Minyak Siberia

By , Rabu, 18 Maret 2009 | 10:27 WIB

Itulah awal dari suatu “Taiga Silikon” kata Alexander Sherbakov, matematikawan berusia 60 tahun dengan kumis lebat beruban. Begitu era minyak-mudah berakhir, ucapnya, “Kami akan menelurkan ilmuwan-ilmuwan kami sendiri.” Caranya dengan menciptakan lapangan pekerjaan era informasi bagi generasi yang lebih muda. Tak seperti investasi di perminyakan, investasi di bidang ilmu pengetahuan, lanjutnya, bisa menjamin cerahnya masa depan perekonomian serta masyarakat daerah tersebut secara abadi.

Pendapatnya ini memang terlalu optimistis. Salah satu alasannya, teladan yang dipuji-pujinya itu, Lembah Silikon, berada di California yang beriklim sedang. Pada masa Soviet dulu, Kremlin bisa main perintah agar para ilmuwan terpandangnya pindah ke pusat riset di tempat terpencil. Pada masa pasca-Soviet, peneliti terkemuka Rusia boleh tinggal dan bekerja di mana saja yang dia suka, dan sebagian besar memilih untuk hidup di kota-kota makmur seperti Moskwa atau St. Petersburg.

Walaupun belum membuat Siberia menjadi magnet bagi kaum terpelajar Rusia, bum minyak menarik banyak pendatang baru lainnya: imigran miskin dari luar perbatasan Rusia. Pada suatu pagi, di tanah kosong dekat jalan raya ke ibu kota pameran Filipenko, sekelompok lelaki berjumlah sekitar 15 orang yang berpakaian lusuh dan berusia antara 20-an sampai 40-an menunggu tawaran kerja, kerja kasar sekalipun. Sebuah Nissan putih menepi, dan beberapa lelaki tersebut menghampiri untuk berbicara dengan supirnya, yang memerlukan beberapa pekerja untuk menggali kentang. Namun, upah yang ditawarkannya terlalu kecil, tak sampai 90 ribu ribu rupiah sehari, dan dia melaju kembali tanpa ada yang menerima tawaran itu.

Orang-orang ini disebut orang Rusia, meminjam istilah Jerman, sebagai gastarbeiter—pekerja tamu. Mereka ada hampir di mana-mana di Khanty-Mansi. Sebagian besar adalah kaum muslim Tajikistan, pecahan Republik Soviet di Asia Tengah yang ekonominya hancur akibat perang saudara di pertengahan 1990-an. Mereka datang pada musim semi dan pulang ke negaranya sebelum musim dingin tiba. Tak setiap hari mereka mendapatkan pekerjaan, namun ketika dapat, mereka bisa memeroleh sekitar 180 ribu rupiah dengan mengangkut sak semen untuk pekerjaan konstruksi atau dengan membersihkan rumah. Mereka bisa mentransfer uang itu kepada keluarga di rumah, sementara majikannya tak perlu membayar pajak atas upah tersebut.!break!

Para lelaki itu enggan memenuhi permintaan saya untuk meninjau tempat tinggal mereka. Salah seorang menyatakan dia malu memperlihatkan cara hidupnya. “Anda jangan salah paham,” ujarnya. “Kami bukan penjahat; kami orang beradab. Kami cuma butuh pekerjaan.”

Mereka seharusnya mengurus surat pengenal yang menyatakan alamat mereka. Namun, seperti yang mereka tuturkan, mereka tak memiliki tempat tinggal resmi, hanya tidur seadanya di dalam garasi tanpa pemanas yang disewakan secara ilegal kepada mereka. Seorang bos pekerja—semacam tokoh mafia—menguruskan surat bagi mereka dengan menyogok kantor pendaftaran, namun surat-surat tersebut mencantumkan alamat palsu, dan menyerahkan nasib para gastarbeiter di tangan polisi. Jika tepergok, mereka terkadang dipaksa membayar “denda” (baca “suap”) di tempat, dan jika terjadi lagi bisa dideportasi. Pemerintah federal Rusia baru-baru ini mewajibkan para majikan untuk mendaftarkan pekerja dan memeriksa identitas mereka. Namun, ketentuan semacam ini kecil kemungkinan bisa menahan arus selama bum minyak masih berlangsung.

Banjir warga Rusia dari kota-kota di sebelah barat pegunungan Ural yang mengalami malaise juga menggembungkan kota-kota minyak di Siberia bagian barat. Empat puluh tahun lalu Surgut merupakan kumpulan pondok kayu, yang suhunya bisa turun hingga minus 50 derajat Celsius dan selalu diselimuti kegelapan pada pertengahan musim dingin, kecuali beberapa jam setiap hari. Sekarang Surgut merupakan salah satu kota terbesar di Siberia bagian barat, dengan populasi 300.000 jiwa. Para pendatang baru menyuarakan aspirasinya lewat kedatangannya, sebuah pertanda bahwa ekonomi-pasar baru Rusia benar-benar berjalan lancar.

Kemewahan dan kemakmuran yang tampak di Surgut dulu tak terbayangkan bisa terjadi di daerah pedalaman Rusia. Gedung penitipan anak dan pendidikan prasekolah, yang baru-baru ini direnovasi dengan biaya 46 miliar rupiah yang sebagian besar berasal dari minyak, sekarang memiliki kolam renang air hangat dalam ruangan dan kolam pusaran untuk pijat-hidro; kebun binatang kecil yang berisi kelinci, kura-kura, dan kakaktua; serta sebuah ruangan berisi panggung kayu kecil tempat anak-anak berkostum warna-warni mementaskan kisah dongeng. Saat cuaca tak memungkinkan bermain di luar, anak-anak itu bisa berkeliling naik mobil mainan di dalam ruang bermain besar berlapis kaca yang dijaga agar suhunya tak terlalu dingin. Kemudian bocah-bocah itu bisa dihibur dengan minuman panas dari gerai teh herbal.!break!

Tentu saja “orang asing” seperti saya dipameri taman kanak-kanak terbaik di kota tersebut, tetapi hanya sebatas itu yang bisa diatur-atur agar mengesankan. Mobil Honda, Toyota, dan Nissan berjejalan di tengah kemacetan lalu lintas, sama banyaknya dengan mobil murah Lada buatan Rusia. Keluarga bermobil dua menjadi semakin lazim dengan meningkatnya standar hidup.

Bentuk perumahan di kota Rusia umumnya berupa rumah susun beton bertingkat yang besar (dan jelek). Surgut memiliki kawasan rumah tinggal satu keluarga di pinggiran kota, yang ditujukan bagi kelas menengah ke atas baru yang terdiri atas manajer perusahaan minyak, bankir, dan pengusaha. Rumah bata, yang masing-masing memiliki halaman kecil, sedang dibangun sepanjang pinggiran sungai yang dijajari pepohonan, dengan biaya rata-rata sekitar 3,6 miliar rupiah. Masyarakat kota yang cemburu menciptakan julukan ironis untuk komunitas elite tersebut: Dolina Nischikh, Lembah Pengemis.

Dulu Surgut bisa saja runtuh, seperti kota-kota lain di Rusia, pada masa kacau setelah keruntuhan Uni Soviet. Bahwa dia mampu bertahan merupakan bukti kekuatan akarnya serta stabilitas kepemimpinan politik dan ekonominya.

“Saya lahir di Surgut, anak-anak saya lahir di sini, dan cucu-cucu saya lahir di sini,” ucap Alexander Sidorov, sang walikota yang telah lama menjabat, dengan bangga. Jangkar ekonomi Surgut, perusahaan minyak Surgutneftegas, produsen keempat terbesar Rusia, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh para manajer setempat. Tak seperti sebagian besar raja minyak Rusia, yang memimpin kekaisaran Siberia bagian barat mereka dari Moskwa, direktur utama Surgutneftegas, miliarder Vladimir Bogdanov berdiam di kota tersebut. Walaupun sekarang sudah menjadi figur terpandang di Surgut, dulu Bogdanov memulai usahanya sebagai neftyanik biasa.