Negeri Duka

By , Jumat, 23 Juni 2017 | 00:14 WIB

Saat Rick Medina melihat jasad yang tergeletak di tepi jalan dalam berita malam November lalu, dia tahu itu adalah putranya yang berumur 23 tahun, Ericardo.

Keesokan paginya, putrinya Jhoy, 26, datang ke kamar jenazah. Delapan mayat dijajarkan di lantai. Semua meninggal dengan cara sama: Kepalanya dibungkus selotip, dada dan lehernya ditikam berulang kali dengan pemecah es. Di tubuh Ericardo diletakkan kardus yang menyatakan bahwa dia pengedar narkoba. Menurut ayahnya, Ericardo tak pernah menggunakan narkoba; kata Jhoy, saudaranya hanya menggunakannya sesekali. Entah mana yang benar, yang pasti pembunuhnya menjatuhkan hukuman akhir tanpa proses hukum.

Nasib yang dialami keluarga Medina telah ribuan kali terjadi selama beberapa bulan terakhir di Filipina. Di negara ini, kekecewaan masyarakat mengantarkan Rodrigo Duterte memenangkan pemilu pada Mei 2016. Salah satu janji kampanyenya adalah membasmi pengedar narkoba dan memberantas kejahatan. Menurut data polisi, selama enam bulan pertama pemerintahan Duterte, setidaknya 2.000 orang tewas di tangan polisi dan 4.000 lainnya oleh penyerang tak dikenal, mungkin akibat main hakim sendiri. Duterte bersumpah tidak akan berhenti “sampai pengedar narkoba di jalanan dibasmi seluruhnya.”

Dengan meningkatnya jumlah korban, upacara kematian menjadi hal yang semakin umum dalam kehidupan sehari-hari di Filipina. Upacara itu bertujuan menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mempererat hubungan masyarakat. Namun, ada pula tujuan lainnya: mengobati rasa keadilan yang terluka saat banyak kasus pembunuhan dibiarkan saja oleh aparat penegak hukum. Saat ini upacara kematian melebihi acara kelahiran maupun perkawinan, kata antropolog Nestor Castro dari Unibersidad ng Pilipinas Diliman.

Pada masa persemayaman selama tujuh hingga sepuluh hari, jenazah tidak boleh ditinggalkan sendirian. Anak ayam diletakkan di atas peti mati bersama makanan yang dipatukinya—perlambang mengetuk nurani sang pembunuh. Periuk tanah dipecahkan untuk memutus siklus kematian—agar tidak ada lagi kematian setelahnya. Barang-barang pribadi dimasukkan ke dalam peti mati untuk bekal mendiang di akhirat. Saat dibawa meninggalkan rumah, peti mati diputar tiga kali, sementara uang logam dilemparkan sepanjang jalan ke pemakaman untuk membayar ongkos kepergian ke alam baka.

Anggota keluarga juga dapat menunggu paramdam, kedatangan roh sang mendiang.

Di malam sebelum pemakamannya, saudarinya bercerita, Ericardo datang dalam mimpinya. “Dia tersenyum,” katanya. Jhoy menjadi tenang mengetahui bahwa Ericardo tidak marah, bahwa rohnya tidak gentayangan di dunia, menuntut balas dendam. “Seperti biasanya,” katanya. “Dia selalu sangat santai.”

Masih ada satu lagi mimpi yang ditunggu Jhoy. “Saya ingin bermimpi kejadian malam saat dia dibunuh,” katanya. “Saya ingin menusuk orang yang menusuknya. Agar saya bisa membelanya.”

Mungkin balas dendam dalam mimpi merupakan satu-satunya keadilan yang bisa diharapkan Jhoy dan keluarga korban lainnya. Hanya segelintir pembunuh yang tertangkap.