Dokter Medan Perang

By , Selasa, 18 Juni 2013 | 14:33 WIB
JILL SEAMAN menghabiskan waktu puluhan tahun menjajaki cara paling efektif untuk mengantarkan obat-obatan modern kepada warga Sudan Selatan yang dikepung perang. Pada 1989, dia tiba ketika salah satu epidemi terburuk tengah melanda Afrika—mulai dari penyakit tropis yang disebut kala-azar—dan perang saudara. Kini perang itu telah usai, Sudan Selatan sudah memproklamasikan kemerdekaannya, dan epidemi itu mereda. Namun, kekerasan, penyakit, dan rasa takut, masih menghantui kawasan yang telah menjadi rumah kedua bagi Seaman. Bagaimana keadaannya ketika Anda tiba? Lebih dari separuh penduduk di kawasan itu sudah tewas. Saya berjalan melalui pedesaan yang penduduknya tidak ada yang selamat. Saya menyaksikan reruntuhan akibat kebakaran. Tulang-belulang berserakan di jalan yang saya tapaki. Namun, tidak ada siapa-siapa. Keadaannya sepi dan mencekam. Dapatkah Anda menjelaskan penyebab malapetaka tersebut? Kala-azar ditularkan oleh gigitan lalat pasir yang menyebabkan orang mengalami demam, lesu, dan limpa yang membengkak. Beberapa minggu kemudian, pengidapnya bisa mati. Pada 1989, ketika saya ke Sudan Selatan bersama Doctors Without Borders, tidak ada dokter yang harus merawat pasien di lapangan. Jadi, penelitian diperlukan untuk memberikan perawatan canggih dan melakukan diagnosis modern di gubuk lumpur. Tetapi, apakah Anda berhasil menyingkirkan penyakit itu? Tidak. Amatlah sulit membandingkan epidemi itu dengan keadaan sekarang, sebab sekarang sudah ada perawatan kesehatan. Tetapi, dalam tiga tahun terakhir, terjadi lagi wabah. Tahun lalu, kami menangani 2.500 orang. Klinik Anda pernah dibom. Anda bersikeras bahwa bukan penantang mara. Memang bukan. Saya bersungguh-sungguh. Saya sangat menyukai perawatan kesehatan dan mencintai Sudan. Saya dapat bercerita tentang banyak hal mengerikan yang terjadi, seperti pembantaian di sebuah kota yang menewaskan sekitar 200 orang dalam waktu hanya dua jam. Tetapi, semua itu tidak ada kaitannya dengan mengapa saya ada di sini. Namun, Anda memang ada di sana. Dan risikonya besar sekali, bukan? Sebetulnya, ini bukan soal bahwa saya berani mengambil risiko. Semua orang mengambil risiko. Hidup adalah risiko. Semua orang yang tinggal di sana. Tetapi, ternyata mereka tetap hidup. Dan saya menolong jutaan orang dan mudah-mudahan juga membantu mereka. Betapa beruntungnya saya.