Legenda Daisetsuzan

By , Selasa, 17 Maret 2009 | 13:36 WIB

Api dan air berbenturan di Daisetsuzan. Dua gunung api besar tersemat di taman nasional yang ada di tengah-tengah pulau paling utara Jepang, Hokkaido, tersebut. Puncak-puncaknya yang berasap melandai ke lereng yang berhutan, berbantalkan salju, dan terkikis sungai—200.000 hektar dengan warnanya berganti-ganti dari hijau, jingga, merah, dan putih, sesuai musim. Kepulauan Jepang menyeruak dari dalam laut akibat kekejaman seismik. Lempeng-lempeng tektonik menggelincir dan saling menimpa, lapisan batu cadas meleleh dan terkumpul di bawah tanah, gunung api meletus. Asahi Dake, gunung tertinggi di Hokkaido yang tidur selama berabad-abad menjulang di utara.!break!

Tokachi Dake di selatan, terakhir kali meletus pada 2004. Dalam iklim Hokkaido yang dingin dan basah, gunung-gunung api yang dibangun oleh api internal Bumi tertutupi salju dan salju berubah menjadi aliran air yang deras, hutan, lumut, dan bunga. Daisetsuzan berarti “gunung salju yang besar.” Tetumbuhan yang lebat menyebabkan sebagian besar Daisetsuzan tak bisa dimasuki, tetap lestari dengan sendirinya, tidak terganggu, kecuali oleh adanya beberapa jalan setapak. Di negara kepulauan yang padat ini—salah satu negara yang paling padat industri dan paling padat penduduknya di dunia—taman tersebut menyediakan ruang terbuka yang langka, puncak gunung dan hutannya dikelilingi lahan-lahan pertanian yang asri. Taman itu menjadi tempat persinggahan rusa, burung, kelinci, dan beruang, serta pepohonan, semak belukar, dan aneka bunga. Wisatawan Jepang yang menyandang ransel terpesona oleh kemegahan alam tersebut.

Sesekali di musim panas dan gugur, Michiko Aoki, putri seorang pendeta Buddha, mendaki selama delapan jam dan melampaui Asahi Dake, menyeberangi punggung bukit yang berliku, dan turun ke lembah yang jarang ditapaki manusia untuk menemui kekasihnya yang membantu pemantauan beruang cokelat Hokkaido penghuni taman. Pada satu dini hari yang hangat di musim gugur, aku menyertainya. Di saat kami mendekati Asahi Dake, nafas yang bergaung dari lubang-lubang di gunung api itu mengingatkan kami bahwa ada gunung di depan, tetapi karena tersaput awan, Asahi Dake luput dari penglihatan kami. Di permukaan danau Sugatami-ike yang sebening cermin, bercak salju di kejauhan berbaur dengan uap air; alur-alur uap air mengikat Asahi Dake dengan kamuy, ruh suku Ainu yang hidup di segala penjuru.

Di masa ketika gletser sepenuhnya menutupi wilayah tersebut 18.000 tahun silam, Hokkaido dihubungkan dengan Asia oleh jembatan-jembatan darat, bukan dengan Jepang, dan para leluhur masyarakat suku Ainu menyeberanginya untuk mencapai Hokkaido. Segelintir suku asli Ainu masih tersisa, meskipun leluhur mereka telah diusir dan diasimilasi oleh bangsa Jepang.  Bagaimanapun, mustahil menikmati sungai dan pegunungan ini tanpa memikirkan cara pandang suku Ainu yang menyakralkan tempat tersebut.

Orang Ainu membagi tanah mereka menjadi lahan-lahan cakupan desa atau iwor, tempat mereka memancing ikan salem, berburu beruang, dan mengumpulkan kayu dan buah buni. Makhluk hidup yang menjaga mereka adalah para dewa yang sedang menyamar, ruh yang mengunjungi dunia fana. Kamuy juga muncul sebagai benda mati: pisau berburu dan rumah bambu. Untuk mengembalikan kamuy ke dunia ruh, suku Ainu menyelenggarakan beberapa ritual dengan menyediakan persembahan berupa makanan dan doa. Upacara utama mereka berupa penghormatan terhadap beruang—sang penyedia makanan, bulu, dan tulang untuk perkakas. Mereka menyebut Asahi Dake sebagai Gunung Nutap-kamui-shir yang berarti “gunung dewa yang mengandung wilayah bagian dalam dari belokan sungai.”!break!

Dahulu, Asahi Dake berbentuk kerucut sempurna, tetapi letusan di masa lalu melontarkan panggulnya. Jejaknya mengikuti celah tak beraturan yang terkoyak-koyak oleh delapan lubang berselaput belerang yang mengeluarkan uap. Seorang lelaki tua berusia 80 tahun yang muncul dari gunung menceritakan bahwa selama Perang Dunia II orang mengumpulkan mineral kuning itu untuk dijadikan mesiu. Michiko dan teman-temannya, generasi yang lebih beruntung, bermain ski di lereng Asahi Dake di musim dingin. Sekarang jalan setapak itu curam dihiasi bercak salju yang masih tersisa.  Ke atas, awan menelan gunung; gunung api menelan awan. Akhirnya, puncak Asahi Dake terlihat menjulang dengan jelas.

Para pendaki memenuhi puncak gunung di akhir pekan. Mereka menyantap roti lapis ham dan nasi berbalut rumput laut, minum teh dingin, dan mengistirahatkan kaki yang pegal setelah menapaki bebatuan.  Orang yang datang ke sini lebih sedikit dibandingkan dengan yang mengunjungi banyak di antara taman nasional Jepang yang jumlahnya 29 dan jauh lebih sedikit daripada yang mendaki Gunung Fuji. Gunung yang ikonis itu menarik ratusan juta pengunjung setiap tahun. Daisetsuzan hanya dikunjungi oleh enam juta wisatawan, banyak di antara mereka datang dengan bus untuk menikmati warna-warni musim gugur. Wisatawan lainnya menguji diri dengan bermain ski menyusuri lereng Asahi Dake.

Nun di atas kabut, puncak yang berbentuk kubah memberikan pemandangan seluas 360 derajat dari taman tersebut: pegunungan dan sungai tak terhitung banyaknya seperti capung. Salah satu sungai itu adalah Ishikari yang oleh wali kota setempat Ryutaro Ota, dijelajahi pada tahun 1910. Dia mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melestarikan pegunungan dan hutan ini, agar tidak dijual kepada para pembeli swasta. Berkat imbauan Ota yang penuh gairah tersebut, pada 1934 Daisetsuzan menjadi salah satu dari delapan taman nasional pertama di Jepang. Tidak ada taman lain yang kehidupan liarnya dapat menandingi Daisetsuzan, dan tidak ada daerah pedalaman yang lebih terpencil daripada Daisetsuzan.

Jalan yang menurun itu berupa tanah merah dan bebatuan lapuk. Namun, tak lama kemudian berkas cahaya matahari menyibakkan sesemakan buah buni biru dan merah, bunga ekor harimau putih yang tengah mekar, dan bunga Aconitum ungu mirip genta yang di masa lalu pernah digunakan orang Ainu untuk membuat racun bagi anak panah mereka. Sungai yang mengalir di sepanjang sisi jalan setapak, melewati basho (pisang benang) dan fuki (Petasites japonicus). Di balik ini semua, terletak jantung yang tersembunyi dari pegunungan ini.!break!

Jalan setapak tersebut menuju ke padang terbuka. Tampak pondok pendaki gunung, kemudian kekasih Michiko, Tomohisa Matsuno. “Ada seekor beruang betina dengan dua anaknya di atas sana,” katanya, sambil menunjuk ke tembok penahan di kejauhan. Dini hari keesokan harinya kami mendaki menuju padang rumput tempat beruang.  Di balik lereng yang terakhir tampak cekungan yang bulat di mana beruang tersebut menghilang ke balik gunung. Sambil menunggu beruang itu kembali, kami duduk sepanjang hari di tepi danau yang mengering, terbius oleh pesona Daisetsuzan yang dibawa oleh keintiman yang manis dari tempat ini. Beruang ibarat pegunungan—tidak selalu dapat dilihat. Namun, keberadaannya dapat dirasakan. Jam demi jam berlalu. Beruang tidak kunjung muncul. Kutu air meluncur di permukaan kolam. Waktu bergulir lambat: Persiapan upacara pelepasan beruang suku Ainu yang takzim  memakan waktu tiga tahun.

Hembusan angin dingin memutar air kolam menjadi berbentuk spiral, sebuah peringatan bahwa akan datang angin topan. Bercak merah dan jingga muncul di pepohonan. Sudah terlalu terlambat dalam musim ini untuk menyebutnya musim panas dan terlalu terlambat di hari ini untuk tetap tinggal. —Gretel Ehrlich