"Teori tersebut telah diterima secara tentatif, tetapi kami masih membutuhkan bukti dalam bentuk observasi empiris bahwa gelombang-gelombang ini ada," kata Marianna Korsos dan Huw Morgan, fisikawan dari Aberystwyth university, dalam tulisan mereka di The Conversation.
"Studi terbaru kami akhirnya mencapai hal ini, memvalidasi teori Alfvén yang berusia 80 tahun dan membawa kami selangkah lebih dekat untuk memanfaatkan fenomena energi tinggi ini di Bumi," papar mereka.
Baca Juga: Puisi Kuno Bantu Ilmuwan Prediksi Badai Matahari Dahsyat Berikutnya
Mereka menjelaskan bahwa masalah pemanasan koronal telah muncul sejak akhir tahun 1930-an, ketika ahli spektroskopi Swedia Bengt Edlén dan astrofisikawan Jerman Walter Grotrian pertama kali mengamati fenomena di korona Matahari yang hanya dapat muncul jika suhunya beberapa juta derajat Celsius.
"Ini mewakili suhu hingga 1.000 kali lebih panas dari fotosfer di bawahnya, yang merupakan permukaan Matahari yang dapat kita lihat dari Bumi. Memperkirakan panas fotosfer selalu relatif mudah: kita hanya perlu mengukur cahaya yang mencapai kita dari Matahari, dan membandingkannya dengan model spektrum yang memprediksi suhu sumber cahaya," tulis mereka.
Selama penelitian selama beberapa dekade, suhu fotosfer secara konsisten diperkirakan sekitar 6.000 derajat Celsius. Penemuan Edlén dan Grotrian bahwa korona Matahari jauh lebih panas daripada fotosfer --meskipun jauh dari inti Matahari, sumber energi utamanya-- telah menyebabkan banyak keluhan di komunitas ilmiah.
Ilmuwan melihat properti matahari untuk menjelaskan perbedaan ini. Matahari hampir seluruhnya terdiri dari plasma, yang merupakan gas terionisasi tinggi yang membawa muatan listrik. Pergerakan plasma ini di zona konveksi --bagian atas interior surya-- menghasilkan arus listrik yang sangat besar dan medan magnet yang kuat.