Manu, Ngana, dan Kaba: Cerita Hewan-Hewan Kurban Orang Bajawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 08:30 WIB
Kaba yang berarti kerbau dalam Bahasa Bajawa adalah salah satu hewan yang menjadi tradisi kurban pada ritual adat. Namun, harganya yang lebih mahal dari hewan kurban lainya, tidak semua upacara adat dapat menggunakan kaba sebagai hewan kurban. (Keluarga Dona, Bajawa)

Cerita oleh Reinard L. Meo

Foto oleh Keluarga Dona, Bajawa

Natinalgeographic.co.id—Dalam setiap kebudayaan terdapat beragam ritual. Umumnya, ritual-ritual ini dilaksanakan untuk menghormati para leluhur dan untuk tujuan tertentu. Dengan demikian segala urusan para pelestari budaya akan mulus. Begitulah logika dasarnya.

Bukan sebaliknya, yakni demi kebutuhan pelestari budaya maka para leluhur perlu dihormati. Pemahaman ini perlu dipertegas kembali.

Pada ritual-ritual pada masing-masing kebudayaan di Indonesia, setidaknya mewajibkan suatu hal yang disebut sebagai kurban. Tanpa adanya kurban suatu ritual menjadi hampa. Tanpa ritual maka kurban pun tak punya makna. 

Bagi orang-orang Bajawa, Flores sendiri memiliki tiga hewan yang diperuntukkan sebagai kurban. Yaitu ayam, babi, dan kerbau yang mempunyai nilai kultural dan sakral dalam keyakinan tertentu. Tidak semua jenis fauna punya legalitas sebagai hewan kurban. 

Pertama adalah manu (ayam) dalam Bahasa Bajawa. Tidak semua ayam diperbolehkan menjadi hewan kurban. Hanya ayam kampung saja yang sah. Ayam pedaging, petelur, atau sejenisnya tidak termasuk dalam ranah kultural. Jenis-jenis ayam itu hanya bersifat komplementer, bukan substitutif. Hanya untuk melengkapi, bukan sebagai alternatif pengganti. 

Kemudian yang kedua adalah ngana yang artinya babi. Bukan saja dipelihara dan dikonsumsi, ngana juga punya nilai kultural. Ngana memainkan peran penting dalam kebudayaan Bajawa. Tidak seperti manu, agaknya, tidak ada klasifikasi yang jelas tentang jenis-jenis ngana mana yang resmi digunakan sebagai hewan kurban.

Terakhir adalah kaba yang berarti kerbau. Dalam beberapa hal, kaba melebihi manu dan ngana. Kelebihan ini seperti misalnya ukuran, harga, dan upaya mendapatkannya. Populasinya yang menurun menjadikan kaba lebih mahal. Karena faktor harga, tidak semua ritual bisa menggunakan kaba sebagai hewan kurban.

Ngana atau babi dalam Bahasa Bajawa tidak hanya digunakan sebagai hewan kurban saja. Tetapi ia juga menjadi hewan kultural orang Bajawa. (Keluarga Dona, Bajawa.)

Cukup sulit mendeteksi, mengapa hanya manu, ngana, dan kaba saja yang punya nilai kultural dan sah sebagai hewan kurban. Padahal orang-orang Bajawa sejak dahulu juga memelihara sapi, anjing, kambing, bebek, atau kuda.

Barangkali, Bajawa yang secara topografis jauh dari laut dan berada di ketinggian, lebih efektif untuk memelihara ayam kampung, babi, dan kerbau. Atau sederhananya, bila semua jenis hewan dijadikan kurban, maka Orang Bajawa akan menjadi kelompok masyarakat dengan tingkat konsumsi daging paling tinggi.