Kilatan Biru Raja-Udang

By , Jumat, 5 Februari 2010 | 12:24 WIB

KILATAN SOSOK BIRU YANG MENAWAN – itulah gambaran tentang burung raja-udang dalam benak kebanyakan orang. Itu sudah cukup. ”Semua orang di Inggris yang pernah melihat burung itu pasti ingat di mana mereka melihatnya,” ujar penggemar burung raja-udang sekaligus fotografer kisah ini Charlie Hamilton James. ”Aku pertama kali melihatnya saat masih kecil. Sejak saat itu, aku benar-benar terobsesi pada raja-udang.” Selama beberapa tahun Hamilton James mengejar burung itu tanpa hasil di dekat Bristol, Inggris barat daya. Setelah itu, agar sekian banyak waktu yang dia habiskan di tepi sungai kelam tempat hidupnya si raja-udang tidak sia-sia, Hamilton James juga membawa sebuah kamera. Itu berlangsung 20 tahun lampau.!break!

Alcedo atthis (juga dikenal sebagai burung raja-udang sungai, raja-udang Eurasia, atau raja-udang Eropa) telah membuat banyak orang terobsesi. Di daerah beriklim sedang di mana lazimnya burung-burung yang ada memiliki bulu yang tidak menarik, raja-udang sungai jadi tampak memesona. Kita tidak mungkin mengabaikannya saat burung itu melesat membelah udara bak peluru kendali berwarna biru-hijau.

Burung berwarna kuning, merah, jingga, dan coklat di seluruh dunia mendapatkan corak warnanya dari pigmen yang tertanam dalam susunan keratin di bulu-bulunya. Namun warna biru pada bulu raja-udang timbul dari pembiasan, sama seperti pemecahan cahaya oleh prisma, ,tetapi yang ini terjadi pada sehelai bulu. Saat diteliti dengan mikroskop, setiap helai bulu raja-udang yang panjang dan lebih halus dari rambut manusia memancarkan eksotisnya gradasi warna-warna biru. Struktur kecil di dalam bulu mengolah cahaya yang datang, lalu memantulkan warna permata nilam ke satu arah dan warma zamrud ke arah yang lain.

Sayang, kecantikan bisa menjadi sebuah kutukan. Ada saat di mana bulu raja-udang meraih status yang setara dengan batu permata, sutra, dan rempah-rempah. Sebuah karya tulis China dari abad ketiga yang memaparkan kebudayaan Barat menjabarkan daftar harta yang biasa ditemui pada Kekaisaran Romawi: gading, emas, batu akik, mutiara, dan bulu raja-udang. Selama 2.500 tahun industri pakaian bangsa Cina menggunakan bulu-bulu berbagai macam burung dari hutan Asia. Dalam sebuah bentuk seni yang dinamakan tian tsui atau menghias dengan raja-udang, para pengrajin menempelkan bulu-bulu yang berkilauan tersebut pada perhiasan, kipas, tirai pemisah, dan panel lanskap. Sebuah selimut bahkan pernah diberitakan berubah menjadi ”hamparan laut biru-hijau”. Bangsawan Korea juga punya hasrat yang sama, tetapi pada akhirnya hasrat itu menyurut di awal 1900-an.

Beruntung, pada zaman sekarang kemewahan yang mengeksploitasi burung mungil nan pemarah itu tinggal kenangan. Raja-udang bukanlah burung yang pemalu; burung itu jarang terlihat hanya karena mengeksploitasi lingkungan yang dihindari kebanyakan orang (kecuali orang-orang seperti Hamilton James). Bantaran sungai yang ideal bagi raja-udang adalah yang tanahnya cukup gembur untuk digali dengan paruhnya untuk dijadikan sarang. Sarang itu haruslah cukup tinggi untuk menghindari banjir yang sesekali timbul, tetapi cukup rendah untuk menghalangi serigala, ular, dan pemburu yang mencoba mengusiknya dari atas!break!

Dengan hidup menyendiri hampir sepanjang tahun, setiap raja-udang berusaha keras melindungi lahan yang dimilikinya untuk menjamin ketersediaan ikan yang cukup dan tempat bersarang yang baik. ”Burung-burung kecil yang mungil ini harus mempertahankan lahan sepanjang satu mil di sekitar sarangnya,” ujar Hamilton James. Baik jantan maupun betina, raja-udang tidak bakal ragu dalam membela daerah penopang kehidupannya dan walau beratnya cuma 40 gram,kekuatan seekor raja-udang perlu diperhitungkan. ”Suaranya sangat nyaring dan burung itu akan berkicau agar semua tahu kedatangannya,” ujar Hamilton James. ”Kurasa raja-udang sebenarnya cukup sombong.”

Perkelahian di antara raja-udang dimulai dengan kejar-kejaran berkecepatan tinggi dan sesekali patukan paruh. Kalau tawuran di udara tidak menyelesaikan masalah, nyawa bisa jadi taruhannya. Di tepi sungai, dua ekor raja-udang akan saling mengunci paruh lawan dan berusaha untuk menenggelamkan musuhnya tersebut.

Di waktu yang lain, musim kawin akan menjadi masa gencatan senjata antara burung jantan dan betina. Pendekatan sang jantan dilakukan tanpa basa-basi: dia meluncur cepat mendekati mantan musuhnya itu (si betina) sambil bersiul tinggi. Kalau si betina menerima kedatangannya, sang jantan akan menghujani kekasihnya itu dengan ikan segar, menyuapkan bagian kepala ikan itu terlebih dahulu ke dalam paruh sang pujaan hati. Pada satu kesempatan di mana sebuah gencatan senjata disepakati antartetangga, kedua sejoli akan menyatukan daerahnya – untuk sementara.  Dari wilayah gabungan itu keduanya akan memilih sarang yang lama untuk digunakan kembali atau membuat sarang baru. Sepasang raja-udang biasanya membutuhkan waktu setidaknya 14 hari untuk memahat sebuah lubang sepanjang satu meter.

Karena bukan tipe pemilik rumah yang apik, burung raja-udang melapisi sarang yang diselimuti kegelapan itu dengan menaburkan lapisan tulang-tulang ikan kecil yang dimuntahkan dalam bentuk bola-bola kecil, kemudian bola-bola itu diremukkan ala kadarnya dengan paruh (Hamilton James mengamati perilaku ini dari tempat pengamatan yang dia buat di bawah tanah dan terhubung dengan sebuah sarang).  Telur raja-udang pun menetas setelah dierami selama tiga minggu. Kedua orang tua dari burung yang telah menetas juga akan mencari makan dengan bersungguh-sungguh. Burung raja-udang adalah pemburu yang menyergap dengan tiba-tiba, bertengger di atas sebuah sungai sampai seekor ikan kecil masuk ke dalam jarak tembaknya. Ia bisa menukik, menyerang, dan terbang kembali ke tempatnya bertengger  hanya dalam tempo dua detik. Si pemangsa lalu membanting mangsanya ke batang pohon untuk membuat korbannya itu pingsan –ini pelajaran yang ditekuni burung-burung muda begitu mampu melahap ikan stickleback (ikan bertulang sejati daerah utara. Panjang sekitar lima sentimeter) yang menegangkan tulang punggungnya saat ditelan. Selama tiga atau empat minggu lamanya burung-burung muda itu akan berdiam di sarang dan kedua induk bisa membawa 50 sampai 70 ekor ikan setiap hari sehingga serakan tulang ikan pun akan semakin menumpuk tinggi.!break!

Meski raja-udang bukanlah makhluk yang resik, burung ini sangatlah subur. Banyak spesies burung mampu berbiak untuk kedua kalinya, tetapi raja-udang yang bisa menelurkan enam atau tujuh butir telur setiap kali reproduksi, kerap berbiak untuk ketiga kalinya. Sepasang raja-udang bahkan pernah berbiak untuk keempat kalinya.

Reproduksi yang subur membantu kelangsungan hidup spesies ini. Selama ini, jumlah raja-udang cukup stabil sehingga hanya beberapa ahli ornitologi (ilmu pengetahuan tentang unggas) saja yang menelaah kehidupannya. Sejumlah ilmuwan yang mempelaraji Alcedo atthis melaporkan bahwa burung ini adalah salah satu dari sekian banyak  binatang liar yang tidak berkeberatan berinteraksi dengan manusia –ini  berita bagus dalam dunia yang kota-kotanya semakin besar saja.

Hamilton James mengamati bahwa burung-burung raja-udang di daerahnya tidak pernah ragu untuk menyambangi kolam ikan mas koki di halaman belakang rumah penduduk. Di samping itu, ahli ornitologi dari Jepang Satoe Kasahara mengatakan, akhir-akhir ini raja-udang terlihat mencari makan di kolam-kolam ikan di sejumlah perumahan di negaranya. Di dalam kawasan raja-udang, ikan-ikan akan berenang di setiap sungai yang bersih dan ke mana pun ikan itu pergi, burung-burung mungil dengan kicauan yang genit ini akan membayangi.