputar kehidupannya sebagai prajurit dan keadan politik istana. Dalam catatannya yang berjudul Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of Lady Soldier, Kumar mengungkapkan prajurit perempuan Jawa tak hanya terlatih seperti geisha. Akan tetapi juga, terampil berkuda hingga menembak salvo dengan tata cara militer.

Namun, sejatinya korps prajurit perempuan bukanlah inovasi Mangkunegaran. Jauh sebelumnya, pada abad ke-17, Sultan Agung telah mempunyai para ajudan perempuan yang selalu mengawalnya. Sumber Belanda dari Rijklof van Goens dan Valentijn mencatat bahwa prajurit perempuan dipilih dari perempuan-perempuan tercantik.

Meski raja tidak pernah mengambil sebagi selir, mereka lebih beruntung dari selir. Mereka bangga karena suami mereka tak berani memperlakukan mereka dengan buruk, takut raja akan murka. Tak hanya di Jawa, sumber Inggris dari Peter Mundy mencatat bahwa dia sempat melihat pengawal perempuan berjalan membawa senjata busur panah di Aceh.

Mungkin istana-istana lain punya prajurit perempuan, tetapi prajurit perempuan Mangkunagaran-lah yang terlatih dan diistimewakan dalam hirarki wanita istana, demikian menurut pendapat Kumar. Sayangnya, prajurit perempuan Mangkunagara yang menulis buku harian itu juga misterius. Prajurit perempuan ini tidak menyebutkan namanya.

Setidaknya, menurut Kumar, buku harian itu mengajak untuk menimbang kembali tentang pandangan kita tentang perempuan Indonesia. “Selama ini dunia Barat melihat perempuan Asia sebagai kaum yang dikekang...”, demikian tulis Kumar, “...Tapi para prajurit perempuan jelas tidak hidup dalam masyarakat seperti itu.”