Panggilan dari Gunung Suci

By , Senin, 23 November 2009 | 10:58 WIB

Semenanjung suci Gunung Athos menjorok sejauh 50 kilometer ke Laut Aegea, laksana organ tambahan yang hendak melepaskan diri dari tubuh utamanya yang sekuler, Yunani utara. Selama kurang lebih seribu tahun terakhir, sebuah komunitas biarawan Ortodoks Timur telah bermukim di tempat itu, mereka sengaja melepaskan diri dari apapun jua kecuali Tuhan.!break!

Mereka hidup hanya dengan satu tujuan, menyatukan diri dengan Yesus Kristus. Tempat tinggal mereka--dengan gelombang laut yang menghantam karang, hutan pohon berangan yang lebat, serta pemandangan Gunung Athos setinggi 2.033 meter yang bersalju—adalah intisari dari keterasingan.

Para biarawan yang tinggal di di dalam salah satu dari 20 biara, lusinan kloister (area dalam biara), atau ratusan bilik hidup saling terpisah dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk berdoa dan menyepi. Di balik jenggot lebat dan pakaian hitamnya—yang jadi tanda keterputusan mereka dengan dunia--para biarawan ini seperti yang ada dalam lukisan zaman Bizantium, sebuah ritual persaudaraan yang kekal, amat sederhana, dan ibadah yang terus-menerus, tetapi juga ketidaksempurnaan. Terdapat sebuah kesadaran diantara mereka,yang dijelaskan oleh salah seorang tetua biarawan, “bahkan di Gunung Athos pun, kami adalah manusia yang berjalan di ujung silet.”

Biarawan di Gunung Athos hanyalah para lelaki. Berdasarkan adat yang diberlakukan dengan kaku, perempuan dilarang mengunjungi Gunung Athos sejak pertama biara didirikan—itu karena lelaki lemah terhadap wanita, bukan karena kebencian terhadap perempuan. “Jika perempuan datang ke tempat ini, dua per tiga dari kami akan pergi bersama mereka, kemudian menikah,” kata seorang biarawan.

Seorang biarawan harus memutuskan tali hubungan dengan ibunya, tetapi ia memperoleh yang baru: dengan Perawan Suci Maria (yang menurut legenda terdampar di daerah tersebut Athos dalam pelayarannya ke Siprus, lalu dia mendoakan penduduk penyembah berhala yang kemudian menjadi kristen). Biarawan tersebut lalu membentuk sebuah ikatan kuat dengan kepala biaranya atau tetua di biliknya. Tetua itu kemudian menjadi bapak spiritualnya yang dalam bahasa seorang biarawan, “membantu saya menemukan hubungan personal dengan Kristus.” Pengunduran diri atau kematian para eminence (sebutan bagi tetua bilik) dapat menjadi hal yang sulit bagi para biarawan muda. Sebaliknya, keputusan seorang biarawan muda untuk kembali ke kehidupan duniawi dapat menjadi hal yang menyedihkan. “Tahun lalu seorang biarawan pergi,” kenang seorang tetua. “Dia tidak meminta pendapat saya,” imbuhnya dengan nada pedih, “Jadi, sepertinya memang sebaiknya ia pergi.”!break!

Biarawan (monk, dari kata Yunani mono yang berarti tunggal) Kristen mulai membentuk kelompok yang mengasingkan diri atau kelompok biara untuk pertama kali di gurun Mesir pada abad keempat. Paktik tersebut lalu menyebar hingga ke Timur Tengah dan Eropa, Pada abad kesembilan para pertapa tersebut tiba di Gunung Athos. Sejak saat itu, bersamaan dengan peradaban yang tumbuh semakin kompleks, semakin banyak orang yang ingin menjaga jarak dengan kehidupan sosial dan berpaling pada kehidupan biara. Bahkan setelah dua perang dunia dan komunisme mengakibatkan berkurangnya populasi biarawan menjadi 1.145 jiwa pada 1971, dalam satu dekade terakhir populasi mereka kembali meningkat. Pertambahan jumlah pemuda yang konstan—seringkali bergelar sarjana, sebagian berasal dari bekas Uni Soviet--mengakibatkan melonjaknya jumlah biarawan dan calon biarawan hingga mendekati 2.000 jiwa. Sementara itu, bergabungnya Yunani ke dalam Uni Eropa pada 1981 membuat semenanjung Gunung Athos memenuhi syarat untuk mendapatkan dana pelestarian dari Uni Eropa.

“Ada sekitar 2000 cerita di tempat ini--setiap orang punya kisah perjalanan spiritualnya sendiri-sendiri,” kata Bapa Maximos yang kisahnya sendiri diawali di Long Island AS sebagai remaja penggemar penyanyi musik Edgy seperti Lou Reed dan Leonard Cohen. Maximos kemudian menjadi guru besar teologi di Harvard sebelum mengundurkan diri untuk “hidup lebih dekat dengan Tuhan.” Banyak di antara perjalanan semacam itu diawali dengan sulit. Seorang pemuda Athena menyelinap keluar dari rumahnya dan ketika saudaranya datang ke Gunung Athos untuk menjemputnya pulang, ia memperingatkan “Aku pasti akan kabur lagi”. Seorang anak pemilik toko kelontong di Pittsburgh AS mengejutkan kedua orang tuanya dengan keputusannya menjadi biarawan--sebuah keputusan yang dua tahun kemudian diakuinya sebagai keputusan yang belum mantap. “Maksud saya, siapa yang tahu apa yang Tuhan rencanakan?” katanya. Jika calon biarawan kelihatan belum siap, bapak spiritual mereka akan segera mendesak mereka untuk kembali ke kehidupan duniawi. Sebaliknya jika mantap, rambut calon biarawan akan dicukur di bawah cahaya lilin: Sang kepala biara mencukur sejumput rambut di kulit kepala si calon menjadi sebentuk salib, memberinya nama orang suci, lantas seorang biarawan pun lahir.

Kisah hidup para biarawan tidak begitu saja berakhir dengan masuknya mereka ke Gunung Athos. Peter, seorang hipis yang bertingkah asal Australia, kini mengganti namanya menjadi Bapa Ierotheos. Dengan suara baritonnya, dia menjadi penyenandung doa yang terampil di Biara Iviron. Bapa Anastasios belajar melukis di tempat ini dan kini memamerkan hasil karyanya di tempat-tempat yang jauh seperti Helsinki dan Granada Spanyol. Bapa Epiphanios memutuskan untuk memperbaiki sebuah kebun anggur kuno di Mylopotamos dan sekarang ini dia mengekspor anggur (wine) terbaik ke empat negara, selain juga menerbitkan sebuah buku masak dalam tiga bahasa yang berisi resep-resep masak para biarawan.

Terlepas dari baik buruknya, persaudaraan biarawan yang terdiri dari para lelaki yang akhirnya tetaplah menjadi diri mereka sendiri apa adanya, manusia biasa yang terdiri dari daging dan kulit. Beberapa di antara mereka hidup mandiri dengan alami dan memilih hidup menyendiri di bilik mereka di pinggiran desa. Beberapa berpikiran sempit--bahkan, seperti yang dikatakan seorang biarawan, “kehidupan biara dapat seluruhnya dipenuhi oleh hal-hal yang remeh.” Namun demikian, yang terbaik dari mereka adalah tidak semata berniat menjalankan kebaikan, tetapi mencari tempat di mana mereka sangat dibutuhkan. Bapa Makarios dari bilik Marouda di dekat Karyes adalah orang yang seperti itu. Dia tidak segan untuk meminjamkan jaket simpanannya kepada orang asing, kamar kosong miliknya, dan seluruh uang di dalam dompetnya. “Dengan keyakinan penuh,” kata biarawan berumur 58 tahun bermata hijau tersebut, “Anda punya kebebasan. Anda memiliki kasih sayang.”!break!

Kehidupan biara ternyata tidaklah mapan, kaku, dan konservatif. Biara Vatopediou yang terletak di tepi laut kaya akan harta karun dan ambisi zaman Bizantium—di antara para biarawannya terdapat seorang pengarah musik (music director) profesional-- sementara biara Konstamonitou yang berada di lingkungan pedesaan menganut paham hidup sederhana yang bebas dari listrik ataupun donasi dari Uni Eropa (“Anda tidak dapat bertapa dengan segala kemudahan hidup,” kata seorang tetuanya.) Biarawan di Gunung Athos tidaklah menanggalkan kelancangan manusiawi mereka, terbukti melalui penempatan Simonos Petras yang agung, sebuah biara yang tergantung tinggi di puncak bukit seakan mencoba mendaki tangga menuju surga. Namun demikian, beberapa biarawan berkomitmen hidup dalam kesederhanaan gubuk yang compang-camping di pinggir tebing Karoulia. Sementara itu, beberapa memilih untuk menjalankan hidup secara fanatik. Sebagai contoh adalah para biarawan Esfigmenou, sebuah biara berumur seribu tahun yang telah lama disiksa oleh bajak laut, kebakaran, penindasan Ottoman, dan kini menjadi korban dari keradikalannya sendiri. Karena tidak diakui dalam kebijakan dialog Ecumenical Patriarchs’ dengan denominasi kristen lainnya dan menggantung sebuah spanduk bertuliskan “Ortodoksi atau Mati”, persaudaraan Esfigmenou telah disingkirkan dari badan pemerintahan Gunung Athos yang disebut Komunitas Suci. Persaudaraan itu kini bertahan hidup dengan membangkang dan menerima sumbangan dari dunia luar yang bersimpati. “Kami akan melanjutkan perjuangan kami,” ucap ketuanya yang berkhianat pada Komunitas Suci. “Kami menaruh harapan kami pada Yesus Kristus dan Bunda Suci—dan tidak yang lainnya.”

Pergi meninggalkan Gunung Athos atas alasan apapun, dalam bahasa lokal, disebut dengan “pergi ke dunia”. Tentu saja, semenanjung tersebut tetap berada di Bumi dan sekitar 2.000 buruh sekuler berbagi di semenanjung itu bersama para biarawan dengan jumlah yang kira-kira sama. Gunung Athos sudah menjadi bagian dari Yunani sejak 1924. Pemerintahan daerahnya berada di Karyes, kota berdebu yang menjadi depo kargo kapal yang datang dari dunia luar sekaligus tempat penampungan sementara bagi peziarah Ortodoks Timur yang baru tiba (pengunjung yang ingin masuk harus mengajukan permohonan khusus; Pada setiap kesempatan, Komunitas Suci memberi izin masuk selama hingga empat hari kepada sekitar seratus pengunjung lelaki.)

Sebagai penghubung antara penghuni tetap dan yang sementara, Karyes dipenuhi dengan banyak kontradiksi: seorang biarawan menuruni jalan berbatu dengan tongkat kayu di satu tangan dan tas cangklong (tote bag) merk Nike di tangan lainnya; toko-toko menjual lilin, rosario, dan ouzo (minuman keras tradisional Yunani). Markas polisi di sini juga menangani kasus seperti mabuk-mabukan atau pencurian di toko saat ada acara perayaan umum. Sebagai tambahan, Komunitas Suci—parlemen tertua di dunia yang masih berfungsi secara berkelanjutan--juga berada di Karyes. Anggotanya menangani beragam masalah besar dan kecil mulai dari hubungan dengan Uni Eropa hingga siapa yang akan menyewa toko tertentu. Setiap perubahan di Gunung Athos mewakili sebuah risiko yang harus dipertimbangkan.

Kehidupan di Gunung Athos telah bertahan dengan menerapkan aturan yang seharusnya meski tidak pernah lepas dari rasa cemas. Santo Athanasios yang mendirikan biara Megistis Lavras pada 963 M pernah membuat marah para pertapa karena memperkenalkan arsitektur yang berani kepada kaum pedesaan di sana. Jalanan dan bus-bus, kemudian listrik, lalu telepon selular menjadi sumber kemarahan. Terobosan terakhir yang melanggar batas adalah internet. Beberapa biara telah melakukan hubungan secara diam-diam melalui dunia maya--memesan suku cadang, berkomunikasi dengan pengacara, dan melakukan riset ilmiah. Seorang biarawan memperingatkan bahwa, “Berhubungan dengan dunia luar merupakan bahaya besar. Sebagian besar biarawan bahkan tidak mengetahui peristiwa 9/11.”!break!

Dunia luar perlahan mendekat. Para biarawan baru Gunung Athos berpendidikan sarjana, memiliki laptop, dan tak berpengalaman beternak ayam. Sebagian besar keledai yang masih digunakan hingga tahun lalu kini telah diganti dengan mobil van dan Range Rover. Timbul kegelisahan bahwa bantuan dari Uni Eropa akan tetap berlanjut bila beberapa kesepakatan dapat tercapai--di antaranya desakan memperbolehkan kaum perempuan mengunjungi semenanjung tersebut. Melalui cara ini Gunung Athos tidak dapat menghindar dari nafsu duniawi.

Namun persaudaraan Gunung Athos tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa: berkembang secara perlahan, selalu mawas diri, dan berjaya dalam hal spiritualitas—“mencerna kematian”, mengutip kalimat salah satu dari murid terpandai di Gunung Athos, Bapa Vasileiosme, “sebelum kematian mencerna kita.”