Minyak Siberia

By , Rabu, 18 Maret 2009 | 10:27 WIB

Saat itu sekitar tengah malam, dan beberapa pasangan di lantai dansa Palace Restaurant bergoyang perlahan mengikuti lagu bertempo lambat. “Za nas, za neft—Untuk kita, untuk minyak,” demikian senandung sang penyanyi.Apa pun yang ‘kan terjadi,Untuk kita, untuk minyak…Mari penuhi gelas kita.!break!

Hari itu Hari Perminyakan di Provinsi Khanty-Mansi di Siberia bagian barat. Hari raya yang diperingati setiap tahun ini—untuk menghormati kerja keras para pekerja minyak, kaum neftyaniki—jatuh pada awal September, setelah masa terparah serangan nyamuk musim panas dan sebelum salju pertama turun di bulan Oktober. Beberapa jam sebelumnya, saat petang meremang, ribuan orang berkumpul di sebuah kompleks olahraga luar ruangan. Sebuah panggung berdiri, berbingkai hijaunya hutan lebat yang menjadi latar. Balon-balon dilepaskan, obor dinyalakan, dan para penyanyi melantunkan sebuah lagu:Hanya ada satu kesenangan bagi kami,Hanya inilah yang kami butuhkan,Membasahi muka dengan minyak baru,Yang menyembur dari pengeboran.

Pantas saja orang Rusia bersulang untuk minyak. Sekarang saatnya panen raya. Harga minyak dunia meningkat sepuluh kali lipat sejak tahun 1998 dan kini Rusia mengalahkan Arab Saudi sebagai penghasil minyak mentah terbesar di dunia. Anggaran Kremlin sekarang berlimpah dana bagi pembangunan sekolah, jalan, dan proyek pertahanan nasional yang baru, sementara orang kaya baru Moskwa menghabiskan miliaran rupiah membangun “dacha” (semacam bungalo) seukuran istana.

Jantung ledakan ekonomi tersebut adalah ladang minyak berpaya-paya di Siberia bagian barat, yang memeroduksi sekitar 70 persen minyak Rusia—sekitar tujuh juta barel per hari. Bagi Khanty-Mansi, sebuah kawasan hampir seluas Prancis, sumber rezeki tersebut memberi kesempatan langka untuk menciptakan kondisi hidup yang modern, bahkan menyenangkan, di kawasan yang namanya menyiratkan tempat yang keras dan terpencil. Ibu kota Khanty-Mansi, tempat berlangsungnya perayaan hari raya ini, tengah dibangun kembali dengan uang dari pendapatan pajak minyak. Bangunan-bangunan baru termasuk terminal bandara (dulunya gubuk kayu dengan kakus di luar), sebuah museum seni yang berisi lukisan dari para maestro Rusia abad ke-19, dan dua sekolah asrama yang berperalatan sangat lengkap untuk anak-anak yang berbakat di bidang matematika dan seni. Bahkan kota pedalaman Surgut yang masih terbelakang beberapa dekade yang lalu, tengah merancang kawasan pinggiran kotanya dan dirundung kemacetan lalu-lintas.

Namun, kesempatan yang diberikan oleh minyak itu bisa saja lepas dari genggaman daerah tersebut. Walaupun harga minyak membubung tinggi, produksi minyak di Siberia bagian barat stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa bulan awal pada 2008, produksi minyak Rusia sebenarnya menurun untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Hasilnya pun nyaris tidak meningkat dari 2004 hingga 2007. Itulah periode ketika penguasa Kremlin, kelompok yang bersorot mata dingin dan bertangan besi, mengambil alih ladang-ladang terpilih yang dulu dimiliki oleh raja-raja minyak swasta. Kaum oligarki, sebagaimana diketahui, adalah jenis manusia tamak yang saling sikut untuk mendapatkan bagian terbesar. Namun, mereka juga banyak menanam modal di ladang minyak untuk memaksimalkan produksi dan keuntungan. Sebaliknya, penguasa Kremlin mengeksploitasi minyak bukan hanya untuk menjadikannya sumber kemakmuran bangsa, melainkan juga sebagai alat politis untuk kembali menjadikan Rusia kekuatan utama dunia. Taktik yang kejam tersebut telah membuat investor asing was-was, bahkan bisa-bisa merongrong ledakan ekonomi tersebut—serta kesempatan Khanty-Mansi untuk meraih masa depan yang lebih cerah.!break!

Cadangan besar minyak Siberia bagian barat terletak di dalam tanah yang disebut oleh seorang tokoh revolusioner Marxis, yang diasingkan dan menderita di gulag, sebagai “tanah buangan dunia”. Namun, bagi yang sukarela berkunjung, daerah minyak tersebut tampak alami dan liar, menarik hati. Medannya terutama terdiri atas taiga—hutan lebat pohon perak, cedar, dan pinus yang semampai—serta boloto, rawa gambut yang nyaris beku sepanjang tahun dan di beberapa tempat dipenuhi gelembung metana. Tak ada gunung, dan sedikit bukit, namun ada banyak danau, sungai, dan kali kecil.

Eksplorasi minyak dimulai dengan serius di sini pada pertengahan 1960-an. Ketika geolog melaporkan bahwa terdapat cadangan besar minyak yang tinggal ditambang, Kremlin secara bersemangat dan dengan gaya invasi militer mengirimkan para “perintis” dan buldoser untuk menggenjot produksi. Siberia bagian barat ternyata memiliki lebih banyak emas hitam daripada yang diperkirakan semua orang. Lebih dari 70 miliar barel telah ditambang selama empat puluh tahun terakhir.

Pada awalnya, “Seluruh Siberia adalah tapal batas,” ujar Gubernur Khanty-Mansi, Alexander Filipenko. Sang gubernur tampak lebih tua daripada usianya yang 58 tahun, dengan rambut beruban yang tebal, mata berair, serta hidung belang-belang yang berkali-kali menghadapi bunga es. Filipenko tiba di Khanty-Mansi pada awal 1970-an dengan tugas membangun jembatan menyeberangi Sungai Ob, yang pada akhir abad ke-19 menjadi rute bagi tongkang butut yang mengangkut tahanan ke tempat tujuan pembuangan mereka. Proyek jembatan tersebut memerlukan empat tahun kerja keras dalam kondisi ganas. Namun, walau dipenuhi kesukaran, sang gubernur mengenang masa itu seperti lelaki tua mengenang cinta pertamanya kepada seorang gadis cantik.

Filipenko sama bersemangatnya menghadapi proyek terbarunya—pembangunan ulang ibu kota provinsi, Khanty-Mansiysk, kota berpenduduk 60.000 jiwa. Dia mengikuti setiap perincian, dan dia memiliki dana untuk menata ulang ibu kota tersebut sesuai keinginannya. Industri perminyakan di provinsi tersebut menghasilkan pajak tahunan sekitar 360 triliun rupiah—40,5 triliun di antaranya diambil Khanty-Mansi untuk keperluan sendiri. Sisanya jatuh ke tangan Moskwa.!break!

Walaupun berlatar belakang sebagai orang partai, visi Filipenko tidak seperti Soviet. Simbol-simbol arsitektur utama kota tersebut termasuk sebuah pusat perbelanjaan beratap kubah hijau raksasa berbentuk chum, yakni tenda tradisional yang digunakan oleh penduduk pribumi setempat—suku Khanty, Mansi, dan suku-suku lain yang menggembalakan rusa kutub, berburu, dan menangkap ikan. Simbolisme itu tak mungkin terjadi pada masa Soviet, ketika negara, dengan pemujaan ideologisnya terhadap “buruh”, menolak ide keragaman identitas berdasarkan kebudayaan.

Ketika tanah Siberia yang mengandung minyak mulai dibangun, penduduk asli digiring ke desa-desa dan terputus dari kawasan berburu dan mencari ikannya. Tak lama setelah keruntuhan Uni Soviet, kaum nomad meraih status hukum sebagai “penduduk asli”, yang berhak menjelajahi ladang minyak. Walaupun sudah memiliki status baru dan penghargaan arsitektur di ibu kotanya, kondisi mereka nyaris tak mengalami perbaikan. Jumlah mereka sedikit, sekitar 30.000 jiwa seluruhnya; bahasa mereka nyaris punah; dan mereka terserang wabah Rusia kontemporer dengan parah—AIDS, kecanduan alkohol, dan tuberkulosis. Sebagian uang pajak-minyak diinvestasikan pada kapal medis yang singgah di sepanjang sungai untuk merawat pasien. Namun, para pengkritik mengatakan bahwa klinik-klinik terapung tersebut hanya mendiagnosis penyakit, lalu meninggalkan pasien tanpa sarana untuk memeroleh perawatan.

Pedesaan Rusia juga mengalami depopulasi akibat perpindahan generasi muda ke Moskwa dan kota-kota lainnya. Untuk menanggulangi hal ini, Filipenko telah melaksanakan program ambisius untuk mengubah Khanty-Mansi menjadi tempat yang akan dipilih oleh kaum muda. Usaha ini, umbarnya, berjalan baik. Dia mencatat Khanty-Mansi memiliki angka kelahiran ketiga tertinggi di antara provinsi-provinsi di Rusia, dan tak seperti negara tersebut yang secara keseluruhan jumlah penduduknya terus menurun, populasi Khanty-Mansi bertambah 18 persen sejak 1989, dari kombinasi kelahiran dan imigrasi.

Minyak menyumbang 90 persen ekonomi ibu kota tersebut, yang tak mengejutkan mengingat lonjakan harga minyak. Namun, keadaan tersebut mengarah pada masalah yang dimiliki oleh semua ekonomi yang bergantung pada sumber daya alam: Suatu saat sumber daya tersebut akan habis, dan sumber kemakmuran baru harus ditemukan. Memahami perlunya membangun prospek ekonomi selain minyak, Filipenko membujuk sekitar 80 peneliti terkemuka Akademgorodok—sebuah kota riset dan ilmu pengetahuan terkenal yang diciptakan pada masa Soviet di Siberia bagian selatan—untuk pindah ke ibu kota daerahnya untuk bekerja di institut baru yang berspesialisasi dalam teknologi informasi. Institut tersebut menyediakan jasa konsultasi bagi perusahaan minyak, namun juga mengerjakan proyek dalam bidang yang tak berkaitan, seperti nanoteknologi.!break!