Video: Menapaki Maghilewa, Desat Adat Indah di Gunung Inerie Flores

By Utomo Priyambodo, Kamis, 25 Februari 2021 | 19:00 WIB
Dengan tinggi kerucut mencapai 2.245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

 

Nationalgeographic.co.id—Di pinggang Gunung Inerie, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ada sebuah desa adat yang indah bernama Maghilewa. Nama Maghilewa ini berasal dari dua kata. Maghi berarti pohon lontar dan lewa berarti panjang dan tinggi.

Pohon lontar yang tinggi dulunya adalah penanda keberadaan desa adat ini. Sayangnya, pohon lontar yang tinggi itu kini sudah ditebang. Meski demikian, tanpa penanda pohon itu pun, rumah-rumah adat yang khas di Manghilewa pasti akan membuat mata kita terpana dan mampu menebak keberadaan desa adat itu.

Wajah Maghilewa saat ini tersusun atas deretan 26 buah rumah adat (Sa’o) yang mengelilingi halaman luas berundak-undak dan terdapat totem (Ngadu) yang menjadi penanda suku di tengahnya.

Sebuah nama pasti menyiratkan makna. Lukas Rengo, sesepuh adat setempat, menuturkan kepada National Geographic Indonesia. Menurutnya,Maghilewa berasal dari dua kata lokal, yakni Maghi yang berarti pohon lontar dan Lewa yang berarti panjang, tinggi. Toponimi ini merujuk pada satu pohon lontar yang tumbuh dan menjadi penanda di tengah kampung.

Sudah menjadi kebiasaan bagi warga Maghilewa untuk makan bersama ketika berlangsung sebuah pertemuan. Nasi jagung beserta ikan dan kuah asam menjadi menu santap siang kami. Tak lupa sebotol moke khas Aimere yang dituang ke dalam tempurung sebagai teman makan.

Saat kami berkunjung ke sana, kami disambut oleh ketua adat dan dikalungi kain tenun adat. Mirip seperti sambutan untuk pejabat, meski kami lebih suka dianggap sebagai sahabat.

Kami juga disuguhkan makanan dan minuman. Ternyata, sudah menjadi kebiasaan bagi tetua adat Maghilewa untuk menyambut tamu yang datang dan mengajaknya makan bersama semua warga adat lainnya. Nasi putih, daging ayam bakar, dan sebotol moke (tuak) khas Aimere menjadi hidangan yang menghagatkan tubuh kami, sehangat sambutan bersahabat dari warga desa adat ini.