Gadis kecil berambut ikal dan berwajah kumal itu duduk termangu di depan pesawat televisi berukuran 21 inci. Pandangannya lekat ke depan. Meskipun acara di kotak ajaib itu kerap terganggu—gambarnya tak sempurna diterima dari pemancar dan suaranya terdengar seperti radio kehilangan frekuensi, si gadis kecil itu tampak keasyikan. Bahkan ia tak sadar telah hadir di ruangan itu sesosok asing, aku.!break!
Listrik menyala di siang hari seperti itu adalah hal yang jarang sekali dinikmati warga Dusun Tangsi Jaya di Bandung Barat, Jawa Barat, walaupun telah berdiri di sana sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro dengan kapasitas 18 kilowatt (kW). “Kalau siang biasanya listrik mati karena jarang ada yang di rumah. Semua orang pergi bekerja,” jelas Nuryanti, ibu si gadis kecil. Namun, siang itu listrik dibiarkan menyala agar para tamu yakni diriku dan sejumlah peneliti energi alternatif dapat melihat secara leluasa bagaimana pembangkit yang mengandalkan kekuatan air itu bekerja.
Sudah lebih dari setengah tahun, sekitar 70 kepala keluarga di sana dapat menikmati listrik murah meriah dari pembangkit mikrohidro pada malam hari. Sebelumnya, listrik hanya diperoleh dengan bantuan kincir air tradisional. Itu pun khusus untuk penerangan dan tidak merata bagi semua rumah tangga. Mereka yang tidak kebagian terpaksa menggunakan lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Jika ada yang ingin menyalakan televisi, lampu-lampu di sejumlah rumah warga harus rela dipadamkan sementara.
Menggunakan kincir air sebagai sumber penghasil energi listrik tidak hanya terbentur pada daya yang kecil. Lebih dari itu, alat-alat elektronik warga kerap rusak sistem tersebut belum menggunakan alat pengendali tegangan. Pernah suatu ketika, televisi milik seorang warga meledak. Penyebabnya: tegangan menjadi tinggi karena aliran air di sungai sedang kencang.Sebetulnya, listrik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sendiri sudah cukup lama menyapa warga di Desa Gunung Halu. Sayangnya tidak semua dusun dapat terlayani, terutama yang ketinggiannya 1.100 meter di atas permukaan laut dengan topografi berbukit-bukit dan tipologi desa sekitar hutan seperti Dusun Tangsi Jaya ini.
Adapun pembangkit mikrohidro yang sekarang dinikmati masyarakat Tangsi Jaya itu—diberi nama Rimba Lestari—dibangun oleh pemerintah daerah. Biaya yang dibebankan kepada warga pada saat sambungan pertama adalah sebesar 200 ribu rupiah, yang dicicil selama sepuluh bulan. Sedangkan iuran bulanannya sebesar 15 ribu rupiah. Kalau dibandingkan dengan biaya langganan PLN di wilayah tersebut yang sekitar 30 ribu-70 ribu rupiah per bulan, iuran itu masih jauh lebih murah.!break!
Meskipun demikian, masih banyak warga yang menunggak pembayaran hingga beberapa bulan. Opan menduga ini hanya masalah kebiasaan. Dulu warga Tangsi Jaya terbiasa menggunakan minyak tanah dan membelinya bisa dicicil dengan nominal yang relatif kecil. “Sekarang, tiap bulan mereka harus bayar langsung 15 ribu rupiah. Itu yang belum terbiasa,” jelasnya.
Menurut Daniel, pembangkit listrik tenaga mikrohidro adalah sebuah pembangkit listrik kecil yang menggunakan tenaga air di bawah kapasitas 200 kW yang dapat berasal dari saluran irigasi, sungai, atau air terjun alam. Cara kerjanya dengan memanfaatkan tinggi terjun (head) dan debit air. Dengan kehadiran pembangkit mikrohidro seperti Rimba Lestari, kupikir pelan-pelan kehidupan warga Tangsi Jaya bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan alam yang indah, udara bersih, tanah yang subur, ketercukupan energi, mereka hampir memiliki segalanya dan tak perlu berpusing-pusing menghadapi gempuran harga minyak yang melambung tinggi.
Selain listrik murah, untuk memasak sehari-hari mereka cukup mengandalkan kayu bakar yang tersedia berlimpah di sekeliling rumah. Kadang, jika sedang malas mencari, Nuryanti akan membeli kayu-kayu tersebut dari warga yang memang sehari-hari bekerja sebagai pencari kayu. Tidak perlu elpiji, apalagi minyak tanah yang subsidinya sudah mencapai dua kali lipat dari harga keekonomiannya sendiri. “Minyak tanah mahal. Saya pakai kayu bakar saja. Beli lima ribu rupiah sudah bisa untuk tiga hari,” terang ibu tiga anak ini.
Ahli hidrologi yang juga sekretaris jenderal pada Asosiasi Hidro Bandung, Faisal Rahadian, mengatakan kepadaku bahwa pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga mikrohidro lengkap dengan instalasinya sebenarnya membutuhkan investasi yang tidak sedikit: rata-rata 27,5 juta rupiah per kilowatt-nya. Dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar solar, misalnya, masih lebih mahal. Namun, jelas Faisal, ”Pembangkit tenaga mikrohidro memang memerlukan investasi awal yang besar tetapi biaya operasionalnya rendah. Untuk pembangkit dengan BBM yang tidak disubsidi pemerintah, harga listriknya bisa mencapai dua ribu rupiah per kilowatt perjam. Sedangkan mikrohidro hanya sekitar 750 sampai 1.450 rupiah per kilowatt per jam dengan harga suku cadang yang juga tidak mahal.”!break!
Meski begitu menurutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar tingkat kegagalan pembangkit mikrohidro mencapai 0 persen. Di antaranya identifikasi lokasi yang cocok, jumlah calon konsumen, dan jarak lokasi pembangunan (pusat beban) terhadap jaringan PLN terdekat serta sumber air itu sendiri. Itu belum semuanya.
Ada lagi informasi teknik yang juga harus diketahui seperti estimasi debit aliran air yang direncanakan dan diharapkan dapat tersedia sepanjang tahun. Kemudian, pengukuran head dan estimasi head yang dapat diperoleh, estimasi total daya terbangkit, serta panjang jaringan transmisi serta distribusi yang diperlukan—termasuk estimasi jarak dari rumah pembangkit ke pusat beban. “Informasi yang berkaitan dengan topografi dan kondisi di sekitar pembangkit juga pentingnya. Seperti area yang rawan longsor, riwayat gempa dan sebagainya,” terang peneliti mikrohidro itu.
Informasi khusus yang berkaitan dengan konservasi daerah setempat dan lingkungan yang khusus seperti kondisi hutan di sekitar yang mempengaruhi reservasi air, kawasan cagar alam dan budaya atau adat juga perlu diketahui. Faisal menambahkan, dalam pengukuran debit air biasanya terdapat kendala berupa keterbatasan data dan ketersediaan waktu survei yang tidak memungkinkan pengukuran air sepanjang tahun. ”Sebagai jalan keluar, pengukuran debit dapat dilakukan pada musim kemarau,” ucapnya.
Perencanaan dan riset semacam itu yang mungkin dilakukan dengan kurang akurat tatkala Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) Provinsi Yogyakarta membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Dusun Daleman, Sleman. Setelah menelan anggaran daerah hingga 50 juta rupiah dengan kapasitas mencapai 15 kW, pembangkit tersebut hanya mampu melayani enam pelanggan dan beroperasi selama tiga bulan saja.!break!
Sebagai orang awam, aku sendiri juga heran, kenapa bisa instalasi itu dibangun mengandalkan aliran Kali Duren yang ketika kutengok debitnya memang tak seberapa. Dari tingkat kemiringan pun sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pembangkit di Dusun Tangsi Jaya.Woto, seorang operator di pembangkit tersebut, menyebutkan bahwa pasokan air tidak memadai karena banyak warga menggantungkan kelangsungan tanaman pertanian mereka dari aliran kali itu. Pun yang tak kalah ikut menyumbang terhadap kelangsungan debit air Kali Duren adalah karena di daerah hulu kini sudah banyak di bangun pipa-pipa untuk memasok air bersih bagi pemenuhan keperluan rumah tangga masyarakat kota. “Sekarang pembangkit ini hanya dihidupkan kalau ada mahasiswa praktik saja,” selorohnya. ”Petugasnya sampai minta kepada saya bagaimanapun caranya agar pembangkit ini bisa terus hidup. Tapi mau usaha sekeras apapun juga tidak akan bisa kalau airnya tidak ada.”
Ketika dihubungi terpisah, perwakilan dari P3BA yang menolak untuk disebutkan namanya mengakui, ada hal yang luput dari perhitungan saat merancang pembangkit mikrohidro di Dusun Daleman: kondisi lingkungan sekitar yang rawan terhadap bencana. Ia menjelaskan, dalam perhitungan awal diketahui bahwa besar debit air mencapai seribu meter kubik per detik. “Tapi setelah terjadi erupsi Gunung Merapi, debitnya berkurang menjadi 500 meter kubik per detik saja,” terangnya.
Agar tidak menjadi bangunan sia-sia, sang perwakilan menjelaskan dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengkaji penggunaan turbin yang lebih kecil. Turbin terpasang saat ini dengan kemampuan produksi listrik hingga 10 kW akan diganti menjadi turbin yang hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 3,5 kW. “Ini memang kendala membangun mikrohidro di daerah rawan bencana,” keluhnya.
Berjalan ke arah barat, masih di wilayah Sleman, aku juga menemukan dua buah pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang letaknya tidak begitu jauh dan mengandalkan air dari selokan Van der Wijck. Satu pembangkit masih terlihat baru dan belum nampak jaringan listrik untuk mengalirkan energi dari gerakan turbinnya. Satu pembangkit lain sudah dihiasi jaringan kabel kecil. Namun, aku tidak menemukan satu pun petugas di sana. Pembangkit itu memang berada di pinggir jalan raya, tapi rumah terdekat yang mampu aku lihat berjarak sekitar satu kilometer. Maka kuputuskan untuk pergi dengan meninggalkan sebuah catatan kecil di bawah pintu. Berharap ada yang membalas pesanku itu.!break!
Sekitar pukul 18.00 WIB, Sudarno, orang yang menemukan catatan tersebut menghubungiku. Ia bercerita pembangkit yang sudah menyala itu sebenarnya bisa menghasilkan listrik hingga 11 kW dan ditujukan bagi konsumsi warga di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir. Sayang, karena banyaknya sampah yang melewati selokan, maka pembangkit hanya optimal bekerja sebesar 9,5 kW saja.
SWADAYA DENGAN KINCIRAir memang menjadi salah satu persoalan serius dalam kelangsungan pembangkit mikrohidro. Tak jarang, isu perambahan hutan atau alih fungsi lahan menjadi tantangan serius. Bagaimana debit air bisa tetap cukup apabila hutan di daerah hulu-hulu sungai, sumber air, telah atau sedang lenyap? Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sendiri misalnya, sudah mengamanatkan pentingnya pelestarian daerah resapan air termasuk perundang-undangan yang terkait lainnya. Namun, apa boleh dikata, toh kerusakan hutan dan daerah hulu sungai masih terus terjadi.
Di Cibulao, sebuah dusun yang terletak beberapa kilometer dari jalan raya Puncak, Jawa Barat, debit sungai yang digunakan untuk pembangkit listrik juga terganggu akibat maraknya pengalihfungsian daerah resapan air. Itu termasuk pula pengalihfungsian kebun-kebun teh di hampir seluruh kawasan Puncak terutama menjadi bangunan batu bata. Warga di sekitar kawasan wisata Puncak menyebut para penjarah daerah resapan air sebagai biong atau biang bohong. Sebutan itu berawal dari aktivitas mereka menjarah lahan perkebunan dengan cara merusak atau membakar tanaman teh, lalu lahan tersebut dijual setelah sebelumnya bersama dengan oknum-oknum pemerintah setempat menerbitkan sertifikat tanah palsu.
Ketika aku akan memasuki Dusun Cibulao, terlihat ada sejumlah lahan yang baru saja dibakar. Aku bertanya kepada Nanang—pionir pembangkit listrik dengan kincir air di sana—apakah itu juga merupakan ulah para biong? Nanang hanya menjawab dengan tawa lebar.Di tengah-tengah berbagai berita mengenai krisis listrik, krisis energi, ketergantungan pada pemerintah, masyarakat Dusun Cibulao terbilang berhasil dalam usaha memenuhi kebutuhan energi listriknya sendiri. Memang, di dusun ini sejak Juli lalu PLN telah masuk. Akan tetapi, sebelumnya masyarakat menggunakan kincir-kincir air dengan usaha sendiri, untuk menghasilkan listrik.!break!
Hal itu bermula ketika Nanang menemukan kincir air sederhana yang mampu membuat rumahnya terang. Mengaku mendapat ide dari ayah mertuanya yang tinggal di dusun tetangga dan mengusahakan energi listriknya sendiri, Nanang bergerak. Lelaki muda yang hanya lulus Sekolah Dasar itu menggunakan dinamo, magnet, pelek sepeda, pipa paralon, sampai kabel telepon. Semua dimanfaatkannya untuk menghasilkan listrik dengan tenaga air di Sungai Cibulao hingga mengalirkannya ke rumahnya. ”Lumayanlah, bisa menghasilkan listrik 200 watt,” katanya dengan bangga.
Nanang menghabiskan uang tak lebih dari satu juta rupiah untuk merealisasikan idenya itu. Ia banyak menggunakan barang bekas. Ayah dua anak ini sempat menawarkan ke sejumlah tetangganya agar mau dibuatkan kincir penghasil listrik. Sayang, jangankan percaya, para warga yang rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar itu malah justru menganggap Nanang seperti orang gila. Maklum, tidak sedikit dari mereka yang masih berpikir bahwa listrik adalah milik PLN dan hanya perusahaan milik negara itu saja yang bisa memberi mereka listrik.
Setelah rumah Nanang terang, satu per satu warga mulai tertarik untuk mencoba. Selain mengandalkan air Sungai Cibulao, warga juga memanfaatkan air dari Telaga Saat dengan cara membangun bendungan dengan pipa seadanya. Ketika ingin menghidupkan kincir air, mereka tinggal membuka pintu bendungan tersebut. Selama kurun waktu sepuluh tahun sejak 1997, sudah puluhan kincir yang dibuat Nanang atas permintaan warga. Biaya untuk satu unit kincir air berkisar antara 1,5 juta sampai dua juta rupiah.
Bagaimanapun, seperti permasalahan di Tangsi Jaya, penggunaan kincir air rentan merusak barang-barang elektronik bagi penggunanya karena sangat bergantung pada debit arus air sungai. Jika musim kemarau, si kincir bahkan bisa sampai tidak berfungsi sama sekali. Maklum saja, tenaga utama untuk menggerakkan kincir memang berasal dari kucuran air sungai. Kalau sudah begitu, maka warga harus siap menyambung malam dengan lampu teplok atau alat penerangan lain yang berbahan bakar minyak tanah. ”Sementara kalau airnya deras, daya yang dihasilkan bisa melebihi jumlahyang dibutuhkan lampu-lampu di rumah. Kalau sudah terlalu besar, lampu bisa pecah," ungkap Nanang.!break!
Dari semua cerita itu, yang membuatku berdecak kagum adalah kemandirian warga dalam memenuhi kebutuhan energi mereka. Menurut Nanang, selama puluhan tahun dusun itu berdiri, tak satu pun bantuan yang mengucur ke rumah mereka. Padahal bagiku, dusun itu tak begitu terpencil. Hanya berjarak sekitar tiga jam saja dari Jakarta. Memang dulu bantuan pernah datang dari pihak perkebunan yang memberikan genset berbahan bakar solar. Pihak perkebunan melalui salah seorang mandornya, sebut Nanang, pernah menawarkan kepada warga untuk membayar iuran sebesar 50 ribu rupiah per bulan demi mendapat pasokan listrik. “Sayangnya listrik hanya menyala dua jam dari pukul enam sore hingga pukul delapan malam karena keterbatasan solar. Jadi untuk apa pakai itu, lebih baik kincir saja,” tambahnya.
Mengenai kenapa listrik dari PLN baru masuk baru-baru ini, agaknya lantaran faktor bentangan alam dan efisiensi. Meskipun hanya beberapa kilometer dari jalan raya Puncak, Dusun Cibulao dikelilingi perbukitan dan jalan menuju ke sana cukup sulit. Selain itu, jumlah penduduknya tidak seberapa banyak, hanya 97 keluarga. Setelah listrik dari PLN tersedia saat ini, ditambah cadangan penggunaan kincir air buatan sendiri yang telah lama berjalan, masyarakat Cibulao juga tetap mengandalkan kayu bakar untuk memasak sehari-hari. Kayu-kayu itu kebanyakan berupa ranting yang sudah terjatuh dari pohonnya di hutan yang berjarak sekitar satu sampai tiga kilometer dari rumah warga.
Ibu Uun, istri dari Kepala Dusun Cibulao juga masih menggunakan minyak tanah namun dalam jumlah yang relatif kecil. “Hanya tiga liter untuk satu bulan,” terangnya. Kutemui pula seorang warga, yaitu Eli, yang sudah menggunakan gas elpiji. “Saya memang berasal dari Jakarta, terbiasa menggunakan elpiji,” ucapnya. Apapun asalnya, masyarakat di dusun tersebut cukup terpenuhi kebutuhan energinya. Fakta bahwa sebagian besar diusahakan sendiri oleh mereka adalah suatu hal yang mengagumkan.
SEHARUSNYA PILIHAN TERAKHIRDalam sebuah perjalanan melintasi pohon-pohon jati yang tumbuh subur di perbukitan batuan kapur Gunung Kidul, aku bertanya-tanya mengapa Indonesia masih saja terengah-engah mengikuti pergerakan harga minyak dunia? Bukankah sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga air, angin, surya, dan sebagainya, tersedia luas?!break!
Selain persoalan dana dan teknologi, penyebabnya barangkali survei dan riset yang belum optimal seperti kasus pembangkit listrik mikrohidro yang sia-sia di Dusun Daleman di atas tadi. Atau, dalam skala yang lebih luas, seperti contoh yang disebutkan oleh Soeripno Martosaputro, salah seorang peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN): “Saat ini adalah kita belum memiliki peta potensi energi angin.”
Meskipun tampaknya potensi tenaga angin di Indonesia cukup besar, potensi tenaga angin yang paling besar agaknya hanya terdapat di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Pantai Selatan Jawa di mana kecepatan di atas lima meter per detik dengan daya spesifik W/m2 sehingga potensi energi yang dihasilkan bisa mencapai di atas 100 kW. Aku teringat pada sebuah lokasi di Nusa Penida, Bali, di mana kincir angin yang telah dibangun dengan biaya mahal ternyata tidak berfungsi sebagaimana diharapkan karena anginnya telalu kecil—pertanda bahwa riset awalnya kurang cermat.
Di Dusun Gesing, sebuah lokasi transmigran yang terpencil di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, dua kincir angin dengan kapasitas 30 watt dan 35 watt disumbangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY. Awalnya, kedua kincir tersebut dimaksudkan untuk memompa air sumur dan penggunaan telepon satelit guna mempermudah akses warga. Namun, seiring perjalanan waktu, ternyata listrik yang dihasilkan kincir tersebut tidak mampu mengangkat air karena kekuatan angin yang tidak optimal. Ketika salah satu kincir rusak seperti yang terjadi kemudian, masalah bertambah.
Akhirnya, kincir tersebut hanya digunakan untuk menerangi rumah warga. Itu pun hanya empat keluarga yang berminat. Sebabnya, biaya 150 ribu rupiah untuk membeli kabel dan biaya penyambungan dirasa terlalu berat. Selain kincir angin, dusun tersebut juga memiliki panel pembangkit listrik tenaga surya hasil sumbangan pemerintah daerah. Namun, panel surya tersebut hanya mampu menyimpan daya kurang dari 100 watt dengan tegangan 220 volt, sehingga hanya bisa menghidupkan empat lampu neon masing-masing 10 sampai 15 watt.!break!
Menurut Satijan, salah seorang transmigran yang masih bertahan, satu panel surya digunakan oleh dua keluarga. Rata-rata mereka mendapat tiga buah lampu yang terangnya tidak seberapa. “Kita juga bisa menghidupkan televisi tetapi hanya yang hitam putih,” katanya. Perjuangan untuk mendapatkan energi listrik, bagi warga Dusun Gesing sehari-harinya juga diisi dengan perawatan seperti mengganti air aki secara rutin. Selain itu, aki yang sudah terisi penuh oleh energi yang dihasilkan dari panel surya tidak bisa didiamkan terlalu lama. Energi itu harus segera dialirkan, atau akan merusak lampu. Sementara untuk mendapatkan lampu itu sendiri tidak mudah karena dalam sistem panel surya menggunakan listrik arus searah atau direct current (DC). Sedangkan yang ada di pasaran, lebih banyak tersedia lampu dengan sistem arus bolak-balik atau alternating current (AC).
Apabila matahari sedang redup tertutup awan, atau hujan, dipastikan pula daya listrik yang dihasilkan dari panel mengecil. Dalam kondisi itu, sehari-hari warga kembali mengandalkan lampu teplok atau sentir berbahan bakar minyak tanah sebagai alat penerangan. Berharap dari sambungan PLN? Kembali terbentur pada persoalan infrastruktur jalan dan pengguna potensialnya. Jarak dari tiang terakhir di Desa Girikerto sampai lokasi Dusun Gesing lebih dari enam kilometer belum memungkinkan untuk dipasang jaringan. Jumlah penduduk Dusun Gesing pun tidak seberapa—ongkos instalasi dan perawatannya tidak sebanding dengan pemasukan bagi PLN.
Di lokasi lain yang masih di wilayah Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Ploso, Desa Giritirto, berdiri pula dengan menawan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 1.440 watt peak (Wp). Pembangkit ini bukan untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi 140 keluarga yang memang sudah mendapat pasokan langsung dari PLN. Namun, pembangkit ini digunakan untuk menghidupkan pompa-pompa yang mampu menarik air dari gua dengan kedalaman sekitar 20 meter ke bak-bak penampung agar lebih mudah dijangkau masyarakat—untuk mengatasi persoalan air bersih dan kekeringan yang sudah menjadi masalah klasik di wilayah Gunung Kidul.
Dua pembangkit tenaga surya ini kemudian rusak setelah beberapa tahun beroperasi, dan perbaikannya tak kunjung mampu dilakukan. ”Biayanya puluhan juta,” ungkap Haryono, Kepala Dusun Ploso. Dirjen Listrik dan Pemanfataan Energi (LPE), Ratna Ariati, mengatakan bahwa panel surya menjadi sangat mahal karena sel surya fotovoltaik (PV) masih harus diimpor. Jika dibandingkan secara rata-rata, misalnya, untuk menghasilkan satu kilowatt listrik dengan menggunakan teknologi surya dibutuhkan dana sekitar 200 juta rupiah. Apabila menggunakan mikrohidro hanya berkisar 25-30 juta rupiah. Sedangkan menggunakan energi angin berkisar antara 40-50 juta rupiah. Untuk itu ia menyebutkan, sebenarnya pemanfaatan sel surya untuk listrik bagi penduduk di daerah pedalaman tidak menjadi prioritas. “Panel surya itu pilihan terakhir, kalau memang di daerah itu sudah tidak ada sumber energi alternatif lainnya,” sebut Ratna.!break!
Meskipun demikian, Ratna memberitahuku bahwa usia panel surya dapat mencapai 20 tahun jika kita paham cara merawatnya. Batere harus rutin diperiksa air akinya. Usia batere bertahan hingga dua tahun. Biasanya, pengetahuan masyarakat penggunan panel surya itu sangat minim. Ketika pembangkit itu tidak lagi bekerja, mereka mungkin cepat berpikir bahwa itu sudah rusak. “Padahal mungkin saja yang jadi masalah ada di batere,” terang wanita yang juga memanfaatkan bauran energi listrik dari PLN dan panel surya ini di rumahnya.
Sebenarnya di luar negeri sendiri terutama negara-negara maju, menurut Ratna, fokus penggunaan panel surya juga didorong oleh isu lingkungan—dalam hal ini pemanasan global. Bukan semata-mata karena keterbatasan energi fosil. “Jadi, di luar negeri pun harga panel surya masih mahal. Sekarang bisa dikatakan harganya meningkat karena permintaan tinggi. Mereka tidak memakai panel surya untuk daerah terpencil, melainkan daerah perkotaan karena dikaitkan dengan isu lingkungan. Sementara di negeri kita, panel surya masih dipakai untuk memenuhi kebutuhan daerah terpencil,” sebutnya.
MASIH LEBIH MAHALSalah satu contoh lain mengenai inovasi di bidang energi alternatif dapat ditemukan pada pemanfaatan tetes tebu menjadi ethanol, yang antara lain dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Baru-baru ini aku bertemu dengan Ivan Aries, seorang pria muda yang memberikan pelatihan pembuatan bahan bakar nabati jenis ethanol kepada masyarakat yang membutuhkan.
Melalui alat penyulingan yang ia ciptakan sendiri, Ivan sukses menciptakan ethanol dengan kadar kemurnian hingga 95 persen. Pengetahuan itu ia dapatkan sendiri melalui coba-coba selama hampir 11 bulan dengan bantuan fasilitas internet sampai terjun langsung mengunjungi pelosok negeri. “Intinya ’kan di penyulingan,” kata Ivan. ”Hasil fermentasi molase ini mengandung kadar 10 persen ethanol. Supaya bisa mengandung 90 persen butuh proses yang namanya penyulingan.”!break!
Kegelisahan lain yang mendorong Ivan melakukan ini adalah kekecewaannya terhadap program konversi minyak tanah ke elpiji yang diserukan pemerintah. Baginya, pemerintah kurang kreatif mensiasati harga minyak yang terus melambung tinggi dengan memaksa masyarakat mengganti kompor minyak mereka. Ivan menciptakan ethanol bukan sebagai pengganti bahan bakar minyak untuk kendaraan seperti yang dilakukan banyak orang, melainkan sebagai pengganti minyak tanah. Sebuah inovasi yang memenuhi dua hal sekaligus: mendukung misi pemerintah mengurangi penggunaan energi fosil serta membantu masyarakat agar tidak perlu meninggalkan kebiasaan turun-temurun dalam hal memasak.
Bahan bakar ini bersih. Dengan mata kepala sendiri aku melihat bagaimana api yang diciptakan ethanol mampu membakar dengan sempurna namun tidak meninggalkan bekas apapun juga. Sebab sudah merupakan karakteristik ethanol yang tidak akan membakar media apapun yang berada di dalamnya. Maka ketika digunakan untuk kompor minyak, Anda akan berdecak kagum melihat sumbu kompor yang masih putih bersih meski sudah digunakan berkali-kali. Untuk satu liter ethanol bisa bertahan untuk memasak selama lima jam.
Pada dasarnya, tumbuhan apapun yang manis seperti tebu dan aren bisa menjadi ethanol melalui proses fermentasi. Sementara kalau jagung, singkong, ketela, beras, ataupun kedelai itu harus dikonversi dulu menjadi gula. Ivan kemudian menjelaskan rincian teknis yang berujung pada kalimat ini: “Jadi bukan singkong mendadak jadi ethanol. Singkong diubah patinya dulu menjadi enzim gula.”
Untuk membangun pabrik sederhana yang mampu menghasilkan 70 liter ethanol per hari, menurut Ivan investasinya sebesar 30 juta rupiah—termasuk untuk membeli mesin pengolahan yang ia rancang sendiri sebesar 8 juta rupiah. Namun, karena mudah dibuat dan rentan disalahgunakan menjadi minuman keras, proses perizinan produksi ethanol tidak mudah didapatkan. Masalah berikutnya: bahan baku. ”Kita kalah dari Malaysia yang produksi singkongnya bisa 150 ton sementara Indonesia kebun singkongnya hanya bisa menghasilkan enam ton,” keluhnya.!break!
Sekretaris Tim Nasional Bahan Bakar Nabati, Evita Legowo mengatakan, jika dibandingkan dengan biodiesel yang biasa digunakan untuk mengganti bahan bakar solar, harga bioethanol memang relatif lebih bagus. Akan tetapi, pasokan bahan untuk bioethanol belum siap. Mengenai harga, diperkirakan ethanol ini juga sekitar enam ribu rupiah per liter—masih lebih mahal dibandingkan dengan minyak tanah harga sekarang (yang disubsidi pemerintah), yang berkisar di angka 2.300 rupiah.
ANTARA METANA DAN BIOGASAku bergidik penuh rasa jijik ketika Sutrisna, salah seorang warga Jetis Pasiraman di tepi Kali Code, Yogyakarta, mengajakku mendekati sebuah tong penimbunan yang ditanam di sebidang tanah. Bentuknya seperti tong penyimpanan air biasa namun dibangun secara permanen. Jika sebelumnya tidak diberitahu apa isi tong itu, mungkin aku tanpa ragu akan menengok ke dalam. “Di situ kita menimbun tinja, Mbak. Biar bisa menghasilkan gas,” tunjuk Sutrisna. “Ada 19 keluarga membuang kotoran mereka ke bak itu.”
Gas hasil pembusukan material organik seperti kotoran manusia bisa digunakan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Cukup dengan membangun biodigester (bak penampungan) yang kedap udara ataupun berkadar oksigen rendah (anaerobic), gas bio sudah bisa dihasilkan melalui sebuah proses mikrobiologi.
Bagaimanapun, masyarakat tak mudah untuk diyakinkan. Meski berkali-kali dijelaskan bahwa gas itu aman untuk digunakan, bahkan tidak dikenakan biaya penyambungan, pada awalnya hanya dua keluarga yang menyatakan berminat. “Mereka bilang, nanti saja kalau sudah ada bukti baru mau ikut menyambung,” kenang Sutrisna.!break!
Dalam suatu uji coba pada sebuah kompor, gas yang dihasilkan dari biodigester itu mampu bertahan hingga sembilan jam. Salah seorang warga penggunanya, Heru, tidak perlu pusing ketika elpiji 12 kilogram yang dulu digunakan istrinya untuk masak naik harganya pada Mei lalu. Namun, sebagai antisipasi jika biodigester tidak berproduksi, ia tetap menyimpan kompor minyak. “Yang jelas, saya tidak pernah membeli elpiji lagi. Dulu dalam sebulan saya menghabiskan elpiji satu setengah tabung. Hitung-hitung, kini saya bisa menghemat sekitar 100 ribu rupiah per bulan,” ucapnya diiringi senyuman.
Bagaimanapun, investasi awal untuk membuat sambungan tidaklah terlalu murah. Rumah yang berjarak tiga sampai empat meter dari biodigester, misalnya, membutuhkan biaya 750 ribu rupiah termasuk untuk membeli kompor yang harganya sekitar 200 ribu rupiah. Itu belum termasuk tenaga tukang yang memasangnya.
Selain biaya, terdapat kekhawatiran di antara warga pengguna kompor biogas: tekanan gas menjadi tinggi kala musim hujan tiba. Jika terjadi kebocoran dan terdapat percikan api sedikit saja, gas akan mudah meledak. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah kapasitas kotorannya sendiri. Baru diketahui, ternyata untuk memenuhi kebutuhan gas bagi satu keluarga diperlukan sumbagan kotoran dari 10 keluarga lainnya. Karena jumlah tinja yang masuk ke biodigester hanya dari 19 keluarga, maka hanya dua keluarga saja yang bisa menikmati gas itu. Bahkan ketika pertama kali digunakan, ke dalam biodigester perlu dimasukkan 20 karung kotoran ayam yang masih basah, sebagai pancingan agar gas bisa diproduksi.
Hal serupa juga dialami warga di Dusun Krapyak IX di Kecamatan Sayegan, Yogyakarta. Mayoritas penduduk di desa itu memang menggantungkan hidup mereka dari usaha pembuatan tahu tradisional. Terdapat puluhan pabrik tahu tradisional di sana, yang limbah-limbahnya disalurkan menuju rumah produksi di mana telah tersedia biodigester.Dengan memanfaatkan gas dari hasil pengolahan limbah, proses memasak tahu lebih cepat dan ongkos produksinya lebih murah. Sayangnya kemampuan biodigester yang dibangun sejak tahun 2007 itu perlahan-lahan berkurang. Kadang, tidak sampai empat jam gas sudah habis. Sejumlah peneliti yang mampir ke sana pernah menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pasokan limbah tahu yang masuk terlalu banyak air.!break!
“Biodigester dengan menggunakan tinja manusia itu sering tidak berhasil karena biasanya air yang digunakan untuk menyiram kotoran terlalu banyak. Sepertinya hal itu yang terjadi di Kali Code dan Krapyak,” ungkap Rochadi Tawaf, peneliti dari Pusat Teknologi Tepat Guna, sebuah lembaga penelitian Universitas Padjajaran.
Menurut Rochadi, ada beberapa faktor yang membuat pemanfaatan biogas ini sulit berkembang. Salah satunya terkait kultur dari masyarakat itu sendiri. Ia mengambil contoh masyarakat yang tinggal di pedalaman: karena kondisi sosiologis, mereka tidak begitu membutuhkan biogas karena bahan bakar seperti kayu begitu mudah ditemui. "Keberadaan tungku bagi masyarakat pedalaman juga mempunyai fungsi sosial yaitu distribusi manajemen keluarga. Tidak saja untuk memasak, tapi juga penghangat. Bisa dibayangkan kalau itu harus diganti dengan kompor gas," jelasnya.
Untuk masyarakat perkotaan, pengembangan biogas juga menemui kendala: perasaan jijik dan najis karena menggunakan gas bentukan tinja mereka. Selain itu, imbuh Rochadi, umumnya rumah di perkotaan sudah memiliki septitank sendiri. Belum lagi kendala berupa ketidaktahuan dan ketidakdisiplinan masyarakat. Rochadi menjelaskan, dalam hal menyumbang efek rumah kaca, gas metana yang dihasilkan oleh kotoran manusia, hewan, serta limbah sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan dengan karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil. Akan tetapi, jika metana telah diolah menjadi biogas dan terbakar, justru lebih ramah lingkungan.
Karbon dalam biogas merupakan karbon yang diambil dari atmosfer oleh fotosintesis tanaman, sehingga ketika dilepaskan lagi ke atmosfer tidak begitu banyak menambah jumlah karbon di atmosfer dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Dengan kata lain, energi yang dihasilkan oleh biogas lebih besar sementara emisinya lebih sedikit—karena itu memegang peranan penting dalam manajemen limbah.
Bagi Rochadi, pemanfaatan biogas jauh lebih ekonomis jika dibandingkan dengan penggunaan energi alternatif lainnya. Karena relatif lebih mudah dan bisa diterapkan di mana saja, juga oleh siapa saja. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah masyarakat kita mau sedikit repot untuk kreatif dalam memenuhi kebutuhan energinya, serta menghilangkan gaya konsumtifnya? Ia mengutarakan sebuah kata kunci: ”Energi alternatif dan teknologinya relatif lebih mudah untuk dicari. Akan tetapi mengubah perilaku masyarakatnya itu yang sulit sekali.”