Nationalgeographic.co.id – Air merupakan elemen terpenting bagi makhluk hidup setelah udara. Tanpa air, kehidupan di bumi tidak bisa berjalan.
National Ground Water Association menyebut, 70 persen permukaan Bumi dilapisi dengan air. Namun, hanya sekitar satu persen saja yang layak dikonsumsi oleh manusia.
Dalam skala yang lebih luas, air tidak hanya menjadi konsumsi manusia, tetapi juga digunakan untuk berbagai keperluan, seperti rumah tangga, pertanian, transportasi, industri, dan lain-lain.
Jumlah populasi manusia yang kian meningkat, membuat kebutuhan air bersih juga semakin besar. Namun, sama seperti sumber daya lainnya, ketersediaan air pun suatu saat bisa terbatas.
Baca Juga: Desanya Tak Lagi Membara, Warga Sei Pakning Dulang Berkah Wangi dari Lahan Gambut
Di sisi lain, ekosistem yang tidak seimbang juga akan mempengaruhi kualitas air. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kualitas hidup manusia.
Publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2019 menyebut, kualitas air yang buruk dan sarana sanitasi yang tidak mumpuni dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti kolera, diare, disentri, hepatitis A, tifus, dan polio. [1]
Sementara itu, di Indonesia masalah krisis air bersih masih banyak ditemukan, mulai dari kota-kota besar hingga kawasan kepulauan.
Fenomena ini tercatat melalui Statistik Lingkungan Hidup 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Laporan tersebut mengungkapkan, kualitas air sungai di Indonesia umumnya berada pada status tercemar berat.
Bahkan, pada pemantauan 82 sungai tercemar di sepanjang tahun 2016 – 2017, 14 diantaranya memiliki kondisi yang kian memburuk.
Baca Juga: Kolaborasi Tangani Sampah Puntung Dimulai dari Kesadaran Diri
Oleh karenanya, perlu dibangun kesadaran pada masyarakat supaya lebih peduli dalam menjaga keseimbangan ekosistem agar kebutuhan air bersih bisa dipenuhi.