Ketika misionaris New England, Hiram Bingham, tiba di Hawaii pada tahun 1820, dia prihatin sekali menyaksikan penduduk pribumi menyembah berhala, menari hula, dan melakukan perkawinan sedarah di antara anggota keluarga bangsawan yang berkuasa. Penduduk Hawaii sendiri tidak keheranan seperti Bingham menyaksikan perilaku kaum bangsawan itu. Perkawinan sedarah di kalangan bangsawan, menurut sejarawan Joanne Carando, "bukan saja berterima, tetapi bahkan dianjurkan" di Hawaii sebagai hak eksklusif keluarga raja.!break!
Bahkan, sementara hampir semua budaya dalam catatan sejarah menganggap perkawinan sedarah kakak-adik atau orangtua-anak sesuatu yang tabu, keluarga kerajaan dikecualikan di banyak masyarakat, termasuk Mesir kuno, Inca Peru, dan sesekali di Afrika Tengah, Meksiko, dan Thailand. Dan sementara keluarga kerajaan di Eropa menghindari perkawinan sedarah kakak-adik, banyak yang menikahi saudara sepupu mereka, antara lain keluarga Hohenzollerns di Prusia, keluarga Bourbon di Prancis, dan keluarga kerajaan Inggris. Keluarga Habsburg di Spanyol, yang memerintah selama hampir 200 tahun, sering kali menikah dengan sesama kerabat dekat. Dinasti mereka berakhir pada tahun 1700 dengan wafatnya Charles II, seorang raja yang begitu ringkih kesehatannya dan memiliki banyak masalah dalam perkembangan fisiknya sehingga baru bisa berbicara pada usia empat tahun dan berjalan pada usia delapan. Dia juga mengalami kesulitan mengunyah makanan dan tidak bisa punya anak.
Masalah kesehatan fisik yang dihadapi Charles dan Tutankhamun sang firaun, anak yang orang tuanya kakak beradik, menyiratkan satu penjelasan yang mungkin, tentang tabu perkawinan sedarah yang bersifat hampir universal: gen yang tumpang tindih dapat menjadi bumerang. Saudara sekandung memiliki rata-rata separuh gen yang sama, seperti juga yang dimiliki orang tua dan keturunannya. Genom saudara sepupu tumpang tindih 12,5 persen. Perkawinan antara kerabat dekat dapat meningkatkan ancaman gen resesif yang berbahaya, terutama jika dikombinasikan berulang kali dari generasi ke generasi, yang menjadi berpasangan pada gen keturunannya, menyebabkan peluang besar terciptanya masalah kesehatan atau perkembangan—mungkin berupa cacat bibir sumbing dan cacat kaki bawaan yang dialami Tut atau perawakan kecil dan impotensi yang dialami Charles.
Seandainya pun keluarga bangsawan itu menyadari kemungkinan terjadinya cacat tubuh ini, mereka memilih untuk mengabaikannya. Menurut guru besar sastra klasik Stanford University, Walter Scheidel, salah satu alasannya adalah bahwa "perkawinan sedarah membuat mereka berbeda." Perkawinan sedarah di kalangan bangsawan terutama terjadi di masyarakat yang para penguasanya memiliki kekuasaan yang luar biasa dan tidak memiliki lingkungan yang setara, kecuali para dewa. Karena para dewa menikah dengan sesama dewa, begitu pulalah seharusnya para bangsawan.
Perkawinan sedarah juga melindungi aset kerajaan. Menikah dengan sesama anggota keluarga memastikan bahwa seorang raja akan berbagi kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan hanya dengan orang-orang yang memang kerabatnya. Dalam masyarakat terpusat yang dominan, seperti Mesir kuno atau Inca Peru, ini dapat berarti membatasi lingkaran perkawinan hanya di kalangan keluarga dekat. Dalam masyarakat yang budayanya tumpang tindih, seperti di Eropa pada milenium kedua, hal itu bisa berarti menikah dengan anggota keluarga besar dari rezim lain untuk membentuk aliansi sekaligus mempertahankan kekuasaan di antara kerabat.!break!
Dan bahaya itu, meskipun nyata, tidak bersifat mutlak. Bahkan tingginya tingkat tumpang tindih genetik yang terdapat pada anak yang dilahirkan oleh ibu yang menikahi saudaranya, misalnya, dapat menghasilkan anak yang lebih sehat, bukan yang ringkih oleh penyakit. Dan kekayaan kerajaan dapat membantu memperbaiki beberapa kondisi medis; Charles II hidup jauh lebih baik (dan mungkin lebih lama, wafat pada usia 38) daripada seandainya dia seorang petani.
Seorang raja atau firaun juga dapat mengelak dari risiko perkawinan sedarah dengan menggauli orang lain yang bukan kerabat. Dia bisa menggauli, begitu menurut pakar sastra klasik Stanford, Josiah Ober, "siapa pun yang diinginkannya." Penguasa Inca, Huayna Capac (1493-1527), misalnya, mewariskan kekuasaan tidak hanya kepada putranya Huáscar, yang ibunya adalah istri dan sekaligus adik Capac , tetapi juga kepada putranya Atahualpa, yang ibunya seorang selir. Dan Raja Rama V dari Thailand (1873-1910) menjadi bapak lebih dari 70 anak—beberapa di antaranya adalah buah perkawinannya dengan saudara seayah atau seibu, tetapi sebagian besar dengan puluhan selir dan gundik. Penguasa seperti itu bisa memilih untuk mewariskan kekayaan, keselamatan, pendidikan, dan bahkan kekuasaan politik kepada anak-anaknya, apa pun status ibu mereka. Seorang pakar genetika bisa mengatakan bahwa sang penguasa menawarkan kepada gennya sekian banyak jalan ke masa depan.
Semuanya bisa mengesankan seakan-akan hal itu dilakukan demi kepentingan duniawi. Namun, perasaan sayang kadang-kadang memacu terjalinnya ikatan ini. Bingham mengetahui dari penelitiannya bahwa bahkan setelah Raja Kamehameha III dari Hawaii menerima ajaran Kristen, selama beberapa tahun dia meniduri saudara perempuannya, Putri Nahi'ena'ena—menyenangkan hati orang tua mereka, tetapi membuat miris para misionaris. Kakak beradik itu melakukannya, kata sejarawan Carando, karena mereka saling mencintai.