Menembus batas sejumlah wilayah administratif, Bengawan Solo bagaikan pembuluh darah bagi kehidupan Manusia Jawa yang berdenyut di sekitarnya. Ia adalah tumpuan harapan bagi mereka, tempat mereka berdoa dan melepaskan lelah, menghidupkan kerajaan di pedalaman, menyokong kehidupan purba hingga meniupkan peradaban masa kini. Akan tetapi, sungai terpanjang di tanah Jawa ini mendapatkan tambahan fungsi yang kurang elok: sumber luapan air dan tempat pembuangan raksasa! !break!
Meskipun telah banyak yang peduli akan nasibnya kini, kami percaya bahwa belum ada dokumentasi visual yang utuh untuk menggambarkan wajah aliran air sepanjang lebih dari 500 kilometer dan melintasi 12 kabupaten/kota pada dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut.
Bengawan Solo dimulai dari sumbernya di selatan terus menghilir ke muara di utara. Fenomena geologi juga telah mengubah corong akhir bagi aliran air yang bersumber dari pertemuan Kali Muning dan Kali Tenggar di wilayah Kabupaten Wonogiri itu. “Bendungan” purba membalikkan muara ke arah utara. Jutaan tahun lalu, Samudra Hindia di selatan menjadi akhir bengawan yang memiliki asal kata dari Desa Sala, tapi berubah ke Selat Madura dan akhirnya kini disudet ke Laut Jawa.
Cerita masa purba masih tersisa, walaupun nyaris tak disadari oleh para generasi penerus. Bentang alam di salah satu pantai tepian Samudera Indonesia, yang berada di selatan Daerah Istimewa Yogyakarta boleh jadi dapat menuturkan kisah itu. Dua buah dinding batu kapur tegak yang membentengi sisi kanan kiri pantai telah membuat tempat yang dinamakan Pantai Sadeng itu berbeda dibanding tempat-tempat lainnya di pesisir selatan Pulau Jawa. Andreas Maryoto, wartawan harian Kompas yang menyusuri kisah Bengawan Solo Purba dalam Ekspedisi Bengawan Solo 2007 mengamati dan menuturkannya kembali bersama fotografer Dwi Oblo. Jarak antardinding itu lebih dari seratus meter. Ketinggian kedua dinding yang mencapai lebih dari 30 meter menjadikan cekungan itu terkesan megah. “Berdiri di tengah cekungan Pantai Sadeng itu, aku merasakan betapa kecil diriku,” tulis Andreas dalam laporan perjalanannya.
Kekaguman itu telah menuntun Andreas untuk menjumpai beberapa peneliti geologi di Kota Yogyakarta. Salah satunya, Helmy Murwanto, salah seorang peneliti geologi di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran. Andreas mendapat sejumlah bahan bacaan yang berisikan keterangan mengenai Bengawan Solo Purba. Helmy memang sejak lama telah meneliti kawasan ini. !break!
Sejumlah citra satelit telah menunjukkan alur Bengawan Solo Purba yang makin meyakinkan bahwa sungai itu pernah ada. Sebuah warisan geologi yang sudah pasti bisa banyak memiliki cerita. Artefak yang tersisa dan perubahan aliran bengawan tak pernah lelah menunggu kajian ilmiah hingga kini. Sebagian misteri telah terkuak. Pengangkatan lembah Giritontro akibat tumbukan lempeng Eurasia dan Indoaustralia telah menghentikan aliran Bengawan Solo Purba hingga satu juta tahun lalu. Para peneliti memperkirakan kejadian ini terjadi sejak batu gamping formasi Wonosari terangkat atau muncul ke permukaan pada akhir zaman tersier dan aliran sungai ini memiliki sumber mata air di wilayah Kabupaten Wonogiri. Pada tahun 2000, para peneliti geologi dari UPN Veteran menyimpulkan, lembah Giritontro merupakan lembah bekas alur sungai besar.
Lembah itu sangat dalam dan panjang memotong Pegunungan Selatan. Lembah bekas alur sungai tersebut merupakan salah satu peninggalan Bengawan Solo Purba yang mengalir ke arah selatan ke Samudra Hindia.Jejaknya dapat diikuti mulai dari sebelah timur Gunung Payung di sebelah barat daya Giriwoyo, memanjang ke selatan sepanjang sekitar 30 kilometer dan berakhir di Teluk Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul. Kini, teluk ini telah menjadi tempat pendaratan ikan.
Di bagian hulu aliran Bengawan Solo “modern” rupanya menyisakan pula kisah masa lalu. Subur Tjahjono, rekan Maryoto menceritakan, mereka menemukan sejumlah tinggalan menarik di tengah perjalanan menyusuri sumber aliran sungai yang memliki sejumlah saksi sejarah dari masa ke masa ini. Saat melintasi jalur Desa Ngamban, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur menuju Dusun Ngulang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, mereka harus melalui berbagai jenis batuan vulkanik dan fosil kayu yang banyak bertebaran di sungai. Ukuran batunya luar biasa besar, mungkin sebesar rumah kita.
Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono juga menduga sangat mungkin pernah ada kehidupan purba di tempat itu dengan melihat bukti-bukti geologis di tempat itu. Keberadaan gua-gua yang diduga sebagat tempat bermukim manusia purba dan sejumlah temuan sewaktu ia mengikuti Ekspedisi Bengawan Solo 2007 menguatkan dugaan itu. Dinding yang membentuk aliran bengawan di kiri-kanan telah mengalami pengikisan sejak lama. Penyebabnya, alam dan manusia. Daerah sekitar sungai yang diolah sebagai lahan pertanian mengakibatkan erosi dan tinkat sedimentasi aliran sungai menjadi tinggi. Sementara itu, Di dekat Jembatan Pakem, yang menghubungkan Wonogiri dan Pacitan, kegiatan penambangan pasir tradisional amat mudah dijumpai.
Sejak masa silam, Bengawan Solo memang telah menarik perhatian. Sungai yang besar ini dapat kita ibaratkan sebagai pembuluh darah dalam sebuah sistem kehidupan. Wilayah berhutan di bagian hulu menjadi paru-paru yang menyokong sistem ini. Bukan hanya membangkitkan kehidupan geologis dan biologis, bengawan telah meniupkan peradaban sekitar.!break!
Pada masa yang lebih modern, Gesang terseret arus romantisme sungai yang melintasi kota kesayangannya: Solo. Pada masa perang dunia II, ketika pendudukan Jepang, penyanyi dan pencipta lagu keroncong itu terkesan akan keelokan aliran sungai yang besar dan jernih berhasil menelurkan karya. Hingga kini, lagu itu menjadi ikon sejarah bengawan ini.
Fotografer Ferry Latief yang telah berupaya mendokumentasikan aliran sungai tersebut secara visual mendapat cerita bahwa pada saat proses penciptaan karya bengawan menampilkan wajah yang rupawan. Masa yang berganti rupanya telah mengubahnya. Kini, wajah yang rupawan itu telah terkoyak. Air yang jernih, yang kemudian menjadi cokelat akibat erosi dan sedimentasi, lantas kembali berubah warna: kehitam-hitaman. Penyusuran sungai saat melewati Kota Solo menampilkan air yang kehitaman atau berwarna-warni, kadang ungu atau kemerah-merahan. Polusi karena banyaknya pabrik tekstil atau batik, pabrik tapioka, dan pabrik kulit, di sepanjang perjalanan memasuki hingga selepas Kota Solo. Selain itu peternakan babi juga membuang limbahnya ke sungai.
Walaupun secara kasat mata tampak tercemar baik dari warna air dan baunya yang busuk, PDAM Kota Solo tetap mengambil air itu untuk bahan baku air minum. Hal itu tampak di salah satu instalasi penjernihan PDAM Kota Solo di Kecamatan Jebres. Menurut Retno Rosariastuti dari Universitas Sebelas Maret air Bengawan Solo yang melalui Kota Solo terkandung banyak bahan pencemar baik dari industri atau pertanian, yaitu pupuk kimia. Tentu saja, hal ini belum memenuhi syarat sebagai air yang berkualitas.
Makin ke utara wajah itu bertambah suram. Pohon-pohon di pinggir sungai mirip “kapstok” sampah. Sampah plastik tampak menggantung di pohon-pohon itu, menunjukkan saat banjir besar airnya setinggi pohon tersebut. Sampah yang mengalir bersama di sisi perahu karet kami juga beraneka ragam, mulai dari kantong plastik, pakaian, tikar, kasur, hingga bangkai seperti bangkai ayam, kucing, anjing, dan kambing.
Mendekati akhir, ciri khas suatu wilayah muara semakin kentara. Permukiman nelayan dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan hasil laut mendominasi panorama sekitar. Sementara itu, tumbuhan mangrove dan pasir pantai menjadi tempat singgah yang nyaman bagi burung-burung migran yang datang dari Benua Australia. Bagi para peneliti, burung-burung migran menjadi subyek penelitian untuk mengetahui persebaran flu burung. Akan tetapi, fotografer Edy Purnomo yang juga memiliki dokumentasi visual sungai itu sempat bercerita perburuan banyak sekali terjadi di Ujungpangkah. Ia khawatir apabila habitat ini tak terlindungi, maka akan semakin menegaskan aliran Bengawan Solo tak lagi membuat nyaman bagi para pelancong dan penghuninya.