Mengajarkan Rasa Empati Mampu Meningkatkan Kreativitas Anak-anak

By Utomo Priyambodo, Kamis, 4 Februari 2021 | 07:00 WIB
Sekelompok siswa sekolah dasar belajar di kelas. (Gloria Samantha)

Nationalgeographic.co.id—Hasil sebuah riset terbaru menunjukkan bahwa mengajarkan anak-anak untuk berempati terhadap orang lain bisa meningkatkan kreativitas mereka. Selain itu, mengajarkan rasa empati yang terukur pada anak-anak juga bisa memberikan pembelajaran lain yang bermanfaat.

Riset ini dibuat selama setahun oleh University of Cambridge di Inggris dengan memberikan mata pelajaran Design & Technology (D&T) pada siswa-siswi kelas IX yang berusia antara 13 hingga 14 tahun di dua sekolah di London. Murid-murid di sekolah yang satu menghabiskan satu tahun mereka dengan mengikuti pelajaran tersebut sesuai dengan standar kuririkum yang selama ini diterapkan. Sementara murid-murid dari sekolah lainnya dibekali seperangkat alat berpikir desain teknik yang bertujuan untuk mendorong kemampuan siswa untuk berpikir kreatif dan memancing rasa empati mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan di dunia nyata.

Kedua kelompok murid tersebut dinilai kreativitasnya pada awal dan akhir tahun ajaran dengan menggunakan Torrance Test of Creative Thinking, sebuah tes psikometri yang mapan dan telah diakui keakuratannya.

Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan kreativitas yang signifikan secara statistik di antara murid-murid di sekolah intervensi yang menggunakan perangkat berpikir. Pada awal tahun, nilai kreativitas murid-murid di sekolah kontrol yang mengikuti kurikulum standar semula lebih tinggi 11% dibandingkan di sekolah intervensi. Namun pada akhirnya di akhir tahun ajaran, situasinya telah berubah total: skor kreativitas di antara kelompok intervensi adalah 78% lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia

Para peneliti memeriksa kategori tertentu dalam Torrance Test yang menunjukkan empati emosional atau kognitif: seperti 'ekspresi emosional' dan 'keterbukaan pikiran'. Murid-murid dari sekolah intervensi kembali mendapat nilai yang jauh lebih tinggi dalam kategori ini, menunjukkan bahwa peningkatan empati secara nyata mendorong skor kreativitas mereka secara keseluruhan.

Para peneliti dalam riset mengatakan bahwa mendorong empati tidak hanya meningkatkan kreativitas, tetapi juga dapat memperdalam keterlibatan umum murid-murid dengan pembelajaran. Tim peneliti menemukan, anak laki-laki dan perempuan di sekolah intervensi menanggapi mata pelajaran D&T dengan cara yang menentang stereotip gender tradisional. Anak laki-laki menunjukkan peningkatan yang nyata dalam ekspresi emosional, skor 64% lebih tinggi dalam kategori itu pada akhir tahun dibandingkan di awal Adapun anak perempuan lebih meningkat dalam hal empati kognitif, menunjukkan adanya kenaikan sebanyak 62% dalam hal pengambilan perspektif.

Riset yang hasilnya telah dipublikasikan di jurnal Improving Schools ini merupakan bagian dari proyek kolaborasi jangka panjang antara Fakultas Pendidikan dan Departemen Teknik di University of Cambridge yang disebut 'Designing Our Tomorrow' (DOT). Proyek ini dipimpin oleh Bill Nicholl dan Ian Hosking. Dalam proyek ini mereka menantang para murid untuk memecahkan masalah di dunia nyata dengan memikirkan tentang perspektif dan perasaan orang lain.

Tantangan khusus yang digunakan dalam riset ini adalah meminta murid-murid di sekolah intervensi untuk merancang 'paket' perawatan asma untuk anak-anak berusia enam tahun ke bawah. Murid-murid diberi berbagai 'alat-alat' kreatif dan empati untuk mengerjakannya. Misalnya, mereka diperlihatkan data tentang jumlah kematian akibat asma pada anak-anak di Inggris, dan video yang menggambarkan seorang anak kecil mengalami serangan asma. Mereka juga mengeksplorasi masalah dan menguji ide desain mereka dengan memainkan peran berbagai pemangku kepentingan, misalnya, pasien, anggota keluarga, dan staf medis.

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

Perbedaan gender yang dipetakan dalam riset ini menunjukkan bahwa intervensi memungkinkan para murid untuk mengatasi beberapa hambatan belajar yang sering kali diciptakan oleh stereotip gender. Misalnya, anak laki-laki sering kali merasa kecil hati untuk mengungkapkan emosi atau perasaan mereka di sekolah. Namun ternyata ini adalah salah satu bidang utama di mana mereka memperoleh hasil kreatif yang signifikan, menurut hasil tes.

Secara keseluruhan, para peneliti menegaskan bahwa temuan ini menunjukkan kebutuhan untuk memelihara 'para pelajar yang cerdas secara emosional' tidak hanya di kelas D&T, tetapi juga lintas mata pelajaran. Apalagi, ada bukti-bukti ilmiah sebelumnya yang menunjukkan bahwa kapasitas empati kita menurun seiring bertambahnya usia.

Helen Demetriou, dosen dari Fakultas Pendidikan University of Cambridge yang punya minat khusus pada bidang psikologi dan empati dan juga terlibat dalam riset ini, mengatakan bahwa hasil riset ini adalah sesuatu yang penting  dan perlu dipikirkan karena kurikulum pelajaran secara umum “semakin berbasis ujian”. “Nilai yang bagus itu penting, tetapi bagi masyarakat untuk berkembang, individu yang kreatif, komunikatif, dan empati juga penting,” ujar Demetriou seperti dilansir laman resmi University of Cambridge.

Bill Nicholl, dosen senior dari Fakultas Pendidikan University of Cambridge yang memimpin riset ini turut menambahkan, “Mengajar anak-anak untuk berempati adalah tentang membangun masyarakat tempat kita menghargai perspektif satu sama lain. Tentunya itu adalah sesuatu yang kami ingin pendidikan lakukan.”