Yang Terasing

By , Selasa, 14 April 2009 | 17:17 WIB

Setiap bintang di angkasa malam adalah seorang Indian Tarahumara yang jiwanya—pria memiliki tiga dan wanita memiliki empat, karena wanita adalah penghasil kehidupan baru—semuanya, pada akhirnya, sirna. Hal-hal inilah yang diceritakan oleh para ahli antropologi dan para pendeta tentang kepercayaan suku Tarahumara, yang menyebut diri mereka Rarámuri, yang tinggal di dalam dan di atas ngarai-ngarai Sierra Madre Occidental di Meksiko, di sebelah utara, dan ke situlah lima abad yang silam mereka menyelamatkan diri dari serbuan bangsa Spanyol. Orang-orang Spanyol itu bukan saja memiliki senjata api dan kuda, tetapi juga janggut yang tidak nyaman dipandang mata; dari kehadiran bangsa Spanyol inilah muncul kata chabochi dalam bahasa Rarámuri, yang sampai sekarang berarti orang luar, yaitu orang yang bukan orang Tarahumara. Chabochi sesungguhnya bukan ejekan, melainkan hanya cara untuk membedakan diri dari dunia luar. Terjemahan harfiahnya, yang ibaratnya mengacu pada hubungan saat ini antara masyarakat Tarahumara dan masyarakat Meksiko abad ke-21, adalah “orang yang wajahnya disembunyikan di balik sarang laba-laba.”!break!

Orang Tarahumara bersifat pendiam dan kurang suka bergaul, dan tinggal saling berjauhan. Mereka tinggal di rumah kecil-kecil yang terbuat dari kayu atau batu bata adobe, atau di gua, atau di hunian yang sebagian bangunannya berupa batu yang menjorok keluar sehingga berfungsi sebagai atap. Mereka meracik minuman beralkohol dari jagung, yang ditanam di ladang kecil yang dibajak dengan tangan, dan pada acara pesta atau perayaan mereka berkumpul bersama dan minum secara bergiliran dari kendi yang terbuat dari semacam labu, sampai mereka mabuk yang ditandai dengan berteriak-teriak, atau mengantuk, atau uring-uringan, lalu bergelimpangan di tanah sampai siuman kembali. Mereka pelari jarak jauh yang tangguh karena selama beberapa generasi memiliki jaringan transportasi berupa jalan setapak yang sempit melintasi ngarai; Rarámuri berarti “pelari-kaki” atau “orang yang pintar berjalan,” dan konon mereka menjengkelkan atlet-atlet ultramaraton Amerika karena mengalahkan mereka sambil hanya mengenakan sepatu sandal huarache dan sesekali berhenti untuk merokok.

Mereka menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup, namun pekerjaan dipandang sebagai sekadar cara untuk mencapai tujuan, dan tidak sepenting kewajiban spiritual dan hal-hal lain yang menyangkut jiwa. Perekonomian tradisional mereka dijalankan dengan cara barter, bukan dengan uang tunai; mereka memiliki kata untuk konsep berbagi, yang sulit diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Spanyol ataupun Inggris: “kórima,” yang diucapkan oleh wanita Tarahumara yang membuka telapak tangannya untuk mendapatkan sesuatu yang oleh chabochi disebut derma. Tetapi, tidak akan ada ucapan “terima kasih” untuk pemberian uang receh yang diterima, karena kórima menyiratkan kewajiban untuk mendistribusikan kekayaan agar bermanfaat bagi semua orang.

Mereka juga sering menyantap Maruchan, mi instan Jepang yang dikemas dalam wadah berbentuk silinder dari plastic-foam. Demikian pula dengan keripik kentang dalam kemasan aluminium foil, Coca-Cola kemasan literan, dan bir Tecate dalam kaleng yang tutup cincinnya mudah dibuka—kita dapat menghabiskan waktu enam jam terbanting-banting di dalam mobil pickup berpenggerak empat roda menuju permukiman yang saling berjauhan yang lokasinya paling dalam di ngarai Tarahumara, berbelok-belok melalui jalan tanah rapuh menyusuri tebing curam, sampai truk itu mengitari ujung jalan, matahari mulai terbenam dan asap terbang melingkar-lingkar dari cerobong asap di kejauhan, dan suara genderang upacara mendayu-dayu dari suatu tempat nun di bawah sana, dan di jalan setapak itu tampak dua botol soda yang sudah kosong dan bungkus mi Maruchan yang dibuang sembarangan. Pemandangan ini membuyarkan khayalan romantis para chabochi. Menurut perhitungan terbaru oleh pemerintah, 106.000 orang Tarahumara tinggal di Meksiko, sehingga mereka merupakan kelompok kaum pribumi terbesar di Amerika Utara; sebagian besar masih tinggal di daerah yang agak terpencil yang oleh pemerintah Meksiko dipromosikan sebagai Ngarai Tembaga (Copper Canyon), namun baik nama tempat maupun citra para penghuninya yang dilukiskan oleh organisasi wisatawan (“Mereka menjalani kehidupan bersahaja yang tidak tersentuh oleh teknologi modern” tercantum dalam artikel online) ternyata hanyalah penggalan informasi, pernyataan sepotong-sepotong, yang tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.

Ngarai Tembaga itu sendiri, misalnya, atau Barranca del Cobre, sebenarnya adalah salah satu dari belasan ngarai raksasa di bagian Sierra Madre. Beberapa di antaranya lebih dalam daripada Grand Canyon. Dan perniagaan kaum chabochi, baik yang legal maupun ilegal, terus merasuki semua ngarai ini. Industri narkoba semakin meningkatkan penggunaan ngarai untuk pembudidayaan ganja dan bunga opium, menghalau keluarga-keluarga Tarahumara dari ladang jagung, ladang kacang, dan ladang labu mereka. Upaya pemerintah untuk menyediakan jalan dan sarana pendidikan bagi suku Tarahumara juga dinodai dengan bermunculannya minuman keras murah, para penjahat bersenjata, dan berbagai chatarra, istilah bahasa Meksiko untuk “makanan sampah,” yang cocok untuk memenuhi rak-rak toko yang tidak memiliki lemari pendingin karena tidak ada pasokan listrik. Kaum pria Tarahumara yang masih tradisional biasanya mengenakan bando lebar di kepala dan penutup selangkangan yang membiarkan kaki mereka telanjang, sekalipun cuaca sangat dingin, namun sekarang semakin banyak yang mengenakan celana blue jeans dan topi koboi, serta sepatu bot berujung runcing dari kulit yang dicat sewarna dengan ikat pinggang. Kebanyakan wanita Tarahumara masih suka mengenakan selendang penutup kepala warna-warni dan rok panjang bermotif bunga atau rok wiron berwarna gelap atau pastel bergelombang yang mirip kerang, seperti jumbai tirai jendela. Namun, sekarang mereka juga suka mengenakan celana blue jeans.!break!

Bandara komersial pertama di wilayah itu rencananya akan dibangun di Creel, bekas pusat industri kayu yang perekonomiannya dewasa ini bergantung pada jalur kereta api berpemandangan indah yang melintasi kota. Para perencana dari pihak pemerintah meramalkan bahwa selanjutnya akan terjadi ledakan pembangunan hotel untuk menampung wisatawan baru yang datang berbondong-bondong. Para pejabat di Chihuahua, negara bagian di Meksiko yang mencakup sebagian besar wilayah Tarahumara, membujuk para investor swasta untuk membangun kompleks pariwisata di bibir ngarai—loncat bungee, kereta gantung, lebih banyak hotel, dan “kampung Indian” sebagai tempat pameran permanen untuk menampilkan “ritual, upacara, dan busana”—yang akan dibangun jauh ke sebelah barat rute rel kereta api, menyusuri tempat yang sekarang menjadi tempat wisatawan menikmati pemandangan yang dipenuhi para penjaja, orang Tarahumara. Para penjaja ini hampir semuanya wanita dan anak-anak, menawarkan keranjang dan anyaman yang mereka ketahui disukai wisatawan. Anak-anak perempuan yang masih berusia di bawah usia sekolah, atau sudah cukup umur tetapi bekerja sebagai penjaja cendera mata, mengasongkan tangan yang dipenuhi gelang kepang sambil terus mengucapkan kata bahasa Spanyol pertama yang pernah mereka kenal: “¿Compra?—Mau beli?"

Rencana pengembangan Ngarai Tembaga sarat dengan ketidakpastian dan kontroversi—pembangunan bandara mengalami penundaan berkali-kali, dan perdebatan tentang lingkungan terus berlanjut, terutama karena seluruh wilayah Sierra secara berkala dilanda hembusan angin panas. (Janji-janji tentang kepekaan terhadap lingkungan tidak ditanggapi dengan baik pada musim semi 2008, padahal semua orang yang kukenal, termasuk pejabat pemerintah, tahu bahwa selama bertahun-tahun satu-satunya hotel yang sudah ada di situ membuang limbahnya langsung ke ngarai terdekat; pemiliknya, yang bersikeras mengatakan bahwa perbaikan tangki septik sedang dilakukan, ternyata mantan direktur pariwisata.) Tetapi, ada masalah yang lebih besar dan lebih dikenal secara universal sedang berlangsung di seluruh Sierra Tarahumara, sebutan lain wilayah itu. Dengan atau tanpa bandara, pengaruh kehidupan modern Meksiko sudah datang melanda, merasuki budaya kaum pribumi yang untuk waktu lama berhasil menjaga jarak dengan dunia luar. Namun, setiap dorongan untuk membayangkan bahwa hal ini membuat segalanya—masyarakat pribumi yang dulu kehidupannya harmonis, yang kemudian dikotori oleh para pendatang yang membawa pandangan keliru tentang makna masyarakat beradab—menjadi lebih praktis, segera ditepiskan oleh masyarakat yang benar-benar tinggal di ngarai.   

Seorang perawat klinik di kota San Rafael di Sierra Madre, seorang wanita separuh-Tarahumara yang berusia 35 tahun dan bernama Lorena Olivas Reyes, mengatakan bahwa para pasiennya yang orang Tarahumara sudah terpengaruh oleh kaum chabochi—istilah ini di Sierra disebut chabochiado—sehingga dia tidak perlu menciptakan istilah baru dalam bahasa Rarámuri untuk “tekanan darah tinggi,” yang tidak ada dalam bahasa tersebut. Dia dapat menggunakan bahasa Spanyol ketika menjelaskan kepada pasiennya bahwa mereka, seperti kaum chabochi, sekarang terkena alta presión. Lorena bertulang pipi menonjol dan berambut hitam tebal yang panjangnya sepinggang, yang digulung menjadi konde rapi ketika bekerja di San Rafael. Setiap kali aku melihatnya di klinik, dia selalu mengenakan seragam perawatnya yang putih, tampak anggun dengan mimik wajah serius di kala berjalan dengan efisien di antara para wanita Tarahumara  yang mengenakan rok panjang berwarna cerah.

Lorena pertama kali bermigrasi dari tempatnya dibesarkan, sebuah permukiman Tarahumara berdinding ngarai yang bernama Guagüeyvo, ketika usianya 13 tahun. Dia memanjat ngarai—di kala itu belum ada jalan, dan cara keluar dari tempat itu adalah mendaki lereng ngarai yang terjal—karena dia senang belajar, dan kelas berikutnya yang ada hanya tersedia di sekolah yang jarak tempuhnya berjam-jam, yang bahkan terasa berat bagi pelari-kaki yang masih kecil itu jika harus dilakukan setiap hari. Aku baru mengetahui hal ini ketika aku dan Lorena berhasil meyakinkan seorang tukang kayu di San Rafael untuk mengantarkan kami berkendara selama lima jam ke Guagüeyvo dengan menggunakan truk pickup-nya, bersama ketiga putra Lorena, sebuah sepeda tua, satu wadah lemak babi, sebongkah keju, sekantung cokelat yang dibungkus aluminium foil, dan dua perdu bunga mawar untuk kebun ibunya.    !break!

Waktu itu adalah hari Kamis pada Semana Santa, atau Pekan Suci, hari-hari menjelang Paskah yang menandai waktu paling keramat pada tahun kalender Tarahumara. Para pendeta Jesuit lah yang pertama kali memperkenalkan agama Kristen kepada suku Tarahumara Sierra pada tahun 1600an, tetapi mereka dihalau seabad kemudian, ketika ketegangan politik memaksa bangsa Spanyol mengusir semua anggota Masyarakat Jesus dari Spanyol Baru, dan pada saat para Jesuit kembali pada tahun 1900, praktik keagamaan Tarahumara telah menjadi perpaduan antara dua kepercayaan yang secara taat dipatuhi, acara kebaktian Katolik yang berkombinasi dengan kepercayaan kuno, yang sekarang dipraktikkan di hampir seluruh wilayah Sierra Madre.

Ada beberapa hal yang terjadi di ngarai pada pekan Semana Santa yang pasti mencengangkan kebanyakan orang luar penganut Kristiani yang menyaksikannya untuk pertama kalinya—boneka Judas yang mencerminkan seks dan kekerasan yang mungkin meresahkan para pendatang baru karena merasa hal itu tidak layak disaksikan anak-anak; dan Pharisee, orang Yahudi saleh dari zaman biblikal, berperan penting dalam pawai yang menampilkan orang berlari, menabuh genderang, menari-nari, minum-minum, dan bertarung. Acara ini merupakan tontonan yang sangat memikat, kaum prianya kadang melukis wajah dan dada dengan corak bintik-bintik putih yang menakutkan, dan setiap musim semi, berbagai acara yang berlangsung selama sepekan itu berhasil menarik ribuan pengunjung ke Sierra. Namun, para pengunjung ini tidak datang ke Guagüeyvo, karena kota ini bahkan tidak tercantum pada sejumlah peta. Masyarakatnya tinggal menyebar di tempat-tempat hunian di seputar sebuah cekungan yang rimbun di tebing yang curam, dan di dapur keluarga Lorena kami duduk mengelilingi sebuah meja panjang di senja hari, menyantap tortila panas yang oleh ibu Lorena, Fidencia, terus-menerus diangkat dari tungku dan dituangkan ke piring plastik.

“Bagaimana tadi tariannya?” tanya Lorena.

“Tokoh utama Pharisee-nya jatuh dan kakinya patah,” jawab Fidencia.