Sejak didirikan 34 tahun lampau, tata ruang Museum Wayang nyaris tidak berubah. Kondisi di bagian dalam gedung yang terletak di jantung Kota Tua Jakarta itu suram dengan cat dinding yang mulai pudar kecemerlangannya. Debu terdapat hampir di mana-mana, melekat pada lemari kaca di mana koleksi-koleksi wayang dipajang. Kesuraman makin ditambah dengan penerangan lampu yang redup.!break!
Pagi itu, sekitar 100 orang berlalu lalang di pelataran museum yang sekaligus menjadi pelataran Museum Fatahilah. Tidak ada alat bantu “navigasi” yang menandai keberadaan Museum Wayang agar mudah dikenali orang—misalnya dengan gambar kayon (gunungan). Masih beruntung, dari sekitar 100 orang pagi itu, ada sekitar 12 orang yang tertarik untuk masuk ke Museum Wayang. Jumlah tamu baru bertambah dua ketika Matahari tepat berada di atas langit Kota Tua.
Mengenai jumlah pengunjung, Kepala Museum Wayang Dachlan menyampaikan, sebanyak 41.264 karcis terjual sepanjang tahun lalu. Itu sudah termasuk rombongan pelajar yang mendapat tugas berkunjung dari sekolah mereka. Jika dipukul rata, gedung itu hanya dikunjungi 113 orang per hari, lebih sedikit dari kapasitas kursi dua bus kota. Dengan jumlah tersebut, museum ini menempati urutan ketiga untuk jumlah pengunjung museum-museum yang dikelola Pemda DKI Jakarta. Urutan pertama diduduki Monumen Nasional (Monas) diikuti Museum Sejarah, baru kemudian Museum Wayang. “Sudah lumayan, namun masih harus ditingkatkan lagi. Rencananya tahun 2009 ini kami akan merombak tata ruang dan menambah pentas yang didukung multimedia,” kata Dachlan.
Seperti museumnya yang terus bergulat untuk mendongkrak jumlah pengunjung, kesenian wayang yang enam tahun silam didaulat UNESCO sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan popularitas dirinya dari masa ke masa.
Menurut penelusuran Sekretariat Pewayangan Indonesia (Senawangi), seni wayang dimiliki oleh tidak kurang dari 18 provinsi negeri ini. Namun, cuma seni wayang gaya (gagrag) tertentu yang mampu hidup, berkembang, memiliki penikmat dalam jumlah yang banyak, serta memberikan kehidupan yang layak kepada para pelakunya. Senawangi mencatat, Wayang Bali, Wayang Kulit Jawatimuran, Surakarta, Yogyakarta, serta Wayang Golek Sunda merupakan jenis-jenis wayang yang lestari dan tetap mengalami perkembangan. Sementara itu Wayang Sasak, Wayang Golek Menak, dan Wayang Kulit Cirebon berkembang lamban. Yang rapornya merah adalah Wayang Palembang dan Wayang Banjar. Keduanya dinilai nyaris punah.
Apa yang dibutuhkan agar suatu jenis seni wayang mampu terus hidup di tengah-tengah perubahan zaman?!break!
Sudarko Prawiroyudo, salah satu ketua Senawangi mengatakan, wayang bisa tetap bertahan jika kesenian ini digarap sungguh-sungguh oleh para pelakunya. “Artinya harus mempersiapkan diri dengan baik. Sanggit atau kreativitas dalang dalam mengolah cerita perlu digarap, gendingnya digarap, tata panggung dan tata suaranya juga digarap. Yang tidak kalah penting, penontonnya sendiri juga harus digarap,” katanya.
Hanya saja, sejumlah dalang muda pernah menyampaikan, menggarap penonton itulah sebenarnya tantangan pelestarian wayang yang sesungguhnya. Pasalnya mereka menilai, sebuah pertunjukan wayang selalu diidentikkan dengan kepatuhan terhadap pakem atau standar yang membatasi kreativitas dan hanya membuat tontonan menjadi monoton, membosankan, tidak menarik, sehingga tidak mampu menyedot penonton. Jumlah penontonlah ukuran yang paling mudah untuk mengukur peluang wayang dalam mempertahankan kelestariannya. Terutama pada zaman seperti sekarang ini, di mana arus informasi dan hiburan modern mengalir deras.
Sebuah anjungan Taman Mini Indonesia Indah, sekitar 20 kilometer di selatan museum, mulai direngkuh malam tatkala para pengrawit mengawali tabuhan gamelan sebagai tanda pertunjukan wayang kulit segera dimulai. Penonton pun perlahan bergerak mendekati tarub, tempat pertunjukan wayang.
Dilihat dari jumlah bala pendukungnya, ini pentas akbar. Tidak kurang dari 50 pengrawit, 10 penggerong, dan 50 sinden yang cantik jelita berderet empat baris di sisi kiri panggung, menghadap penonton. Ini bukanlah tata krama yang lazim dalam pentas wayang karena seharusnya, para kru pendukung tersebut duduk membelakangi penonton.
Beberapa gending pun dipersembahkan sebelum dalang yang menjadi sosok kunci pentas wayang memasuki panggung. Seperti biasa, tempat dalang dalam pementasan selalu istimewa. Namun, kali ini penghormatan terhadap dalang sungguh luar biasa. Bayangkan, baginya terbentang kelir (layar tempat memainkan wayang) sepanjang 32 meter! Ternyata, kelir sepanjang itu disediakan bagi tiga orang dalang sekaligus. !break!
Pentas dengan tiga dalang yang memainkan satu lakon sekaligus bukanlah hal yang jamak dalam pertunjukan wayang kulit. Telah ratusan tahun lekat dalam benak masyarakat, seorang dalang—hanya seorang—adalah penguasa tunggal pentas seni wayang konvensional atau klasik. Meski banyak yang terlihat janggal, tak kurang dari 5.000 penonton memadati anjungan tersebut dan terus bertambah sampai pada adegan gara-gara.
Seorang dalang tenar, Ki Enthus Susmono, menganggap bahwa inovasi dalam pentas wayang memang dibutuhkan agar tetap bertahan di zaman yang kian modern. “Pakem itu bikinan juga ‘kan? Lalu mengapa kita tidak boleh memakai cara sendiri? Menurut saya, dalang itu menggambarkan kehidupan. Kalau misalnya waktu pentas saya ngomong rusuh (jorok), yang ngomong ‘kan bukan saya, melainkan tokoh wayangnya. Dalam kehidupan ‘kan memang ada yang ngomong jorok. Toh itu diterima penonton. Lihat saja kalau saya mendalang, yang nonton bisa puluhan ribu,” katanya.