Perang Baru Sudan

By , Rabu, 27 Oktober 2010 | 12:26 WIB

Belum lama ini di Juba, di sebuah bangunan kolonial tua yang berdinding retak dan listrik yang sering padam, dua mantan militer--Letjen Fraser Tong dan Mayjen Philip Chol Majak--menjelaskan situasinya.

"Geng terorganisasi, mungkin 50 orang, akan datang berkuda," kata Tong. "Mereka mengincar gajah dan hewan berkuku belah yang besar. Dagingnya akan dikeringkan sementara gadingnya diangkut dengan unta."!break!

Tong adalah menteri muda urusan margasatwa di Sudan selatan yang semiotonom, yang berbasis di Juba, ibu kotanya. Majak adalah staf senior, komandan lapangan margasatwa yang pasukannya terkenal karena menembak jatuh jet MiG dengan roket panggul pada perang saudara terakhir Sudan, yang dimulai pada 1983. Gencatan senjata mengakhiri konflik itu lima tahun lalu, tetapi sekarang Majak sedang menghadapi perang baru. "Kita harus melindungi hewan-hewan ini," ujarnya.

Nada suaranya terdengar mendesak. Dia dan sesama orang Sudan selatan sangat akrab dengan margasatwa mereka. Kedekatan itu lebih dalam daripada yang disadari orang di tempat lain, karena selama sekian generasi penjarah asing mengumpulkan dua jenis komoditas dari sini: budak dan gading. Manusia dan gajah menjadi terkait, bahkan hampir identik, ditangkap dan dikapalkan bersama-sama.

Ikatan ini semakin erat selama perang saudara. Sementara bom dan ranjau meledak, orang yang tidak mengungsi ke negara tetangga bersembunyi di hutan. Demikian pula gajah dan binatang berpindah lainnya; ada yang tertangkap pemburu, tetapi banyak yang menghindari pertempuran dengan berlindung di tempat yang sulit dijangkau. Mereka menjadi--menurut orang Sudan selatan--sesama pengungsi korban perang. Hewan yang lebih menetap--banteng, antelop hartebeest, jerapah--nyaris punah. Tentara memburu hewan itu dan makan dagingnya, tetapi mereka juga memegang aturan: Mereka tidak menembak yang jantan, dan berusaha tidak memburu jenis tertentu hingga punah.

Perang terus berlarut. Pada saat perang itu berakhir, tak ada yang tahu berapa banyak hewan yang tersisa atau akankah hewan itu kembali.Dua tahun kemudian, tiga orang--Paul Elkan, ahli biologi Amerika yang memimpin program Wildlife Conservation Society (WCS) di Sudan selatan, J. Michael Fay, juga bekerja di WCS, dan Malik Marjan, mahasiswa S3 asal Sudan selatan di University of Massachusetts, Amherst--bolak-balik melintasi kawasan itu dengan pesawat kecil, menghitung hewan untuk pertama kalinya dalam beberapa dasawarsa. "Mencengangkan," ujar Elkan kepada saya. "Ada tiga perempat juta antelop kob. Hampir 300.000 gazelle Mongalla. Lebih dari 150.000 antelop tiang. Enam ribu gajah. Dia pun tersadar: "Tak pelak lagi, ini merupakan salah satu habitat liar terpenting di Afrika."!break!

Survei udara WCS sejak saat itu telah diperluas hingga mencakup pemantauan margasatwa, hewan ternak, dan aktivitas manusia di sebagian besar Sudan selatan. Elkan baru-baru ini menerbangkan Cessna-nya ke arah utara dari Juba, menyusuri Wilayah Nil Putih, lalu ke timur ke wilayah nan luas yang membentang ke arah matahari terbit. Selama berjam-jam kami terbang di atas tanah yang tak terjamah. Di sini sungai mengalir deras pada musim hujan, dan amukan kebakaran hutan tak tertanggulangi pada musim kemarau. "Ini salah satu sabana perawan terluas di Afrika," ujarnya.

Dia menukik ke arah kawanan kob telinga-putih, yang berduyun-duyun ke utara dalam jumlah ribuan. Beberapa spesies telah hampir punah--zebra mungkin hanya tinggal tujuh ekor, musnah akibat pemburuan--tetapi dalam bayangan pesawat, seekor singa betina menguntit rusa. Denai gajah yang berupa lingkaran lumpur merentang ke cakrawala.

Kami mendarat di landasan terbang tanah di Nyat, dekat perbatasan Ethiopia, tempat para kepala desa berkumpul untuk mendengarkan rencana pelestarian margasatwa. Elkan menyampaikan berita baru: Pemerintah Sudan selatan telah melarang kegiatan berburu. Seorang tetua mengacungkan tangan. "Bagaimana dengan makanan?"

Elkan menjawab, ada perbedaan besar antara orang yang keluar pondok membawa tombak pada pagi hari--sebagaimana yang dilakukan orang di sini selama ribuan tahun--dengan pemburu yang menyemburkan peluru dari senapan otomatis. Atau pemburu komersial dari utara yang datang untuk berburu tanpa izin. Jagawana dapat mengabaikan perburuan untuk mendapatkan makanan di luar kawasan lindung, yang mencakup jalur utama migrasi margasatwa, kata Elkan. Namun, perburuan komersial harus dihentikan.!break!

WCS dan pemerintah AS saat ini bekerja sama dengan pemerintah Sudan selatan untuk menciptakan area khusus yang luasnya hampir 200.000 kilometer persegi. Wilayah ini akan mencakup dua taman nasional, suaka margasatwa, konsesi minyak, dan lahan masyarakat. Jika dikelola dengan baik dan aman, Elkan menjelaskan, wilayah luas yang dipenuhi margasatwa ini akan menarik wisatawan, menciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Dia mendorong mereka menyebarkan berita ini.

Para kepala desa mengangguk. Sudan selatan telah menempuh perjuangan berdarah yang panjang demi meraih kemerdekaan. Sekarang hewan di sana--sesama penyintas perang--juga berhak mendapatkan kedamaian.