Memburu Hantu Nansen

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

THOMAS ULRICH YANG PERTAMA MELIHAT BENDA ITU. Warnanya putih bersih laksana awan mulus yang memanjang di cakrawala dengan satu garis gelap. Bayangan yang melintasi garis itu menyingkap rahasianya. Bayangan tersebut bergerak—benda itu adalah awan—tetapi garis itu tidak bergerak.!break!

“Rasanya saya melihat daratan,” kata Ulrich kepada Børge Ousland, rekan seperjalanannya selama enam pekan terakhir ini dalam memburu kenangan tentang dua penjelajah terkenal yang melintasi Arktika. Dimulai dari Kutub Utara, pasangan itu berski sejauh 974 kilometer ke titik ini di lepas pantai utara Daratan Franz Josef, yakni kepulauan Siberia yang terpencil tempat Fridtjof Nansen dan Hjalmar Johansen berlindung pasca upaya mereka mencapai Kutub pada 1895.

Sebagaimana banyak anak Norwegia lainnya, petualangan Nansen menjadi cerita pengantar tidur bagi Ousland. Bertahun-tahun kemudian, dongeng tersebut mengilhami dirinya untuk melakukan perjalanan ski solo secara mandiri yang pertama ke Kutub. Perjalanan itu menjadi salah satu dari 14 kunjungannya ke Kutub Utara sebagai pemandu dan petualang profesional. Sekarang Ousland dan Ulrich yang merupakan pendaki gunung sekaligus fotografer mengikuti rute mengerikan yang sama seperti yang diambil Nansen dan Johansen 112 tahun sebelumnya—sesuatu yang belum pernah dikerjakan orang lain.

“Kami membawa buku Nansen, jadi kami tahu bahwa kami mengalami banyak hal yang sama,” ujar Ulrich. “Sama seperti mereka, kami memakai ski dan kayak, tapi,” tambah Ousland, “kami menggunakan paralayang dan bukan anjing agar lebih cepat. Dan tentu saja kami punya peralatan navigasi dan komunikasi, sementara mereka tak tahu pasti di mana mereka berada. Peta lama mereka sama sekali tidak betul.” !break!

Daratan yang dilihat Ulrich adalah pantai Pulau Eva-Liv di kejauhan, pulau yang dinamai oleh Nansen menurut nama istri dan putrinya. Namun meski daratannya terlihat, tidak berarti Ulrich dan Ousland dapat mencapainya. Ketika Nansen dan Johansen pertama kali melihat Eva-Liv sekilas, mereka memperkirakan hanya perlu satu-dua hari untuk sampai ke sana. Ternyata mereka perlu 13 hari dan itu pun mereka hampir gagal mencapai daratan.

Pada Juni 2007 Ulrich dan Ousland menghadapi rintangan yang sama. Es laut nan mulus yang mereka tempuh dengan cepat selama beberapa hari sambil menyeret kayak-kayak plastik kasar yang berisi makanan dan peralatan, berubah menjadi serakan puing-puing es yang terlihat “seakan ada raksasa yang membanting lempeng besar itu hingga berantakan,” demikian Nansen menjelaskan hal yang sama. Lebih gawat lagi, seluruh serakan es itu hanyut ke barat laut, menjauhi Eva-Liv dengan keping-keping es saling berbenturan saat terdorong arus dari bawah.

Dengan tanpa pilihan selain maju ke depan, kedua petualang mengadu nasib melintasi es yang hanyut itu. Masih sekitar 15 kilometer dari daratan, mereka melompat dari satu keping es ke keping es lainnya sambil menarik kayak-kayak yang berat dengan tali sepanjang 12,5 meter. Menegangkan dan melelahkan. Beberapa minggu sebelumnya, Ousland pernah terperosok ke dalam es, terendam sebatas pinggang di air yang membekukan. Sekarang, Ulrich teringat pengalaman menakutkan pada 2006 ketika badai memerangkapnya di atas keping es yang terpecah dari Tanjung Arkticheskiy Siberia (baca National Geographic, Januari 2007). Menemukan dirinya sekali lagi ada di dalam belas kasihan es yang tidak stabil, dia berkata, “Harus kuakui, aku takut.”

Pada malam hari mereka berjuang untuk tidur sementara es bergerak di bawah mereka, “seperti ada yang menendangi punggungmu,” kata Ousland. Hal yang aneh adalah keheningan suasana. Pada musim dingin, es laut terdengar sangat ribut karena retak dan bertabrakan, tetapi dalam cuaca musim semi yang lebih hangat, mendekati 0°C, keping-keping es setebal satu meter bertabrakan tanpa suara. Suatu pagi pada pukul empat, Ulrich membangunkan Ousland untuk memberitahu bahwa mereka hanyut menjauhi pantai dengan kecepatan hampir satu kilometer per jam, demikian menurut piranti GPS mereka. Saat membuka tenda, mereka melihat bahwa sebuah kanal raksasa berair hitam raksasa telah membuka, seratus meter jauhnya.Saat itu, mereka memutuskan untuk berusaha sekuat tenaga mencapai daratan. “Kami sepakat untuk tidak berhenti hingga sampai ke sana,” kata Ousland, “karena jika kami gagal ke pulau itu hari ini, kami tak akan pernah sampai di Eva-Liv.” Mereka berjalan dengan susah payah dan mendayung ke arah tenggara, menembus kabut tebal hingga mencapai tepi es yang padat. Mereka telah bergerak selama 24 jam lebih. Ulrich memeriksa piranti GPS untuk mengetahui gerakan es tersebut. Tidak ada sama sekali. Es tersebut melekat erat ke darat. Mereka berhasil.!break!

Selama delapan pekan berikutnya mereka menapaktilasi rute Nansen dan Johansen ke arah tenggara melintasi kepulauan tersebut, bergerak dari satu pulau ke pulau yang lain. Daratan Franz Josef yang pernah menjadi zona militer Uni Soviet dan sebagian besar di antaranya masih terlarang untuk orang asing hampir sama seperti pada masa Nansen.

Di Tanjung Norvegiya di Pulau Jackson, Ousland dan Ulrich menemukan puing-puing gubuk batu mengenaskan yang beratap kulit walrus, tempat para penjelajah sebelumnya itu melewatkan musim dingin, berburu beruang kutub dan walrus untuk makan. Nansen memperoleh keterampilan penting dari penduduk desa Inuit di Greenland, tempat dia melewatkan musim dingin 1888-89. Ketika dia dan Johansen kehabisan bahan bakar untuk tungku, mereka menggunakan lampu lemak untuk memasak. “Saya terkejut mereka tidak bunuh diri saja,” kata Ulrich sambil melihat lingkaran batu rendah yang menjadi dinding tempat berlindung nan sempit tersebut. “Satu-satunya alasan mereka bertahan hidup,” kata Ousland, “adalah karena mereka pantang menyerah.”

Saat mencapai Tanjung Flora di Pulau Northbrook yang menjadi tempat Nansen dan Johansen diselamatkan oleh penjelajah Inggris Frederick George Jackson, Ousland dan Ulrich juga tak sabar lagi untuk segera hengkang dari sana. Seorang teman dari Oslo telah bersedia menjemput mereka dengan perahu layar, tetapi dia tertunda beberapa minggu. “Tempat tersebut sangat damai dengan sebuah danau kecil, tempat yang sempurna untuk menunggu selama tiga minggu,” kata Ulrich. “Pulau-pulau lainnya hanya karang, batu, dan es, tapi Tanjung Flora hijau oleh lumut dan bebungaan.” Penghuni lainnya hanyalah ribuan burung laut yang bersarang di tebing dan seekor beruang kutub lapar beserta anaknya, terdampak di sana karena ketiadaan es laut—akibat perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Setiap malam beruang tersebut mendatangai kemah untuk mencoba peruntungannya dan memicu peluru suar yang dipasang untuk menakuti beruang. Akhirnya kedua petualang terpaksa mengusir beruang dengan menyemprotnya dengan semprotan merica, menembakkan senapan ke udara, memukul-mukul panci dan wajan, dan berteriak sekeras-kerasnya.

“Kami mengejar kedua binatang itu hingga masuk ke air,” kata Ousland. “Setelah itu, kami dan beruang saling memahami.”!break!

Pada 13 Agustus sebagaimana dijanjikan, Athene, perahu layar bertiang dua (ketch) tersebut muncul di lepas pantai Tanjung Flora. Maka Ousland dan Ulrich yang masing-masing menaiki kayak mengayuh untuk mencapai tumpangan yang akan membawa mereka pulang ke Norwegia. Setelah 15 minggu berada di bagian utara yang jauh, tibalah saatnya mengikuti perjalanan Nansen pulang.

“Nansen melampaui zamannya dalam cara dia berpikir tentang Arktika dan cara untuk melintasinya,” kata Ousland. “Yang kami lakukan hanya seperti liburan jika dibandingkan dengan Nansen,” tambah Ulrich. “Kami tahu apa yang akan kami hadapi. Dia bahkan tidak tahu di mana dia berada dan berapa jauh jarak yang masih harus dia ditempuh.”