Rahasia Keluarga Raja Tut

By , Rabu, 25 Agustus 2010 | 12:27 WIB

Mumi berhasil membangkitkan daya khayal kita dan memikat hati kita. Penuh misteri dan keajaiban, mumi ini adalah sosok yang pernah hidup dan dicintai, sama seperti kita sekarang.Menurutku, kita harus menghormati jenazah-jenazah purba ini dan membiarkan mereka tenang di alam baka.Namun, ada rahasia tentang para firaun yang dapat tersingkap hanya dengan mempelajari mumi mereka. Dengan melakukan pemindaian-CT (Computer Tomography) pada mumi Raja Tutankhamun, pada tahun 2005 kami dapat menunjukkan bahwa dia tidak wafat karena pukulan di kepala, sebagaimana yang diyakini banyak orang. Analisis kami menunjukkan bahwa lubang di bagian belakang tengkoraknya dibuat selama proses mumifikasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Tutankhamun wafat ketika baru berusia 19 tahun—mungkin tidak lama setelah tulang kaki kirinya patah. Namun, ada misteri yang menyelimuti Tutankhamun yang bahkan pemindaian-CT pun tidak dapat menyingkapkannya. Sekarang, kami telah menyelidiki muminya secara lebih mendalam dan kembali dengan pengungkapan luar biasa tentang kehidupannya, kelahirannya, dan kematiannya.!break!

Bagiku, kisah Tutankhamun ibarat sebuah drama yang bagian akhirnya masih sedang digubah. Adegan pertama drama itu dimulai sekitar tahun 1390 SM, beberapa dasawarsa sebelum kelahiran Tutankhamun, ketika firaun agung Amenhotep III naik takhta di Mesir. Memerintah kerajaan yang membentang 1.900 kilometer dari Sungai Eufrat di utara sampai Katarak Keempat (rangkaian air terjun besar) Sungai Nil di selatan, raja dinasti ke-18 ini tak terperikan kekayaannya. Bersama ratunya yang digdaya, Ratu Tiye, Amenhotep III memerintah selama 37 tahun, menyembah para dewa yang disembah nenek moyangnya, terutama Dewa Amun, sementara rakyatnya hidup makmur dan kekayaan yang luar biasa mengalir deras ke kas kerajaan, berasal dari wilayah asing yang berada di bawah kekuasaan Mesir.

Babak I berkisah tentang tradisi dan kemapanan, sementara Babak II tentang pemberontakan. Ketika Amenhotep III wafat, dia digantikan oleh putranya yang kedua, Amenhotep IV—seorang visioner aneh yang memalingkan muka dari Amun dan para dewa lain dari panteon negara, dan justru memuja dewa tunggal yang dikenal sebagai Aten, sang cakram matahari. Pada tahun ke lima pemerintahannya, dia mengubah namanya menjadi Akhenaten—"ia yang bermanfaat bagi Aten." Dia meningkatkan dirinya meraih status sebagai dewa hidup dan meninggalkan ibukota agama tradisional di Thebes, membangun sebuah kota seremonial besar yang berjarak 290 kilometer ke arah utara, di sebuah tempat yang sekarang bernama Amarna. Di sini dia tinggal bersama istrinya yang hebat, Nefertiti yang jelita, dan bersama-sama mereka berperan sebagai imam agung yang mewakili Aten, dibantu menjalankan tugas oleh keenam putri mereka yang tercinta. Semua kekuasaan dan kekayaan dilucuti dari keimaman Amun, dan Aten pun berkuasa penuh. Kesenian pada periode ini juga dirasuki oleh naturalisme baru yang revolusioner; firaun tidak digambarkan dengan wajah gagah dan muda, serta tubuh kekar seperti firaun terdahulu, tetapi sebagai sosok banci yang aneh, berperut gendut dan berbibir tebal, serta berwajah memanjang.

Akhir pemerintahan Akhenaten tidak terungkap dengan jelas—sebuah adegan berlangsung di balik tirai tertutup. Satu atau mungkin dua orang raja memerintah dalam waktu singkat, baik bersama-sama Akhenaten, setelah kematiannya, atau sebelum dan sesudah kematian Akhenaten. Seperti ahli sejarah Mesir kuno lainnya, aku yakin bahwa "raja" yang pertama adalah Nefertiti. Raja yang kedua adalah sosok misterius bernama Smenkhkare, yang boleh dikatakan sama sekali tidak kita kenal. Yang secara pasti kita ketahui adalah bahwa ketika tirai itu terbuka pada Babak III, takhta sudah diduduki oleh seorang anak lelaki: Tutankhaten ("penjelmaan Dewa Aten") yang berusia sembilan tahun. Dalam dua tahun pertama masa pemerintahannya sebagai firaun, dia dan istrinya, Ankhesenpaaten (putri Akhenaten dan Nefertiti), meninggalkan Amarna dan kembali ke Thebes, membuka kembali semua kuil dan memulihkan kekayaan dan kemuliaan kuil-kuil itu. Mereka mengubah nama menjadi Tutankhamun dan Ankhesenamun, mengumumkan penolakan mereka terhadap ajaran sesat Akhenaten dan pengabdian baru mereka untuk memuja Amun.

Kemudian, tirai tertutup lagi. Sepuluh tahun setelah naik takhta, Tutankhamun wafat, tanpa meninggalkan ahli waris untuk menggantikannya. Dengan tergesa-gesa, dia dimakamkan di sebuah makam kecil, yang semula dirancang untuk orang awam, bukan untuk seorang raja. Sebagai reaksi terhadap pandangan Akhenaten yang dianggap murtad, para penerusnya berhasil menghapus hampir semua jejak raja-raja Amarna, termasuk Tutankhamun, dari sejarah.!break!

Ironisnya, upaya untuk menghapus ingatan tentang Tutankhamun justru malah melestarikannya sepanjang masa. Kurang dari satu abad setelah kematiannya, lokasi makamnya sudah dilupakan orang. Karena disembunyikan dari mata perampok oleh bangunan yang dibangun langsung di atasnya, makam itu boleh dikatakan tetap tidak tersentuh sampai ditemukan pada 1922. Lebih dari 5.000 artefak ditemukan di dalam makam. Namun, catatan arkeologi sejauh ini tidak mampu menjelaskan hubungan keluarga terdekat si raja muda itu. Siapakah ayah dan ibunya? Apa yang terjadi pada jandanya, Ankhesenamun? Apakah dua mumi janin yang ditemukan di dalam makamnya adalah anak-anak Raja Tutankhamun, yang lahir prematur, ataukah tanda kemurnian untuk menemaninya ke alam baka?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, kami memutuskan untuk menganalisis DNA Tutankhamun, bersama sepuluh mumi lain yang diduga anggota keluarga dekatnya. Di masa lalu, aku menentang penelitian genetik terhadap mumi dinasti firaun. Peluang mendapatkan sampel yang dapat ditangani sambil sekaligus menghindari campur tangan DNA modern tampak kecil sekali sehingga tidak bisa membenarkan diganggunya peninggalan sakral ini. Namun, pada tahun 2008, beberapa pakar genetika berhasil meyakinkan aku bahwa bidang ilmu itu sudah banyak mengalami kemajuan sehingga dapat memberi kami peluang yang baik untuk memperoleh hasil yang bermanfaat. Kami mendirikan dua laboratorium pengurutan-DNA yang serba modern, satu di ruang bawah tanah Museum Mesir di Kairo dan yang lainnya di Fakultas Kedokteran di Universitas Kairo. Penelitian ini dipimpin oleh ilmuwan Mesir: Yehia Gad dan Somaia Ismail dari Pusat Penelitian Nasional di Kairo. Kami juga memutuskan untuk melakukan pemindaian-CT pada semua mumi, di bawah pengarahan Ashraf Selim dan Sahar Salim dari Fakultas Kedokteran di Universitas Kairo. Tiga pakar internasional bertindak sebagai konsultan: Carsten Pusch dari Eberhard Karls University of Tübingen, Jerman; Albert Zink dari EURAC-Institut Mumi dan Manusia Es di Bolzano, Italia; dan Paul Gostner dari Rumah Sakit Pusat Bolzano.

Identitas empat mumi dari kelompok mumi itu berhasil dikenali. Di antaranya adalah Tutankhamun sendiri, yang masih berada di dalam makamnya di Lembah Para Raja, dan tiga mumi yang dipamerkan di Museum Mesir: Amenhotep III serta Yuya dan Tuyu, orang tua ratu agung Amenhotep III, Tiye. Di antara sejumlah mumi yang tidak dikenal adalah sosok lelaki yang ditemukan di dalam sebuah makam misterius di Lembah Para Raja yang dikenal sebagai KV55. Bukti arkeologi dan bukti tulisan menyiratkan bahwa mumi ini kemungkinan besar adalah Akhenaten atau Smenkhkare.

Upaya kami untuk menemukan ibu dan istri Tutankhamun terfokus pada empat wanita tak dikenal. Dua di antaranya, yang dijuluki "Wanita Tua" dan "Wanita Muda" ditemukan pada tahun 1898, sudah tidak terbungkus dan dengan cara yang biasa dibaringkan di lantai ruang samping di dalam makam Amenhotep II (KV35), jelas disembunyikan di situ oleh para imam setelah berakhirnya Kerajaan Baru, sekitar tahun 1000 SM. Dua mumi lain yang tidak bernama adalah sosok perempuan yang berasal dari sebuah makam kecil (KV21) di Lembah Para Raja. Arsitektur makam ini menyiratkan suatu tanggal pada masa dinasti ke-18, dan kedua mumi itu meletakkan kepalan tangan kiri mereka di dada dengan pose yang umumnya ditafsirkan sebagai pose ratu.!break!

Akhirnya, kami berupaya mendapatkan DNA dari janin yang terdapat di dalam makam Tutankhamun—upaya yang tidak terlalu menjanjikan mengingat kondisi mumi yang sangat buruk. Namun, jika berhasil, kami mungkin bisa menyibakkan misteri sebuah kerajaan yang terentang meliputi lima generasi.

Untuk mendapatkan sampel yang dapat ditangani, para ahli genetika mengambil jaringan dari beberapa lokasi yang berbeda di setiap mumi, selalu jauh di dalam tulang, sehingga bisa dipastikan spesimen tidak terkontaminasi oleh DNA arkeolog sebelumnya—atau DNA para imam Mesir yang melaksanakan mumifikasi. Penanganan ekstra hati-hati juga dilakukan untuk menghindari kontaminasi oleh para peneliti. Setelah sampel diambil, DNA harus dipisahkan dari zat-zat yang tidak diinginkan, termasuk salep dan resin yang digunakan para imam untuk mengawetkan jenazah. Karena bahan pembalseman berbeda-beda untuk setiap mumi, demikan pula langkah-langkah yang diperlukan untuk memurnikan DNA. Dalam setiap kasus ,bahan yang rapuh itu bisa hancur pada setiap tahap penanganan.

Tutankhamun tentu saja jadi pusat penelitian. Jika pengambilan sampel dan isolasinya berhasil, DNA-nya akan masuk ke dalam larutan cairan bening, siap untuk dianalisis. Namun, kami sungguh kecewa karena larutan pertama ternyata menjadi hitam keruh. Diperlukan kerja keras selama enam bulan untuk mengetahui cara menghilangkan bahan pencemar—beberapa di antaranya produk proses mumifikasi yang masih belum teridentifikasi—dan mendapatkan sampel yang siap untuk memperkuat dan mengurutkan DNA itu.

Setelah kami juga memperoleh DNA dari tiga mumi laki-laki lain dalam sampel—Yuya, Amenhotep III, dan KV55 yang misterius—kami berusaha menegaskan identitas ayah Tutankhamun. Dalam perkara yang genting ini, catatan arkeologi bersifat ambigu. Dalam beberapa prasasti dari masa pemerintahannya, Tutankhamun menyebut Amenhotep III sebagai ayahnya, tetapi hal ini tidak dapat disimpulkan dengan pasti, karena istilah yang digunakan juga bisa diartikan "kakek" atau "leluhur." Juga, menurut kronologi yang berlaku umum , Amenhotep III wafat sekitar satu dasawarsa sebelum Tutankhamun lahir.!break!