Nationalgeographic.co.id— Suatu hari saya bercakap-cakap bersama Asvi Warman Adam, Profesor Riset bidang Sejarah Politik di LIPI. Di bilik kerjanya, dia mewanti-wanti kepada saya tentang “kesempatan kedua” saat menuliskan riwayat hidup seseorang. Pesannya, setiap orang bisa memaknai kembali peristiwa yang dilaluinya.
Sejak saat itu saya selalu berhati-hati dalam menarik benang merah dari kisah peran seseorang terkait masa lalunya—apalagi jika terkait peristiwa besar.
Sebelum pandemi yang kini tengah melumpuhkan Indonesia dan dunia, kita pernah mengalami dua wabah mematikan. Wabah pes pertama sepanjang 1911-1939, yang disisipi pandemi influenza sepanjang 1918-1921.
Kini kita berada pada kesempatan kedua. Apapun pagebluknya, ternyata kita memiliki pola yang sama dalam menanggapinya. Awalnya, pegebluk selalu diremehkan, mitigasi yang kedodoran, kemunculan sikap xenofobia dan rasialisme, dan tidak ada itikad disiplin dalam tanggap darurat baik warga maupun lembaga.
Baca Juga: DARI EDITOR: Kiamat Serangga dalam Linimasa Perkembangan Kota
Kami menugaskan jurnalis muda Fikri Muhammad dan fotografer Rahmad Azhar Hutomo untuk mengisahkan “kesempatan kedua dalam hidup” pasien-pasien sembuh COVID-19. Mereka menghimpun data pasien sembuh yang kriterianya telah melewati masa karantina selama dua minggu sejak dinyatakan sehat. Selama penugasan lapangan, keduanya pun berdisiplin mengenakan masker dan menjaga jarak dengan narasumber.
“Saya merasa penugasan ini adalah predestinasi,” kata Fikri. “Orang-orang yang saya temui itu seperti diberkati. Perjumpaan kami tak sebatas dengar cerita lalu tulis jadi tinta. Ini adalah sebagian dari misi hidup saya untuk mencatat kejadian luar biasa.”
Sementara itu sebelum terjun dalam penugasan ini Azhar melihat masih sedikitnya jurnalisme positif. Situasi kabar media kadang membuat keluarganya takut membaca berita.
Azhar menambahkan, “Walaupun vaksin belum ditemukan, manusia bisa menang melawan virus ganas ini dengan semangat untuk sembuh. “Salah satuny self healing dari sisi psikologis, karena mampu memperkuat imun tubuh. Dalam penugasan ini Azhar menggunakan konsep satu lampu kilat sehingga menyisakan cahaya temaram. “Sisi gelap menandakan bahwa manusia masih berjibaku melawan virus corona.”
Apakah kita menggunakan sebaik-baiknya kesempatan kedua? Kita sepatutnya menyadari perlunya infrastruktur memori budaya, salah satunya monumen yang mengenang pertempuran melawan penyakit. Tujuannya, mitigasi atau pengurangan dampak pandemi terhadap masyarakat. Tanpa infrastruktur memori budaya, kita akan jatuh terjerembap karena batu sandungan yang sama.
Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, tetapi tidak untuk kesalahan serupa.
Baca Juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger