Pagi itu, jarum jam belum lagi tiba di antara angka enam dan tujuh. Sesosok tangan kecil meraih buah kemerahan yang bergantungan di hadapannya, di ketinggian sekitar 25 meter dari tanah. Sisa tubuhnya yang mungil terselubung oleh rimbun dedaunan. Kadang melalui sela ranting yang melambai-lambai terembus angin, mulutnya terlihat bergerak naik turun dengan cepat; asyik mengunyah makanan. !break!
Kedua induknya berada tak jauh pada dahan yang berlainan, terlena menikmati buah ara berwarna merah segar. Siapa pun yang melintas di bawah pepohonan mungkin tidak akan menyadari keberadaan tiga ekor owa jawa (Hylobates moloch) menyerupai segumpalan rambut abu-abu keperakan di dahan-dahan ramping, nun jauh di atas kepala. Daun-daun sesekali bergemerisik ditiup oleh angin yang masih dingin. Terkadang burung-burung ramai bercericit di atap hutan, sementara di dahan-dahan pohon lainnya dua ekor bajing sibuk berlarian. Sang jantan perlahan menggelayut mendekati anaknya untuk menyelisik, membersihkannya dari kotoran atau parasit. Kadang si kecil menjauhkan diri untuk sesaat, namun selalu kembali untuk menikmati selisik sang induk. Dari bawah, rambut-rambut mereka bersinar keperakan diterpa sinar mentari pagi nan hangat.
Ketenteraman pagi itu tak berlangsung lama. Si kecil yang diberi nama Kumkum oleh tim peneliti yang diketuai oleh Ham Soojung, peneliti tingkah laku serta ekologi primata dari Ewha Womans University, Korea, ini menjulurkan tangan. Jangkauannya kali ini lebih jauh. Bukan untuk meraih makanan, namun untuk menggapai dahan. Secepat kilat, ia pun bergelayut dari satu dahan ke dahan lainnya, meninggalkan kedua induk jauh di balik punggungnya.
Kumkum lahir pada 31 Juli 2007. Sepengamatan saya selama dua hari mengikuti pergerakan kelompok B ini, si owa jawa muda tidak bisa diam. Induknya lebih sering bergerak mengikuti ke mana pun Kumkum pergi. Seperti pagi ini. Setelah ia mulai menghilang kembali di antara dahan dan dedaunan jauh di sana, induknya pun segera menyusul, merelakan makanan mereka. Pada saat-saat tertentu pergerakan Kumkum amatlah cepat. Tidak hanya sang induk yang ripuh. Empat orang tim peneliti yang ada di lantai hutan, juga saya dan fotografer Reynold pun sibuk mengejar kelompok owa ini, kadang terengah-engah menaiki punggungan dan tergelincir menuruni lembah curam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang dibasahi oleh air hujan yang turun deras semalam.
Di dalam dunia primata, owa adalah satu-satunya satwa yang digolongkan sebagai kera kecil atau lesser apes. Sementara orang utan, simpanse, bonobo serta gorila masuk ke dalam golongan kera besar atau great apes. Dari 16 spesies owa di dunia yang menyebar di India, Bangladesh, Laos, China, Myanmar, Thailand, Brunei, Vietnam, hingga Indonesia, tujuh spesies di antaranya—termasuk siamang—ada di negeri ini. Sementara owa jawa adalah satwa endemik yang hidup hanya di hutan-hutan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada 2008, Hylobates moloch ditetapkan sebagai spesies yang masuk ke dalam status Endangered atau Genting dalam IUCN Red List of Threatened Species setelah sebelumnya dilabeli status Critically Endangered atau Kritis pada tahun 1996 dan 2000. Pada awal September 2006, IUCN menyelenggarakan Asian Primate Red List Workshop di Phnom Penh, Kamboja. Sekitar 15 ahli primata dari berbagai belahan dunia berkumpul antara lain untuk merangkum dan memublikasikan informasi mengenai taksonomi, jangkauan geografis, besaran populasi, serta ancaman utama yang terus mendera owa jawa. Salah seorang di antaranya ialah Jatna Supriatna, ahli primata Indonesia yang kini menjabat sebagai ketua Southeast Asian Primatological Association.
Menurut Jatna, saat itu tren masyarakat untuk merawat owa jawa sebagai hewan peliharaan telah menurun. Sementara di alam, “Owa jawa masih bisa selamat karena mereka hidup di taman-taman nasional. Taman nasional di Jawa dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan membuat populasi owa jawa menjadi aman. Karena itulah status keterancamannya diturunkan dari Critically Endangered menjadi Endangered.”
Walau demikian, bukanlah berarti hal-hal yang mengancam owa jawa selama ini bisa dilupakan begitu saja. Seiring dengan terus bertambahnya penduduk dengan segala konsekuensinya, kini populasi owa jawa tergantung pada lestarinya hutan. Berdasarkan laporan berjudul Conservation of The Javan Gibbon Hylobates moloch: Population Estimates, Local Extinctions, and Conservation Priorities yang ditulis oleh Vincent Nijman dan dipublikasikan dalam The Raffles Bulletin of Zoology pada 2004, juga seperti yang dikutip oleh IUCN, populasi owa jawa di Pulau Jawa hanya berkisar pada angka 4.000 hingga 4.500 individu.!break!
Kumkum memang berhasil membuat kami—yang belum terbiasa dengan medan TNGHS—kewalahan hari itu. Ia dengan gesit bergerak dari satu dahan ke dahan lainnya seolah tak memberi tim peneliti kesempatan untuk menghela napas. Kegiatan Kumkum dan kedua induknya yang diberi nama Bang Kumis dan Kathy ini dicatat oleh tim dengan rentang waktu setiap 15 menit sekali, sebagai bagian dari penelitian Soojung mengenai perilaku owa jawa yang dilakukan sejak 2009.
Mentari sudah condong ke ufuk barat. Suara tonggeret terdengar di mana-mana. Soojung yang sudah fasih berbahasa Indonesia mengatakan kepada saya, bahwa inilah yang menjadi penanda bagi owa jawa untuk tidur. Benar saja, tak lama kemudian saat jarum jam sudah menunjukkan angka 17.30, Bang Kumis bergelayut ke pohon pasang. Sementara itu, Kumkum dan induknya masih tampak santai di ujung-ujung dahan, mengunyah buah ara. Sepuluh menit kemudian, kedua owa jawa itu berhenti makan dan mendekati pohon rasamala. Keduanya pun memilih dahan landai yang besar dan terlihat kokoh untuk beristirahat.
Saat hutan sudah mulai berisik oleh suara-suara satwa malam, di pohon tidur itu, sang induk menyelisik Kumkum sebelum terlelap. Kadang kala tangan si mungil menjulur keluar. Entah apa yang diraihnya. Kami semua duduk di lantai hutan. Menikmati udara malam yang semakin dingin. Saya sesekali menggigil di balik balutan baju yang basah. Langit semakin kelam. Perlahan, Soojung mendendangkan lagu Ja Jang Ga, sebuah lagu nina bobo versi Korea. Sebelum matahari benar-benar menghilang di balik perbukitan, saya sempat melihat dari teropong. Kumkum yang sering jatuh saat meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya—bahkan menurut Aris Kurniawan salah seorang asisten Soojung, Kumkum pernah jatuh dari ketinggian 10 meter dan langsung melesat lagi ke atas pohon—kini tertidur nyaman di pelukan induknya.
Keesokan paginya, lewat pukul enam, kami kembali mengikuti Soojung memasuki hutan. Jam tujuh tepat kami sampai di punggungan, lantas menelusuri jalan setapak selebar sekitar serentangan tangan yang berwarna warni dipenuhi oleh batuan serta guguran dedaunan. Kadang wanita ini menghentikan langkahnya sejenak untuk memandangi pohon-pohon di sekelilingnya, berharap menemukan kelompok owa jawa yang mungkin saja sedang bersantai di ujung-ujung dahan sambil melahap buah atau menyelisik. !break!
Hari ini kami terlepas dari Kumkum, dan mengikuti kelompok A yang terdiri dari lima individu. Para peneliti memberi mereka nama Aris untuk sang pejantan—karena Aris Kurniawan-lah yang pertama kali menemukan kelompok ini—Ayu untuk sang betina yang menggendong seekor anak yang lahir tepat pada awal tahun ini, dan dua anak betina mereka yang lain: Asri yang diperkirakan berumur tujuh atau delapan tahun, serta Amran yang berumur sekitar empat setengah tahun. “Sejak beberapa hari lalu Asri tidak bergabung dengan kelompok ini,” Ujar Aris kemarin sore saat saya bertanya mengenai kelompok A. Hal ini bisa jadi terkait dengan usia Asri yang diperkirakan sudah cukup untuk keluar dari kelompoknya dan sudah saatnya mencari pasangan.
Soojung melirik arlojinya. Pukul 07.15. Kami berhenti cukup lama. Soojung pun mengamati keadaan sekitar. Kadang ia menggunakan teropong untuk memantau ujung dahan. Namun, kami hanya mendapati bajing dan burung-burung yang kadang meloncat dari satu dahan ke dahan di sebelahnya.
Setengah jam kemudian, peneliti yang pergerakannya amat gesit kembali berhenti. Sesekali ia menembus semak dan meloncati batang pohon tumbang sembari mengamati satu titik di atas sana. Kadang ia memicingkan mata dan menggunakan teropongnya. Namun lagi-lagi ia kecewa. “Bajing,” ujarnya sambil meneruskan langkah.
Pukul delapan, kami masih menelusuri punggungan hingga melewati penanda loop trail, jalur wisata alam TNGHS, yang menunjukkan angka HM9. Sepuluh menit kemudian tiba-tiba alat komunikasi Soojung berbunyi: “Owa ada di HM enam dan tujuh!” seru Aris. Tidak lama kemudian terdengar suara owa di kejauhan. Soojung pun segera melesat bagai anak panah, meninggalkan kami jauh di depan sambil mengeluarkan alat perekamnya. Vokalisasi owa terdengar di kiri dan kanan kami, bersahut-sahutan satu sama lain. Ayu sedang memanggil pejantan dan anak-anaknya yang terpisah sejak pagi hari, termasuk Asri. Kami pun kembali naik turun lembah mengikuti ke mana pun mereka pergi.
Setelah menuruni lembah yang cukup curam dengan bantuan tali, kami tiba di sebuah tempat yang dipenuhi gemericik sungai dengan vegetasi yang cukup rapat, tepat di tepian jalur wisata alam. Tak berapa lama kemudian kami berpencar. Para asisten Soojung kembali naik ke arah punggungan mengekori pergerakan Aris dan kelompoknya, sementara saya mengikuti Soojung masuk lebih jauh ke dalam lembah. Setelah berbelok menjauhi sungai hingga suara gemericik menjadi samar, Soojung menoleh dan berkata, “Kita tidak boleh terlihat oleh owa, karena takut nanti mereka terbiasa melihat orang setelah playback.” !break!
Ia mengajak saya masuk ke bawah naungan dedaunan yang rendah dan rimbun. Saya pun duduk di tanah yang lembap, memerhatikan peneliti yang terbalut baju lapangan berwarna merah dengan rambut yang selalu terkuncir ini sibuk mengeluarkan peralatan: sebuah tas berisi alat pemutar compact disc serta sebuah pengeras suara yang tinggi dan lebarnya berukuran sekitar sejengkalan tangan dan terbungkus tas kain hitam. Setelah mencolokkan beberapa untai kabel untuk menghubungkan kedua alat tersebut, ia berbicara menggunakan perangkat komunikasi kepada asistennya yang berjumlah tiga orang: “Saya mau putar suara dari Ragunan.”
Ia pun memencet sebuah tombol. Dalam sekejap, suara owa jawa betina segera berkumandang di hutan: nyanyiannya terkadang memiliki tempo yang cepat dan terkadang lambat meliuk-liuk. Sambil mendekap pengeras suara, dari sela-sela dedaun mata Soojung yang tajam dengan jeli mengawasi pepohonan di depannya. Sesekali ia melirik ke arah jam digital yang melingkar di pergelangan tangannya. Suara rekaman itu diputar berulang-ulang dalam jangka waktu kurang lebih 15 menit.
Setelah alat dimatikan, keheningan melanda hutan selama beberapa saat. Namun tiba-tiba suara owa jawa terdengar kembali di kejauhan. Kali ini bukan suara rekaman. Secepat kilat, Soojung pun menyibak dedaunan dan melompat keluar dari persembunyian kami. Ia lari ke area yang lebih terbuka sembari mengeluarkan alat perekam serta sebuah mikrofon yang kemudian ia acungkan tinggi-tinggi ke atas.
Alih-alih mendekat ke arah sumber suara rekaman seperti yang diharapkan sebelumnya, kelompok owa jawa yang ia “pancing” ini berhenti dan mengeluarkan suara. “Uuua uuua uuuaa uuua,” dalam tempo yang cepat dan lambat, dan juga meliuk-liuk. Apa arti vokalisasi mereka? “Bisa jadi memberitahu kepada kelompok lawan yang mereka dengar barusan, bahwa ini adalah wilayah mereka,” ujarnya. !break!
Soojung menjelaskan, jika rekaman vokalisasi owa jawa betina yang diputar, biasanya owa jawa betinalah yang akan memberikan respons pertama kali, pertanda mereka berusaha mempertahankan wilayah, makanan, serta anak-anak mereka. Jika rekaman suara owa jantan yang diperdengarkan, maka yang melakukan respons terlebih dahulu bisasanya adalah owa jantan yang bervokalisasi untuk memperingatkan agar tidak ada pejantan lain yang berani masuk wilayahnya dan mengambil betina miliknya.
Hari ini, walaupun suara rekaman betina yang diputar, pejantanlah yang pertama kali bereaksi. Mengapa demikian? Hal ini pun masih menjadi misteri bagi Soojung. Jika biasanya kelompok owa mendekati sumber suara yang berjarak sekitar 100 meter hanya dalam waktu sekitar dua menit karena menyangka bahwa mereka akan berhadapan dengan kelompok owa jawa lain yang memasuki wilayah mereka, kali ini mereka berdiam diri dan bervokalisasi, menunjukkan keberadaan mereka di tempat itu. Sebuah pertanyaan lain bagi peneliti berperawakan kecil ini.
Hal-hal seperti inilah yang ia geluti selama dua tahun terakhir untuk mempelajari perilaku owa jawa serta reaksi mereka terhadap vokalisasi yang dilakukan oleh kelompok lawan. Rekaman suara yang diputar tidak pernah sama untuk menghindari pengulangan. Rekaman itu ia dapatkan setiap bulan dari berbagai tempat, seperti di Javan Gibbon Center Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kebun Binatang Ragunan, juga di habitat alami owa jawa.
Dalam satu tahun, target Soojung untuk penelitiannya ialah memutar rekaman berbagai jenis vokalisasi owa jawa sebanyak 50 kali. Namun, tahun lalu ia hanya berhasil memutar 15 rekaman karena cuaca yang tidak memungkinkan. !break!
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thomas Geissmann serta Vincent Nijman, ahli primata asal Swiss dan Belanda, vokalisasi owa memiliki beberapa fungsi: yang pertama adalah sebagai penanda wilayah antarkelompok. Selanjutnya ialah untuk mempertahankan wilayah, sumber makanan, juga pasangan. Selain itu juga sebagai penarik calon pasangan dan memperkuat ikatan dalam pasangan.
Tidak seperti jenis owa lainnya, owa jawa tidak mengenal duet jantan betina dalam bervokalisasi. Ada dua vokalisasi utama pada kelompok owa jawa, yaitu female song bout serta male song bout atau nyanyain jantan dan nyanyian betina.
Vokalisasi betina ditandai dengan suara yang teratur dan berakselarasi hingga mencapai klimaks kemudian menjadi pelan kembali sesudahnya. Kadang kala, anak baik jantan maupun betina bisa saja berduet dengan sang induk dalam vokalisasi ini. Namun, jantan dewasa tak pernah bergabung dalam nyanyian. Betina dewasa dalam kelompok yang berbeda akan saling menunggu saat bervokalisasi. Mereka tidak pernah melakukannya secara bersamaan. Uniknya, Geissman serta Nijman mencatat, bahwa owa jawa jantan justru menghentikan vokalisasinya jika owa jawa betina akan memulai nyanyiannya.
Vokalisasi jantan biasanya dimulai dengan suara yang lembut dengan nada yang pendek yang bisa jadi juga dikeluarkan saat ia melihat kelompok lain. Dari pengamatan para peneliti, vokalisasi owa jawa jantan biasanya mulai dilakukan pada dini hari, sekitar pukul empat, sementara vokalisasi owa jawa betina lebih sering terdengar pada pukul lima hingga pukul enam pagi. Ada jenis suara lain lagi yang teridentifikasi, seperti scream bouts, atau teriakan yang dilakukan oleh semua individu saat terjadi konflik perbatasan antarkelompok. !break!
Selama satu jam setelah pemutaran rekaman, Soojung dan timnya seakan tidak bisa diganggu. Dalam buku yang dipegang Aris, sederet angka terlihat memenuhi halaman, mengindikasikan rentang waktu. Perilaku kelompok owa jawa tersebut harus tercatat setiap menit. Di lantai hutan, suara tim peneliti bersahutan satu sama lain, menginformasikan apa yang dilakukan oleh tiap-tiap owa. Semua kegiatan owa jawa yang tertangkap mata dicatat, lengkap dengan titik koordinat. Dua kelompok owa jawa yang menjadi objek penelitian Soojung hidup di area seluas 32 hektare. Untuk mempermudah penelitian, lantai hutan telah dibagi dalam jaring-jaring kotak yang terbagi oleh jalan setapak. Jarak antara sebuah jalan setapak yang satu dengan jalan setapak berikutnya adalah 100 atau 200 meter. Seutas pita merah jambu berwarna terang kadang tampak di pepohonan, memberikan informasi koordinat serta kadang pohon pakan owa.
Jalur-jalur ini dirintis oleh Aris, saat pertama kali Kim Sanha, peneliti yang juga berasal dari Korea meneliti soal pakan, pola, serta rentang jelajah owa jawa di tempat ini. Saat itu pulalah habituasi owa mulai dilakukan, agar owa-owa tersebut dapat dipelajari dari dekat. Hal ini dilakukan pada tahun 2007. Aris mengenang, saat itu ia harus menerabas rapatnya vegetasi hutan sambil naik turun punggungan untuk mengikuti ke mana owa jawa pergi.
“Habituasi berarti membiasakan sesuatu yang baru dan belum dikenal secara kontinyu, agar lama kelamaan semakin terbiasa,” ujar Entang Iskandar, ahli primata dari Pusat Studi Satwa Primata IPB. Menurut Entang, dengan demikian satwa tidak akan merasa terancam oleh manusia dan mereka akan bertingkah laku normal. Mereka akan menganggap peneliti sebagai bagian dari alam, dan peneliti pun punya peluang untuk mempelajari mereka. “Sangatlah sulit untuk mempelajari tingkah laku jika mereka tidak terhabituasi,” lanjut Entang.!break!
Sekitar 190 kilometer dari TNGHS, tepatnya di Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut Selatan, senja baru saja tiba saat gemuruh hujan yang menghunjam kanopi hutan terdengar samar dan kian lama kian mendekat. Tetes air pun mulai turun, membasahi tepian sungai berbatu yang ditaburi guguran bunga-bunga berwarna ungu. Bulatan-bulatan air terbentuk di permukaan muara sungai, menghilang dalam sekejap, digantikan oleh bulatan berikutnya. Kegelapan pun menyergap dengan cepat.
Beberapa jam kemudian, saat hujan mulai mereda, lima sosok manusia dengan obor di tangan masing-masing mendekati sungai. Di tangan yang lain mereka membawa ayam, tikar, serta beberapa bungkusan plastik hitam. Mereka hendak menaiki rakit yang akan mengantarkan mereka menuju ke tempat ziarah di seberang sungai.
Inilah salah satu bagian dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 370/KPTS/UM/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 yang sejatinya tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Suatu kawasan yang menyimpan kisah sedih owa jawa.
Melissa Reisland, seorang peneliti asal University of Wisconsin, Madison, duduk menghadap ke lembah, di tempat yang ia sebut sebagai cliff. Di lehernya tergantung sebuah teropong. Tangannya memegang buku kecil serta alat tulis. Tubuhnya yang semampai selalu terbalut kaus lengan pendek berwarna cerah.
Peneliti yang mendalami bidang antropologi biologis ini mempelajari bidang studi primata dan antropologi agar dapat memahami perilaku manusia berdasarkan perilaku primata karena adanya hubungan evolusi antara keduanya. Ia meneliti reaksi owa jawa terhadap manusia yang melakukan berbagai jenis aktivitas di dekat primata ini.!break!
Pagi ini matahari bersinar cukup terik. Kami menghabiskan waktu setengah hari menantikan kehadiran owa di depan mata kami. Namun, yang dinanti tak jua muncul. Berbeda dengan di TNGHS, Owa di kawasan Leuweung Sancang tidak terhabituasi. Mereka cenderung menjauhi manusia yang sering lalu-lalang di sepanjang tangga semen yang mengantarkan para peziarah ke tempat tujuan mereka di tepi sungai.
Tiba-tiba Wawan Tarniwan, salah seorang asisten Melissa, mengirimkan pesan singkat mengabarkan bahwa seekor owa jawa sedang berada di bagian hilir sungai. Kami pun segera menuju tepian sungai dan menyeberanginya dengan rakit, kemudian mengendap-endap, berusaha untuk tidak membuat gerakan tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian, di seberang sungai sekitar 40 meter di atas sebuah pohon yang menjulang, seekor owa jawa jantan yang diberi nama Tono oleh tim peneliti muncul di sana. Ia bergelayut dari satu dahan ke dahan lainnya. Selanjutnya Tono makan, terdiam untuk beberapa saat, kemudian kembali menghilang di balik lebatnya dedaunan. Tono punya pasangan bernama Tini yang saat itu tak tampak. Menurut para peneliti, Tini yang lebih takut dengan manusia biasanya memilih pohon yang lebih tinggi. Apalagi saat Tini masih memiliki anak.
Suatu hari di bulan November tahun lalu, tiba-tiba para peneliti tidak lagi menemukan anak Tini di pelukannya. Dan beberapa hari kemudian salah satu asisten peneliti menemukan sepotong tangan dengan rambut keabuan yang sudah berbau tidak sedap, terkubur di dalam tanah. Entah apa yang terjadi dengan makhluk malang itu.
Owa jawa bisa saja terjatuh dari pelukan sang induk atau saat meraih ranting. “Di hutan yang baik, dia memiliki jalannya sendiri. Kalau dua pohon ditebang, pergerakannya harus berubah. Pertanyaannya adalah ke mana? Jangan-jangan harus ke kanan dan itu belum dikenal. Jadi sering kali saat bergelayut, rantingnya patah ke bawah dan ia pun jatuh,” ungkap Jatna.!break!
Masa kerusuhan setelah era kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 memiliki dampak yang besar tidak saja bagi manusia, tapi juga bagi kehidupan liar di hutan. Dari penelitiannya, Jatna mencatat bahwa pada 1998 hingga 2000 ada banyak perambahan di hutan-hutan Indonesia, termasuk cagar alam. “Pembabatan dilakukan besar-besaran, dan lahan berubah menjadi perkebunan,” kenang Ade Mustofa, seorang penduduk di desa Leuweung Sancang yang ikut menjaga cagar alam tersebut.
Hal ini tidak hanya terjadi di hutan Leuweung Sancang. “Cagar Alam Gunung Tilu dan Cagar Alam Kawah Kamojang rusak karena waktu itu dijarah habis-habisan, dijadikan perkebunan,” Jatna menjelaskan. Hal yang kompleks pun terjadi dalam habitat owa jawa. Hewan-hewan ini mulai terdesak.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan secara kasar dari data Google Earth tahun 2008, Sancang sendiri yang sebelumnya dideklarasikan memiliki luas lahan 2.157 hektare dalam ketetapan yang dibuat pada 1978, pada 2008 luas hutannya hanya sekitar 1.180 hektare.
Sementara itu, pada sore keempat yang kami habiskan di Leuweung Sancang, para asisten peneliti menemukan dua gelondong kayu yang digeletakkan di seberang sungai. Dengan rakit, mereka pun membawa kayu-kayu hasil tebangan liar itu menyeberangi sungai, mendekati saung tempat kami bermalam. Saat malam telah larut, dari dalam saung kami melihat dua cahaya senter yang sibuk mencari-cari keberadaan kayu tersebut di seberang sana.!break!
“Leuweung Sancang memiliki istilah crowding effect dalam konservasi,” papar Jatna. “Tidak ada lahan lain, maka semua satwa tertumpuk di situ. Owa jawa yang seharusnya memiliki teritori yang besar, akhirnya mengecil. Jika kualitasnya bertambah buruk, owa jawanya akan mati karena dengan rusaknya hutan, tidak akan banyak buah yang tersedia,” jelasnya.
Tak hanya Tini yang kehilangan anaknya tahun lalu. Melissa masih ingat. Saat ia datang ke Indonesia untuk melakukan survei selama dua minggu pada 2007 lalu, ada lima owa jawa yang menghuni bagian selatan kawasan, yang berbatasan dengan laut. Dua tahun kemudian, saat ia melakukan penelitian dari Januari hingga April, hanya satu owa yang ia beri nama Amelia yang tersisa di kawasan tersebut. Entah apa yang terjadi dengan empat owa jawa lainnya. Tidak ada seorang pun yang tahu. Kini Amelia semakin terdesak. Tini kerap memojokkannya saat bertemu. Amelia tidak lagi memiliki akses di hutan untuk bertemu dengan owa jawa jantan yang masih bujang.
Pagi terakhir yang kami habiskan di Leuweung Sancang bisa jadi merupakan pagi terindah bagi saya. Mulai pukul empat dini hari, saya dibangunkan oleh nyanyian tiga kelompok owa yang memenuhi lembah. Para betina di masing-masing kelompok saling bersahutan menampilkan nyanyian mereka: bisa jadi itu suara Tini, Amelia, serta Jane, yang kelompoknya ada di seberang sungai. Suara mereka terdengar sangat merdu, mendayu-dayu di tengah keremangan pagi selama satu jam lamanya. Di tengah pertunjukan alam itu, tiba-tiba saya teringat akan perkataan Melissa: “Saya khawatir, dalam lima atau sepuluh tahun lagi bisa jadi Amelia sudah tidak lagi bisa bertahan di sana.”