Hilangnya Malam Kita

By , Senin, 16 Februari 2009 | 19:23 WIB

Andaikan manusia sungguh-sungguh merasa nyaman dengan hanya diterangi cahaya bulan dan bintang-bintang, niscaya kita bakal mampu beraktivitas dalam kegelapan dengan gembira. Bagi kita, dunia tengah malam akan tampak sama jelasnya  seperti yang dilihat oleh beragam makhluk nokturnal di planet ini. Hanya saja, kita adalah makhluk diurnal, makhluk siang, dengan mata yang tercipta untuk beradaptasi pada kehidupan di bawah siraman cahaya matahari. Ini adalah fakta evolusioner yang mendasar, walaupun sebagian besar dari kita tidak lagi menganggap diri kita sebagai makhluk diurnal dibandingkan kita menganggap diri kita sebagai primata atau mamalia ataupun makhluk Bumi. Meski begitu, hanya fakta itulah yang mampu menjelaskan tentang apa yang telah kita lakukan pada sang malam: Kita telah merekayasa malam dengan mengisi cahaya ke dalamnya agar malam menerima diri kita.!break!

Rekayasa macam ini sama seperti upaya membendung sebuah sungai. Manfaat yang diperoleh dari rekayasa tersebut juga membawa konsekuensi—dinamakan polusi cahaya—yang dampak-dampaknya baru mulai dipelajari oleh para ilmuwan. Polusi cahaya pada umumnya diakibatkan oleh desain pencahayaan yang buruk, yang membiarkan cahaya buatan bersinar ke mana-mana dan ke atas, ke arah langit, ke tempat di mana cahaya itu tidak dibutuhkan, bukannya memfokuskan arah cahaya tersebut ke bawah, ke tempat yang membutuhkannya. Desain pencahayaan yang subal melunturkan kegelapan malam dan mengubah secara radikal tataran—juga ritme—cahaya yang selama ini biasa diterima oleh berbagai jenis kehidupan, termasuk diri kita. Di manapun cahaya buatan manusia menyinari alam, sejumlah aspek kehidupan—migrasi, reproduksi, makan—akan terpengaruh.

Dalam sebagian besar sejarah manusia, frase ”polusi cahaya” tidaklah masuk akal. Bayangkanlah suasana perjalanan menuju London pada suatu malam yang diterangi cahaya bulan di sekitar tahun 1800, ketika London menjadi kota terpadat di Bumi. Hampir satu juta jiwa tinggal di sana, seperti biasa menggunakan produk penerang terbaik yang ada, lilin, rushlight (sejenis lilin yang menggunakan sari tanaman suku Juncaceae sebagai sumbunya), obor, dan lentera. Hanya segelintir rumah yang diterangi cahaya berbahan bakar gas dan lampu-lampu gas publik di jalanan serta alun-alun belum akan beroperasi hingga tujuh tahun kemudian. Dari jarak beberapa kilometer, Anda dapat mencium aroma kota London sama halnya seperti menyaksikan keredupan cahaya kolektifnya.

Kini, sebagian besar peri kehidupan manusia ada di bawah kubah silang-menyilang yang terbentuk dari pantulan dan biasan cahaya, dari sebaran sinar yang berasal dari kota-kota dan daerah pinggiran yang kelebihan penerangan serta dari jalan raya dan pabrik yang kebanjiran cahaya. Hampir seluruh waktu malam di Eropa terlihat sebagai nebula cahaya, sama halnya dengan sebagian besar wilayah Amerika Serikat dan seluruh Jepang. Di Atlantik selatan, pendaran cahaya satu armada penangkap ikan—para nelayan penangkap cumi-cumi yang menggunakan lampu-lampu logam halida untuk menarik perhatian tangkapannya—dapat dilihat dari angkasa dan pada kenyataannya tampak bercahaya lebih terang dibandingkan Buenos Aires atau Rio de Janeiro.

Di sebagian besar kota, langit seolah tak berbintang, menyisakan langit kelam nan kelabu yang menyerupai pendaran cahaya urban di kota Gotham dalam film Batman dan mencerminkan ketakutan kita akan gelap. Kita telah menjadi demikian terbiasa dengan langit malam bersaput jingga yang meresap sehingga keagungan sejati dari malam yang gelap pekat—cukup gelap bagi planet Venus untuk meninggalkan bayangannya di Bumi—menjadi jauh dari pengalaman kita, bahkan jauh pula dari ingatan. Sesungguhnya, di atas langit-langit kota yang pucat itu terbentang sisa alam semesta yang tak terkalahkan sedikitpun oleh cahaya yang kita sia-siakan—sekumpulan bintang, planet, dan galaksi yang gemerlap, berpendar di tengah kegelapan tak berbatas. !break!

Kita telah menyalakani malam seakan malam itu kosong tak berpenghuni, padahal kenyataannya sungguh berlawanan. Di kalangan mamalia sendiri, jumlah spesies nokturnal sungguh mengagumkan. Cahaya merupakan kekuatan biologis yang sangat bertenaga dan bagi banyak spesies berfungsi seperti magnet, sebuah proses yang tengah dipelajari oleh peneliti seperti Travis Longcore dan Cahterine Rich, pendiri Urban Wildlands Group yang berbasis di Los Angeles.

Daya tarik cahaya sungguh besar sehingga para ilmuwan menceritakan tentang burung penyanyi dan burung laut yang ”terpikat” oleh lampu sorot di daratan atau cahaya dari gas tersuar bakar di kilang minyak lepas pantai, berputar-putar mengitarinya ribuan kali hingga akhirnya jatuh kelelahan. Ketika bermigrasi di malam hari, burung cenderung menabrak gedung tinggi yang bercahaya terang; burung-burung yang belum dewasa di dalam perjalanan pertamanya adalah yang paling banyak menjadi korban.

Lazimnya, serangga bergerombol mengerumuni lampu jalanan dan memakan kerumunan serangga tersebut kini tak terpisahkan dari kehidupan banyak spesies kelelawar. Di beberapa lembah di negeri Swiss, kelelawar ladam Eropa (Rhinolophus hipposiideros) mulai menghilang setelah lampu-lampu jalanan mulai dipasang, mungkin karena lembah-lembah tersebut tiba-tiba menjadi dipenuhi oleh kelelawar pipistrel yang asupannya tersedia di sekitar lampu-lampu jalanan. Mamalia nokturnal lainnya—termasuk berbagai jenis tikus gurun, kelelawar buah, opossum, dan luak—mencari makanan dengan lebih waspada di bawah purnama polusi cahaya yang selalu ada setiap malam. Pasalnya, satwa-satwa itu menjadi sasaran yang mudah bagi para pemangsa.

Beberapa burung—diantaranya keluarga blackbird atau Icteridae yang hidup di Amerika dan burung bulbul—berkicau pada jam-jam yang tidak lazim akibat hadirnya cahaya artifisial. Para ilmuwan memastikan bahwa waktu siang artifisial yang panjang itu—dan juga waktu malam yang pendek dan artifisial—menyebabkan pembiakan yang lebih awal pada banyak jenis burung. Selain itu, karena waktu siang yang lebih panjang membuat waktu makan yang lebih lama, jadwal migrasi pun terpengaruh. Satu populasi angsa bewick yang menghabiskan musim dingin di Inggris menjadi gemuk lebih cepat daripada biasanya, mendorong unggas-unggas tersebut untuk memulai migrasinya ke Siberia lebih awal. Masalahnya, tentu saja terletak pada migrasi yang seperti aspek-aspek lainnya dalam perilaku burung merupakan perilaku biologis yang terjadwal amat tepat. Keberangkatan yang lebih awal dapat mengakibatkan kedatangan yang terlalu dini untuk memperoleh kondisi bertelur dan mengeram yang baik.!break!

Penyu yang hendak bertelur yang menunjukkan kesukaan alamiah terhadap pantai-pantai yang gelap kini semakin sulit menemukan tempat yang cocok untuk meletakkan telur. Anak-anak penyu yang tertarik pada cakrawala laut yang lebih terang dan reflektif seringkali dibingungkan oleh pencahayaan artifisial dari balik pantai. Di Florida saja, jumlah anak penyu yang mati berjumlah ratusan ribu setiap tahunnya. Katak dan kodok yang hidup di sekitar jalan raya dengan penerangan yang benderang dibingungkan oleh tataran cahaya nokturnal yang mencapai satu juta kali lebih terang dibandingkan kondisi normal, sehingga hampir setiap aspek perilakunya menjadi kacau, termasuk kebiasaan perkembangbiakannya di malam hari.

Dari semua jenis polusi yang kita hadapi, polusi cahaya mungkin merupakan yang paling mudah dibenahi. Modifikasi sederhana pada tata desain dan instalasi pencahayaan dapat menghasilkan perubahan langsungpada jumlah cahaya yang ditumpahkan ke atmosfer dan seringkali penghematan yang serta-merta terhadap energi.

Sebelumnya, polusi cahaya hanya dianggap mengganggu kegiatan para astronom yang perlu melihat langit malam dalam seluruh kejernihannya yang agung. Sesungguhnya, upaya sipil pertama yang bertujuan untuk mengendalikan polusi cahaya dilakukan di Flagstaff, Arizona, setengah abad yang lalu untuk untuk melindungi pemandangan dari Observatori Lowell yang letaknya tinggi di atas kota. Sejak saat itu, Flagstaff mengetatkan peraturannya dan pada tahun 2001 wilayah tersebut dideklarasikan sebagai Kota Langit Gelap Internasional yang pertama. Hingga kini upaya mengendalikan polusi cahaya telah menyebar ke seluruh dunia. Semakin banyak kota dan bahkan negara secara utuh seperti Republik Ceko, yang berkomitmen untuk mengurangi cahaya menyilaukan yang tidak diinginkan.

Tak seperti astronom, sebagian besar manusia mungkin tidak membutuhkan pemandangan langit malam yang jernih untuk melangsungkan pekerjaannya, tetapi seperti sebagian besar makhluk lainnya kita memang membutuhkan kegelapan. Kegelapan sama pentingnya dengan cahaya bagi kesejahteraan biologis kita dan untuk jam biologis kita. Perputaran rutin antara waktu bangun dan tidur dalam kehidupan kita—salah satu bagian dari ritme siklus harian kita—tidak lebih dari ekspresi biologis terhadap perputaran cahaya di Bumi. Ritme-ritme tersebut begitu mendasar bagi keberadaan kita sehingga upaya untuk mengubahnya sama halnya seperti mengubah gravitasi.!break!

Selama sekitar satu abad terakhir, kita terus melakukan eksperimen terbuka terhadap diri kita, memperpanjang waktu siang, memendekkan malam, dan membuat korsleting respon sensitif tubuh manusia terhadap cahaya. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh dunia baru kita yang benderang itu terlihat lebih nyata pada makhluk-makhluk yang kurang dapat beradaptasi yang hidup di pinggiran peradaban kita. Namun polusi cahaya juga dapat menimbulkan pengaruh biologis yang buruk pada manusia. Setidaknya satu penelitian baru telah menunjukkan hubungan langsung antara tingkat kejadian kanker payudara yang lebih tinggi pada perempuan dengan kondisi cahaya pada waktu malam di lingkungan sekitarnya.

Pada akhirnya, manusia sama-sama terjebak oleh polusi cahaya seperti halnya katak di kolam yang terletak tidak jauh dari jalan raya dengan lampu yang benderang. Hidup dalam cahaya menyilaukan buatan sendiri, kita telah memutus hubungan dengan warisan evolusi dan budaya kita—cahaya bintang-bintang dan ritme siang malam. Dalam arti yang sesungguhnya, polusi cahaya telah membutakan kita terhadap tempat kita yang sesungguhnya di alam semesta ini, melupakan ukuran kita yang sebenarnya, yang dapat ditakar dengan membandingkan dimensi suatu malam yang pekat dengan gugusan bintang bimasakti—tepian galaksi kita—yang membusur di atas kepala kita.