Perjuangan Suriah

By , Senin, 26 Oktober 2009 | 09:59 WIB

“Suriah sudah ribuan tahun menjadi negara perniagaan sehingga apa yang kami upayakan adalah mengembalikan negara ini ke akar wiraswastanya,” kata Dardari. “Tapi, ini bukan perkara mudah: 25 persen angkatan kerja Suriah adalah pegawai negeri. Kami mewarisi ekonomi yang dijalankan dengan mengandalkan dana dari pemerintah dan kami tidak bisa mempertahankannya lagi.”

Untuk melihat apa saja tantangan yang dihadapi Dardari dan pemrakarsa modernisasi, aku mengunjungi pabrik pengolahan kapas di Aleppo yang mengingatkan pada pabrik-pabrik di Uni Soviet, yang masih menggunakan mesin-mesin yang sudah karatan. Manajer pabrik terus berceloteh memuji-muji angka produksi pabrik yang sudah tua itu dan catatan keselamatan yang tanpa cacat—dia tidak menyadari bahwa sekelompok pegawainya baru saja bercerita kepadaku tentang jari yang hilang, kaki yang hancur, dan penyakit paru-paru yang harus mereka alami. Ketika aku bertanya apakah pabrik itu menghasilkan laba, manajer itu memandangku seakan-akan aku mengajukan pertanyaan bodoh.

Dengan mengizinkan investasi swasta dalam industri BUMN yang dimulai dengan industri semen dan pengolahan minyak, Bashar dan para pelaku reformasi berharap dapat memodernkan kegiatan operasional berbagai industri itu dan menjalankannya dengan lebih efisien. Banyak pekerjaan yang hilang dalam proses tersebut dan harga berbagai barang yang tidak lagi disubsidi pemerintah jadi melonjak. Namun, begitu banyak warga Suriah yang mengandalkan penghasilan dari pemerintah yang bersumber dari industri kapas—sumber utama pendapatan ekspor—sehingga kebanyakan industri ini masih tetap dijalankan oleh pemerintah.

Dalam banyak hal, Suriah yang diwarisi Bashar laksana sebuah perusahaan kuno yang harus diratakan saja dengan tanah untuk dibangun kembali dari nol. Sistem perusahaan negara serta pekerjaan sebagai pegawai negeri yang dibangun oleh Partai Baath Suriah pada 1960-an memang berhasil meningkatkan standar hidup dan membawa pendidikan dan layanan kesehatan ke pelosok pedesaan, tetapi organisasinya mirip sosialisme blok-Timur nan sarat korupsi dan sudah sekarat yang runtuh sendiri pada awal 1990-an. Birokrasi Suriah bahkan lebih tua lagi, yang dibangun dari reruntuhan Kekaisaran Ottoman dan pemerintah penjajahan Prancis.

Reformasi pendidikan juga ada dalam agenda Bashar dan harus segera dilaksanakan. Anak-anak sekolah, bahkan juga di tingkat universitas, di Suriah diajar untuk hanya menghapal buku-buku usang lalu dinilai berdasarkan jumlah fakta hapalan yang mereka ketahui. Di Damaskus yang pernah dipuja-puji sebagai pusat cendekiawan dunia timur, sulit menemukan toko buku yang tidak dijejali buku-buku tua era komunis yang didukung oleh ideologi Partai Baath.

“Putriku yang berusia 11 tahun kebingungan,” ujar Dardari. “Dia mendengar obrolanku di rumah tentang pasar bebas dan ekonomi global, sementara di sekolah dia belajar menggunakan buku terbitan 1970-an yang mengkhotbahkan Marxisme dan keunggulan kaum proletar. Dia pulang dari sekolah dengan wajah kebingungan dan berkata, ‘Ayah, aku merasa seperti bola Ping-Pong!’”

MANAKALA SEORANG ANAK terjun menekuni pekerjaan yang sama dengan pekerjaan ayahnya, kebiasaan lama bisa sangat sulit diubah. Dan, meskipun si putra sulung, Basil, dianggap lebih mirip sang ayah, Basharlah yang akhirnya memerintah seperti ayahnya—dengan beberapa cara yang berbeda. Setelah satu tahun menjadi presiden, dua pesawat terbang menghantam World Trade Center di New York dan tiba-tiba saja ancaman terhadap rezim “non-Muslim” yang sekuler seperti Suriah dari Al Qaeda dan kerabatnya Persaudaraan Muslim tampak semakin kuat. Serbuan AS ke Irak—dan ancaman kekerasan terhadap Damaskus—semakin membangkitkan amarah kaum Islami Suriah sementara negara itu dibanjiri sekitar 1,4 juta pengungsi Irak yang kebanyakan tidak pernah pulang kembali. Sebagian orang yakin bahwa Bashar dalam gerakan yang mirip gerakan ayahnya, mengalihkan kegeraman terhadap rezimnya yang menyebar luas di Suriah ke warga AS di seberang perbatasan di Irak dan memperbolehkan kelompok jihad menggunakan Suriah sebagai daerah persiapan dan persinggahan.

Bahkan sebelum 11 September pun, Bashar sudah berbalik dari reformasi politik dan kebebasan berekspresi. Upaya antikorupsinya jalan di tempat, melemah akibat transaksi bisnis keluarga besarnya yang layak dipertanyakan kepatutannya. Penyelidikan tentang pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri pada 2005 di Beirut mengarah ke Suriah; tidak lama kemudian, Bashar menciduk kembali sejumlah tahanan politik yang baru saja dibebaskannya beberapa tahun sebelumnya. Tahun lalu, secara ironis, Bashar mengaku sendiri sebagai orang yang keranjingan komputer, yang memperkenalkan internet kepada Suriah, melarang sejumlah besar situs internet, mulai dari situs baru berbahasa Arab hingga YouTube hingga Facebook. Dalam semua peristiwa ini, sebagian orang menganggap Bashar adalah korban dari orang-orang reaksioner di dalam rezim pemerintahannya—sang idealis berjiwa muda itu akhirnya diseret ke bawah oleh kekuatan yang dia sendiri tak berdaya melawannya. Sebagian lainnya memandang Bashar sebagai diktator muda yang sedang belajar memupuk kekuasaan.

Bashar mengecam penyerbuan AS ke Irak yang mendesak kawasan tersebut dan Suriah ke posisi sulit dan berbahaya. Dia juga mempertahankan tindakan pengamanan dalam negerinya yang keras sebagai tindakan penting bagi perjuangan Suriah dalam bertahan hidup. Apakah yang dimaksudkannya dengan ketahanan Suriah atau rezimnya tidaklah jelas. “Kami dalam situasi perang dengan Israel,” katanya. “Kami bertikai dengan Persaudaraan Muslim sejak 1950-an. Tetapi sekarang kami menghadapi ancaman yang lebih berbahaya dari Al Qaeda. Al Qaeda adalah pola pikir. Disebarkan melalui CD, juga lewat buklet. Dan sulit sekali mendeteksinya. Inilah sebabnya mengapa kami menerapkan pengamanan dalam negeri yang kuat.”

Para oposan yang hampir semuanya bergerak di bawah tanah atau dipenjara tidaklah memercayai dalih tersebut karena mereka sudah pernah mendengar dalih itu digunakan selama 30 tahun untuk memadamkan setiap bentuk perbedaan pendapat. Namun, para aktivis yang kuajak bicara melihat bahwa perbedaan antara rezim Bashar dan rezim ayahnya hanyalah di permukaan saja. “Bashar tampak seperti pemuda yang baik, tetapi pemerintahan bukan hanya diwakili oleh satu orang saja,” ujar seorang pemuda aktivis HAM yang kutemui secara diam-diam dalam sebuah apartemen sempit yang dipenuhi rak buku di pinggiran ibukota. Dia pernah diinterogasi lebih dari lima kali oleh berbagai lembaga keamanan negara. “Tinggal di sini selalu dihantui perasaan takut,” katanya lagi sambil mengisap rokok dengan mata yang tampak lelah. “Kita selalu merasa ada orang yang memata-matai. Kita melihat ke sekeliling, tapi tidak ada orang di sekitar kita. Kita jadi berpikir tidak seharusnya kita punya perasaan seperti ini, tapi aku sungguh merasakannya. Rasanya seperti orang gila. Dan inilah yang diinginkan pemerintah.”

Apa pun tujuannya, bayang-bayang ketakutan Suriah yang laksana awan yang menghalangi Matahari terasa begitu merasuk. Untuk melindungi nara sumberku untuk tulisan ini, aku sengaja tidak menyebutkan nama mereka karena khawatir mereka akan ditahan setelah tulisan ini terbit. Warga kampus yang kutemui di Aleppo, misalnya, diinterogasi habis-habisan setelah menghadiri konferensi yang dihadiri juga oleh para ilmuwan Israel. Setelah berusaha menyiksanya agar memberitahukan siapa yang hendak menjatuhkan pemerintah, para interogator memperbolehkannya pergi dengan peringatan agar tutup mulut atau kasusnya akan dibuka lagi. Di Idlib, tempat berkumpulnya kaum fundamentalis Islam di selatan Aleppo, seorang saudagar membandingkan kehidupan di Suriah, yang diawasi secara ketat oleh aparat keamanan internal, seperti “berjalan di tangga yang miring, harus selalu berpikir ke depan dan berhati-hati dalam tindakan sekecil apa pun.”!break!

PADA SUATU PAGI di ssebuah taman di Damaskus, aku bercakap-cakap dengan sekelompok buruh harian, yakni sejumlah remaja dan pemuda berpempilan lusuh berusia menjelang atau awal duapuluhan tahun yang sedang mencari pekerjaan. Kebanyakan berasal dari Suriah selatan di sekitar Dara dan kami berdebat tentang kota Dara ini. Mereka menjelek-jelekan kota itu sebagai lubang neraka yang gersang dan kotor; aku menentangnya, karena pernah melintasinya beberapa kali dalam perjalanan menuju Yordania. Di saat kami sedang berdebat dengan riang itu, seorang lelaki separuh baya yang petantang-petenteng dan mengenakan kemeja hijau serta kacamata mahal menghampiri dan ikut mendengarkan. Ketika para buruh itu menyadari keberadaan orang tersebut, diskusi kami pun berhenti.

“Dara memang kota yang benar-benar indah,” akhirnya si pendatang baru itu berkata dengan ketegasan yang memaksa. Yang lainnya beranjak pergi, mendadak takut pada orang ini. Untuk menjajaki apa yang mungkin dilakukannya, kukatakan bahwa aku dijadwalkan untuk bertemu presiden dan bertanya apakah dia ingin menitipkan pesan. Dia menatapku agak lama, kemudian beranjak menjauh dan duduk di sebuah bangku, menulis di buku catatan. Kukira dia sedang menulis laporan tentang diriku atau mungkin menuliskan semacam surat tilang. Beberapa menit kemudian, orang itu kembali.

“Tolong sampaikan ini kepada presiden,” katanya sambil mengulurkan secarik kertas yang sudah dilipat beberapa kali sampai berukuran sangat kecil. Kemudian, dia berbalik dan beranjak pergi. Di kertas itu dia menuliskan namanya dan nomor teleponnya, serta sebuah pesan berbahasa Arab: “Selamat, Dr. Presiden Bashar yang terhormat. Kertas ini dari seorang pemuda warga Suriah dari Al Hasakah yang sangat membutuhkan pekerjaan di kantor pemerintahan, dan terima kasih.”