Senjakala Kelelawar

By , Senin, 29 November 2010 | 12:39 WIB

Di pinggiran kota Madison, Wisconsin, tampak bangunan rendah dari batu bata yang dilengkapi dengan penyekat ventilasi dan dikelilingi oleh pagar kawat anyam yang tinggi: Tight Isolation Building milik National Wildlife Health Center (NWHC) di bawah U.S. Geological Survey, sebuah fasilitas penelitian federal khusus untuk memerangi penyakit margasatwa. Di dalamnya, lorong dari bata genting mengelilingi Animal Isolation Wing (Sayap Isolasi Hewan), melewati sederet ruang percobaan yang tersekat rapat, dan masing-masing terlihat melalui jendela yang tebal. Satu ruangan diisi serbuk gergaji dan pipa mirip terowongan untuk meniru habitat anjing prairie yang digunakan dalam percobaan vaksin untuk melawan Yersinia pestis, organisme yang menyebabkan wabah. Di ruang lain, pipit zebra di dalam sangkar burung berperan dalam penelitian vaksin untuk virus West Nile. Dua ruangan agak temaram, agar nyaman bagi kelelawar yang sedang berhibernasi. Yang satu diisi oleh hewan normal dari spesies Myotis lucifugus, yang lazim disebut kelelawar cokelat kecil. Yang ini hewan kontrolnya. Ruangan temaram yang kedua berisi kelelawar cokelat yang terpapar pada Geomyces destructans, jamur putih bak-benang yang asal-usulnya tidak diketahui, yang pertama kali muncul di kalangan populasi kelelawar Amerika Utara pada 2006. Hanya dalam waktu empat tahun, jamur itu sudah menyerang populasi kelelawar yang berhibernasi di New York, Vermont, dan semakin banyak negara bagian lain serta provinsi di Kanada, dengan hasil yang lebih mematikan daripada Yersinia pestis yang menyerang para petani Prancis abad pertengahan.!break!

David S. Blehert, ahli mikrobiologi di NWHC, memimpin kajian laboratorium terhadap jamur berbahaya ini. Dia memasuki ruangan kedua dengan mengenakan pakaian tertutup rapat buatan Tyvek, sepatu bot karet, sarung tangan lateks, lampu-kepala berfilter-merah, dan respirator. Sambil bergerak diam-diam agar tidak membangunkan kelelawar, dia menghampiri lemari pendingin berpintu geser dari kaca, yang di dalamnya terdapat kandang kelelawar berukuran kecil yang bertabir. Lemari itu adalah kulkas bunga, yang dimanfaatkan oleh Blehert sebab kelelawar yang berhibernasi, seperti bunga bakung yang sudah dipetik, menyukai suhu rendah dan kelembapan tinggi. Blehert mengintip lemari pendingin itu untuk memeriksa kelelawar, apakah ditumbuhi jamur di sekitar moncong atau sayapnya. Bulu putih di congor, yang mirip bintik putih pada buah kesemek, merupakan tanda bahwa kelelawar mungkin sudah terjangkit; ini jugalah yang menghasilkan istilah “sindrom hidung putih” untuk penyakit tersebut.

Tidak ada tanda perubahan, kata Blehert kepada saya yang masih di ruang ganti. Sejauh ini tak ada yang mati, dan tak terlihat jamur. Tetapi, percobaan masih dalam tahap awal.Bagaimana cara jamur ini membunuh kelelawar? "Itu belum kita ketahui," katanya. "Kalau tidak salah, ini penyakit pertama yang berciri khusus menjangkiti hewan yang berhibernasi." Jadi, cara membunuhnya mungkin berbeda dengan apa pun yang pernah diteliti. Dan itu baru satu dari sekian misteri.

Jamur itu sendiri tampaknya baru di Amerika Utara. Keberadaannya pertama kali direkam—tapi belum dikenal—dalam foto yang diambil pada Februari 2006 di Gua Howes, sebelah barat kota Albany, New York. Setahun kemudian, orang mulai melaporkan hal yang aneh: di luar gua di dekat sana kelelawar cokelat kecil terbang siang-siang di tengah musim dingin. Kelelawar cokelat kecil ini berukuran mungil, lebih kecil dari jempol manusia, dan bergantung pada dua gram lemak yang tersimpan di tubuhnya untuk bertahan hidup melewati musim dingin. Hibernasi sangat penting untuk menghemat energi; setiap kali terbangun menghabiskan lemak untuk tidur sebulan. Ketika kru dari Department of Environmental Conservation New York melakukan pemeriksaan rutin tahunan di Gua Hailes, tempat hibernasi lain di dekat sana, mereka menemukan ribuan bangkai kelelawar, terserak di seantero gua, dalam berbagai tahap pelelehan dan pembusukan. "Itu pembantaian," pendapat Al Hicks, spesialis mamalia di departemen itu.

Sejak itu, masalah tersebut menyebar luas dengan cepat. Ahli biologi memperkirakan ada satu juta atau lebih hewan yang mati dalam tiga tahun, sementara terjadi kemusnahan populasi di beberapa tempat. Enam spesies terjangkit penyakit ini, salah satunya dinyatakan terancam punah jauh sebelum munculnya sindrom hidung putih: kelelawar Indiana (Myotis sodalis). Tiga spesies lain berisiko sangat tinggi, termasuk kelelawar abu-abu (Myotis grisescens), juga terancam punah. Pemulihan populasi kelelawar abu-abu mengalami kemajuan pesat beberapa dasawarsa terakhir. "Kami telah mengerahkan upaya luar biasa untuk itu," kata Merlin Tuttle, pendiri Bat Conservation International. "Kini kemajuan itu dapat sirna hanya dalam beberapa tahun."!break!

Sulit meramalkan ujung serangan Geomyces destructans, selain menjangkiti setiap populasi kelelawar yang berhibernasi di Amerika Utara. Lebih sulit lagi mengetahui hal apa, jika ada, yang dapat diperbuat untuk mengurangi kemusnahan ini.

Hibernasi—itulah aspek penting dalam masalah ini. Jamur umumnya tidak menyebabkan penyakit parah pada makhluk berdarah panas (tidak ada orang yang meninggal gara-gara kutu air) karena suhu tubuh yang tinggi tidak mendukung pertumbuhan jamur yang cepat. Sementara, hibernasi memerlukan penurunan suhu tubuh serta parameter metabolisme lain, seperti laju napas dan denyut jantung. Dari 45 spesies kelelawar yang menghuni Amerika Serikat dan Kanada, sekitar setengahnya berhibernasi. Kelelawar itu berkumpul di gua, sumur tambang, dan bahkan bangunan, setiap tempat hibernasi dipilih sesuai dengan kebutuhan kisaran suhu dan kelembapan yang berbeda-beda setiap spesies. Kelelawar cokelat kecil menyukai suhu antara sekitar 4° dan 7°C dan kelembapan sekitar 90 persen. Kondisi tersebut juga optimal untuk Geomyces destructans, seperti temuan Daud Blehert saat berusaha membiakkannya di lab.

Tetapi, jamur juga membutuhkan gizi, selain lingkungan yang nyaman. Jamur mengambil makanan dari makhluk lain. Biasanya, sistem kekebalan tubuh mamalia mana pun dapat melawan parasit jamur. Tetapi, tidak demikian jika mamalia itu sedang berhibernasi. Penelitian yang dilakukan di lab Tom Kunz, peneliti kelelawar di Boston University, menunjukkan bahwa hibernasi—ketika kelelawar menurunkan metabolisme—mungkin memiliki efek samping berupa menekan respons kekebalan tubuhnya. Marianne Moore, ahli biologi di lab Kunz, ingin tahu apakah penekanan kekebalan tubuh itu, dalam suhu dingin, yang memungkinkan Geomyces destructans berkembang begitu agresif pada kelelawar yang sedang melewati musim dingin. (Manusia tidak rentan.) Anggota terbaru genus Geomyces ini tampaknya telah menemukan jalan ke kelompok mamalia yang paling tidak mampu melawannya.

Menemukan jalan—dari mana? Tidak ada yang tahu. Jamur itu juga terlihat pada kelelawar di Eropa, tetapi di sana tidak menyebabkan gangguan atau kematian yang nyata. Dengan kata lain, jamurnya ada, tetapi sindromnya tidak. Sindrom hidung putih bukan hanya berupa bulu moncong yang berjamur, tetapi juga lesi putih korosif pada sayap kelelawar dan terbangun dari hibernasi terlalu dini, mungkin karena jamur putih itu mengiritasi, menyesakkan, atau gatal. Lesi pada sayap mengganggu terbang; terbangun dini menguras cadangan lemak kelelawar, membuatnya kelaparan atau membeku, baik kelelawar itu keluar dari gua untuk mencari makanan dengan putus asa dan sia-sia, ataupun tidak. Kapan tepatnya, dan mengapa, infeksi jamur yang mengganggu itu berkembang menjadi sindrom hidung putih yang parah? Sekali lagi, tidak ada yang tahu.!break!

Kelelawar tidak bisa terbang melintasi Atlantik sehingga seandainya Geomyces destructans sampai di Gua Howes dari Eropa, mungkin jamur itu dibawa oleh manusia—turis bersepatu kotor, mungkin, atau penjelajah gua yang bajunya jamuran. Dilihat dari sudut itu, jamur ini hanyalah salah satu dari sekian spesies invasif yang merusak. Seabad yang lalu, pelakunya juga jamur, Cryphonectria parasitica, lebih dikenal sebagai wabah kastanye. Sebelum jamur itu datang, hutan kayu keras Amerika dipenuhi pohon kastanye yang tinggi dan megah, tetapi pada 1940 hampir semua pohon itu lenyap.

"Ini wabah kastanye bagi kelelawar," kata Jim Kennedy, saat kami berkendara menuju Gua Hubbard, tempat hibernasi kelelawar abu-abu di Tennessee tengah. Kennedy adalah ahli biologi dan penjelajah gua, yang dipekerjakan oleh Bat Conservation International. Tugasnya adalah mengajari para ahli biologi dan penjelajah gua lain cara melakukan sensus populasi kelelawar di tempat hibernasi dengan gangguan minimal, sambil memetakan penyebaran sindrom hidung putih. Cara pikirnya seperti ahli ekologi, tak hanya mencemaskan kelelawarnya, tetapi juga ekosistem yang ditempatinya—gua, hutan, lahan pertanian yang hidup. Berdasarkan satu perkiraan, sejuta kelelawar yang mati akibat sindrom hidung putih sejauh ini semestinya melahap sekitar 700 ton serangga per tahun. "Kita mungkin akan melihat perubahan besar," tambah Kennedy. "Tidak bisa diramalkan."

Di luar teka-teki penyakit itu sendiri yang belum terpecahkan, ada teka-teki lain: Seperti apa Amerika nanti tanpa kelelawar yang berhibernasi?

Gua Hubbard, yang dimiliki Nature Conservancy, tersembunyi secara alami di ujung jalan gunung. Sebatang sungai menuruni ngarai berhutan, lalu terjun ke dalam luweng, yang di dasarnya ada tiga lubang gua yang menjorok jauh ke dalam batu kapur berlubang-lubang. Semuanya dihalangi gerbang baja besar yang memungkinkan kelelawar terbang keluar-masuk, tetapi merintangi pengunjung manusia tanpa izin. Kami menuruni tangga aluminium ke dalam luweng. Lalu, tuan rumah kami dari Nature Conservancy membuka kunci panel di bagian bawah pintu gerbang, dan kami berdelapan— penghitung kelelawar dan yang lain—menyusup. Setiap barang yang kami bawa, termasuk notebook tahan air milik saya, akan dibungkus plastik ketika kami keluar, lalu disucihamakan. Kalau ada jamur yang hidup di gua ini, Jim Kennedy dan rekan-rekannya tidak akan menularkannya ke gua berikutnya.

Kami menjelajahi beberapa lorong di tengah ribuan kelelawar abu-abu yang bergantung, tidak seekor pun memiliki hidung putih—sejauh yang terlihat. Tidak ada semur bangkai kelelawar di tanah. Kami datang sebelum jamur itu. Tetapi, Kennedy tidak optimistis. "Masalahnya bukan apakah jamur itu datang atau tidak. Masalahnya, kapan jamur itu datang. Kami sedang mempersiapkan diri untuk itu," katanya. "Gua ini saja berisi setengah juta kelelawar."!break!

Sementara Kennedy dan yang lain bekerja, aku melihat-lihat pemandangan yang menakjubkan. Di dinding batu kapur kemerahan di satu ruangan, diterangi samar-samar oleh pantulan lampu-kepala kami, menggantung kumpulan tebal bulu abu-abu. Kumpulan tubuh kelelawar hidup yang diam dan nyaman, bergelantung dua-tiga lapis berjejalan, kakinya yang kecil dan bercakar menggantung pada batu vertikal yang berlubang-lubang. Mereka membentuk gumpalan padat tak berbentuk, sebesar karpet ruang tamu. Ini baru satu gumpalan. Aku diberi tahu, isinya mungkin 300.000 kelelawar. Mirip karpet kulit berbulu. Mirip amuba yang besar dan gelap. Mengingatkanku pada gambar Rorschach raksasa, menguji visi kita tentang masa depan.