Takdir Owa di Tanah Jawa

By , Kamis, 19 Mei 2011 | 11:09 WIB

Soojung melirik arlojinya. Pukul 07.15. Kami berhenti cukup lama. Soojung pun mengamati keadaan sekitar. Kadang ia menggunakan teropong untuk memantau ujung dahan. Namun, kami hanya mendapati bajing dan burung-burung yang kadang meloncat dari satu dahan ke dahan di sebelahnya.

Setengah jam kemudian, peneliti yang pergerakannya amat gesit kembali berhenti. Sesekali ia menembus semak dan meloncati batang pohon tumbang sembari mengamati satu titik di atas sana. Kadang ia memicingkan mata dan menggunakan teropongnya. Namun lagi-lagi ia kecewa. “Bajing,” ujarnya sambil meneruskan langkah.

Pukul delapan, kami masih menelusuri punggungan hingga melewati penanda loop trail, jalur wisata alam TNGHS, yang menunjukkan angka HM9. Sepuluh menit kemudian tiba-tiba alat komunikasi Soojung berbunyi: “Owa ada di HM enam dan tujuh!” seru Aris. Tidak lama kemudian terdengar suara owa di kejauhan. Soojung pun segera melesat bagai anak panah, meninggalkan kami jauh di depan sambil mengeluarkan alat perekamnya. Vokalisasi owa terdengar di kiri dan kanan kami, bersahut-sahutan satu sama lain. Ayu sedang memanggil pejantan dan anak-anaknya yang terpisah sejak pagi hari, termasuk Asri. Kami pun kembali naik turun lembah mengikuti ke mana pun mereka pergi.

Setelah menuruni lembah yang cukup curam dengan bantuan tali, kami tiba di sebuah  tempat yang dipenuhi gemericik sungai dengan vegetasi yang cukup rapat, tepat di tepian jalur wisata alam. Tak berapa lama kemudian kami berpencar. Para asisten Soojung kembali naik ke arah punggungan mengekori pergerakan Aris dan kelompoknya, sementara saya mengikuti Soojung masuk lebih jauh ke dalam lembah. Setelah berbelok menjauhi sungai hingga suara gemericik menjadi samar, Soojung menoleh dan berkata, “Kita tidak boleh terlihat oleh owa, karena takut nanti mereka terbiasa melihat orang setelah playback.” !break!

Ia mengajak saya masuk ke bawah naungan dedaunan yang rendah dan rimbun. Saya pun duduk di tanah yang lembap, memerhatikan peneliti yang terbalut baju lapangan berwarna merah dengan rambut yang selalu terkuncir ini sibuk mengeluarkan peralatan: sebuah tas berisi alat pemutar compact disc serta sebuah pengeras suara yang tinggi dan lebarnya berukuran sekitar sejengkalan tangan dan terbungkus tas kain hitam. Setelah mencolokkan beberapa untai kabel untuk menghubungkan kedua alat tersebut, ia berbicara menggunakan perangkat komunikasi kepada asistennya yang berjumlah tiga orang: “Saya mau putar suara dari Ragunan.”

Ia pun memencet sebuah tombol. Dalam sekejap, suara owa jawa betina segera berkumandang di hutan: nyanyiannya terkadang memiliki tempo yang cepat dan terkadang lambat meliuk-liuk. Sambil mendekap pengeras suara, dari sela-sela dedaun mata Soojung yang tajam dengan jeli mengawasi pepohonan di depannya. Sesekali ia melirik ke arah jam digital yang melingkar di pergelangan tangannya. Suara rekaman itu diputar berulang-ulang dalam jangka waktu kurang lebih 15 menit.

Setelah alat dimatikan, keheningan melanda hutan selama beberapa saat. Namun tiba-tiba suara owa jawa terdengar kembali di kejauhan. Kali ini bukan suara rekaman. Secepat kilat, Soojung pun menyibak dedaunan dan melompat keluar dari persembunyian kami. Ia lari ke area yang lebih terbuka sembari mengeluarkan alat perekam serta sebuah mikrofon yang kemudian ia acungkan tinggi-tinggi ke atas.

Alih-alih mendekat ke arah sumber suara rekaman seperti yang diharapkan sebelumnya, kelompok owa jawa yang ia “pancing” ini berhenti dan mengeluarkan suara. “Uuua uuua uuuaa uuua,” dalam tempo yang cepat dan lambat, dan juga meliuk-liuk. Apa arti vokalisasi mereka? “Bisa jadi memberitahu kepada kelompok lawan yang mereka dengar barusan, bahwa ini adalah wilayah mereka,” ujarnya. !break!

Soojung menjelaskan, jika rekaman vokalisasi owa jawa betina yang diputar, biasanya owa jawa betinalah yang akan memberikan respons pertama kali, pertanda mereka berusaha mempertahankan wilayah, makanan, serta anak-anak mereka. Jika rekaman suara owa jantan yang diperdengarkan, maka yang melakukan respons terlebih dahulu bisasanya adalah owa jantan yang bervokalisasi untuk memperingatkan agar tidak ada pejantan lain yang berani masuk wilayahnya dan mengambil betina miliknya.

Hari ini, walaupun suara rekaman betina yang diputar, pejantanlah yang pertama kali bereaksi. Mengapa demikian? Hal ini pun masih menjadi misteri bagi Soojung. Jika biasanya kelompok owa mendekati sumber suara yang berjarak sekitar 100 meter hanya dalam waktu sekitar dua menit karena menyangka bahwa mereka akan berhadapan dengan kelompok owa jawa lain yang memasuki wilayah mereka, kali ini mereka berdiam diri dan bervokalisasi, menunjukkan keberadaan mereka di tempat itu. Sebuah pertanyaan lain bagi peneliti berperawakan kecil ini.

Hal-hal seperti inilah yang ia geluti selama dua tahun terakhir untuk mempelajari perilaku owa jawa serta reaksi mereka terhadap vokalisasi yang dilakukan oleh kelompok lawan. Rekaman suara yang diputar tidak pernah sama untuk menghindari pengulangan. Rekaman itu ia dapatkan setiap bulan dari berbagai tempat, seperti di Javan Gibbon Center Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kebun Binatang Ragunan, juga di habitat alami owa jawa.

Dalam satu tahun, target Soojung untuk penelitiannya ialah memutar rekaman berbagai jenis vokalisasi owa jawa sebanyak 50 kali. Namun, tahun lalu ia hanya berhasil memutar 15 rekaman karena cuaca yang tidak memungkinkan. !break!