Taman Super Afrika

By , Senin, 4 Juli 2011 | 13:00 WIB

Saat fajar menyingsing, tiga minggu sebelum titik balik musim dingin, sulur-sulur kabut terakhir mengelabu di langit merah jambu yang menaungi bukit pasir di pinggir timur Gurun Pasir Namib. Seekor jakal berjalan ke arah barat, menghampiri sebatang pohon akasia. Seekor oryx, antelop besar, dengan sigap mendatangi kubangan air di dekat perkemahan. Seekor kumbang tenebrionid menyelusupkan tubuh hitam mengilapnya ke pasir merah, meninggalkan jejak kumbang sem¬purna. Di samping saya adalah Rudolph !Naibab*, pemandu safari yang tumbuh dengan menggembalakan domba, kambing, dan keledai di peternakan neneknya, di tanah yang ganas di wilayah Kunene, sekitar 500 kilometer sebelah utara tempat kami berada, yaitu Cagar Alam NamibRand.

!Naibab berumur 30 tahun, tetapi dibesar¬kan di gurun pasir menyebabkannya memiliki kecerdasan orang yang jauh lebih tua. “Tem¬pat ini membuat Anda memikirkan tentang ke¬hidupan dan kematian setiap hari,” kata¬nya. “Dan perang. Saya tumbuh di tengah peperangan. Itu juga mengakibatkan Anda menjadi bijaksana terlalu dini.”Perang saudara Namibia pecah pada 1966 dan berlangsung selama 22 tahun. Pada 1990, setelah akhirnya memperoleh kemerdekaannya dari Afrika Selatan, Namibia menjadi salah satu negara pertama di dunia yang mencantumkan pasal tentang perlindungan lingkungan hidup dalam konstitusinya. Seolah-olah penduduk Na¬mi¬bia menyadari bahwa setelah berjuang me¬rebut tanah yang mereka injak, mereka kini harus bertanggung jawab menjaganya.

“Menurut saya, ada banyak alasan mengapa pergerakan lingkungan hidup lahir bersama dengan kemerdekaan,” kata !Naibab. “Selama perang, pada pertengahan 1980-an, terjadi kekeringan, dan para petani putus asa. Domba-domba mereka mati, sehingga mereka mulai ber-buru. Mudah bagi penduduk Namibia untuk melihat betapa dekatnya kami dengan kematian kecuali kami melindungi dan menghormati sum¬ber-sumber daya yang kami miliki.”

Hingga sekitar 20 tahun silam, seluruh lahan ini, juga lahan tetangga dan lahan-lahan di se¬kelilingnya, dipagari dan dipenuhi domba. Saya mencoba membayangkan para peternak domba dengan punggung menghadap angin, terkubur pasir merah, menantikan datangnya hujan. “Ya, saya yakin para peternak domba itu memiliki perasaan campur aduk tentang tempat ini,” !Naibab sependapat. “Di satu sisi, tidak ada air. Di sisi lainnya, bagaimana mungkin Anda tidak terpesona pada tempat ini? Bagaimana mungkin Anda tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaganya?”!break!

Saya mendatangi Namibia karena pada akhir 2008, pemerintahnya menetapkan 2,2 juta hektare wilayah pesisir barat dayanya sebagai Taman Nasional Sperrgebiet. Dengan ini, para pejabat bisa mengatakan bahwa hampir setengah bagian dari seluruh daratan di negara itu adalah taman nasional, wilayah konservasi komunal, dan cagar alam pribadi. Dengan dibentuknya Taman Nasional Dorob pada Desember 2010, wilayah pesisir dari Sungai Kunene di perbatasan Angola hingga Sungai Orange di perbatasan Afrika Selatan menjadi dinding wilayah konservasi yang nyaris tanpa celah. Semua kepingan akhirnya berada di tempatnya untuk membentuk Taman Nasional Namib-Skeleton Coast—sebuah taman raksasa di wilayah pesisir. Namibia bagaikan kisah langka penuh harapan muluk tentang demokrasi Afrika berusia muda yang bertekad menjadi contoh terdepan dalam pengelolaan lahan.

Optimisme ini tampaknya mendapatkan alasan yang kuat pada hari kedua saya di negara itu, ketika saya tiba di Alam Liar Kulala (Kulala Wilderness), yang memiliki luas 37.000 hektare dan berdekatan dengan Cagar Alam NamibRand. Hari itu adalah jadwal pelepasan dua ekor cheetah dari salah seorang konservasionis paling ternama di Namibia, Marlice van Vuuren. Marlice yang dibesarkan di tengah suku Bushmen di wilayah Omaheke, Namibia, adalah salah seorang dari beberapa non-Bushmen yang menguasai bahasa mereka. Kini, pada usia awal 30-an, dia mengelola N/a’an Ku Sê, sebuah pusat perlindungan satwa yang berada 40 kilometer di sebelah timur Windhoek. Di sana, dengan bantuan para pelacak jejak dari suku Bushmen, dia merehabilitasi binatang-binatang liar yang kehilangan induk dan terluka, merelokasi mereka dari area yang rawan konflik ke area tempat wisatawan bersedia membayar mahal untuk melihat mereka.

Perbaikan dan pemulihan alam tidaklah mudah atau tanpa biaya. “Dibutuhkan banyak perencanaan dan upaya untuk mengembalikan keseimbangan di dalam suatu habitat sampai titik Anda bisa mendatangkan cheetah kembali,” kata Marlice. “Semuanya harus tepat. Apakah ada cukup mangsa? Apakah ada cukup air? Apakah ini bisa berkelanjutan? Jika jawaban untuk semua pertanyaan tersebut adalah ya, maka setengah perjuangan telah terlewati. Kemudian, kami harus menunggu dan melihat apakah cheetah menyukai tempat baru mereka.” Kedua cheetah itu menggeram dan menolak untuk keluar dari karavan mereka. Kami pun mundur dan menunggu. Semak-semak di tengah hamparan kerikil bergerak dan menampakkan wujudnya sebagai burung unta. Kami menunggu lebih lama. Angin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berembus kencang ke arah kami.

Penduduk yang tinggal di daerah Gurun Pasir Namib dan sekitarnya mengenali dua macam angin: angin timur bertiup dari Kalahari dan semakin kuat setelah meluncur dari ketinggian, sehingga tiba di gurun dengan kecepatan 100 kilometer per jam dan meningkatkan suhu hingga 40 derajat Celsius atau lebih. Dan angin barat daya penunjang kehidupan dari Samudra Atlantik yang dingin, yang meniupkan kabut ke daratan hingga 64 kilometer jauhnya, memberikan hampir seluruh kelembapan yang dibutuhkan untuk menunjang pergeseran bentuk alam liar di sini. Keberadaan kabut menyulitkan kehidupan ular dan kadal, juga kumbang dan laba-laba, namun juga menjadikan pola hidup di sana sangat istimewa karena hanya spesies-spesies tertentu yang mampu bertahan.!break!

Kehidupan di sana juga begitu rapuh sehingga beberapa penduduk Namibia yang saya ajak bicara khawatir bahwa sedikit saja perubahan iklim akan memorakporandakan seluruh sistem yang rentan. “Sulit untuk tidak membayangkan bahwa peningkatan kehangatan beberapa derajat akan mendatangkan bencana. Iklim dan ekosistem di sini sudah terlalu ekstrem,” kata Conrad Brain, seorang dokter hewan yang datang untuk mengawasi pelepasan cheetah. Brain, yang juga pilot, kerap terbang melintasi pesisir Namibia dan secara sambil lalu memerhatikan tren perubahan iklim. “Kami pernah melihat kawanan ubur-ubur, hiu, dan penyu belimbing berenang terlalu jauh ke selatan—bagi saya, itu semua mengindikasikan bahwa air laut semakin hangat,” katanya. “Wajar jika saya merasa agak waspada. Karena itulah hal ini—melepaskan cheetah-cheetah ini—memberi Anda harapan dan kemungkinan.” Kami berhenti bercakap-cakap dan kembali meng-hampiri karavan. Cheetah-cheetah itu tiba-tiba keluar dari karavan. Pertama-tama, cheetah betina menapak ke tanah. Kemudian, cheetah jantan me-nyusulnya. Dalam hitungan detik, mereka telah lenyap dari pandangan kami, walaupun kami tidak lenyap dari pandangan mereka.

Keberhasilan relokasi kedua cheetah ini merepresentasikan sebuah tren di Namibia. Angka kehidupan liar bertambah, terutama di lokasi-lokasi konservasi dan pusat perlindungan satwa milik pribadi di luar lingkup taman nasional. Pada 1980-an hanya terdapat paling banyak 10.000 ekor springbok (Antidorcas marsupialis) di utara; saat ini angka tersebut bertambah menjadi sekitar 160.000. Pada 1990, badak hitam Namibia berada di ambang kepunahan; kini, terdapat lebih dari 1.400 ekor. Dua puluh tahun silam, sekitar 800 ekor cheetah ditembak oleh peternak setiap tahun; sekarang, sekitar 150 ekor dibunuh oleh peternak, dan pemburu hanya diizinkan menembak 150 ekor.

Untuk mencapai Sperrgebiet, saya terbang melintasi hampir seluruh garis terlebar Gurun Namib (dari Cagar Alam NamibRand menuju Teluk Walvis), kemudian sebagian panjangnya (dari Teluk Walvis menuju Lüderitz). Perjalanan menuju dan melintasi taman setidaknya sama mengejutkannya dengan kontradiksi yang ditampilkan oleh kecantikan yang dibentuk oleh angin tempat terpencil. Kendati pemandangan yang terpampang sebagian besar berupa topografi murni—bukit-bukit pasir dan kilau kuarsa di Gunung Witberg—goresan aktivitas manusia dari abad silam masih nyata terlihat: tambang-tambang intan yang terbengkalai masih berdiri menantang angin, matahari, dan pasir.

Dunia Barat kerap mengabaikan Namibia dan kondisi kekeringannya. Tetapi itu tidak membebaskan Namibia dari eksploitasi besar-besaran yang terjadi di seluruh Afrika. Pulau-pulaunya (yang kini ditetapkan menjadi pusat perlindungan laut sebagai bagian dari perlindungan menyeluruh terhadap kawasan pesisir) disisir untuk mencari guano—kotoran burung—yang kaya akan nitrogen, yang digunakan dalam pembuatan bubuk mesiu dan pupuk, sementara perairan Atlantiknya yang kaya akan nutrisi disisir untuk mencari paus. Pada awal 1900-an, deposit-deposit guano sedalam enam meter dikeruk habis, dan paus balin diburu hingga nyaris punah. Pada 1908, untuk pertama kalinya intan ditemukan di selatan. Dalam hitungan bulan, pemerintah Jerman, yang menyatakan Afrika Barat Daya—kini Namibia—sebagai protektoratnya, menetapkan wilayah 22.000 kilometer persegi di sekeliling penemuan itu sebagai Sperrgebiet (“daerah terlarang”), yang hanya boleh dimasuki oleh perusahaan pertambangan intan dan para pekerjanya. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja akibat perang besar antara kolonis Jerman melawan suku-suku di selatan, buruh didatangkan dari suku-suku jauh di utara yang tidak terlibat dalam perang. Hingga kini, gundukan-gundukan yang menyerupai kuburan anak-anak bisa dilihat di seluruh Sperrgebiet, menjadi monumen peringatan atas kerja keras para buruh yang mengais-ngais padang pasir, mengayak kerikil, dan memunguti intan.!break!

Penambangan intan masih berlanjut di sepanjang pantai di bagian selatan taman yang baru, dan dari udara, lokasi-lokasi penggalian terlihat menyerupai parit-parit besar. Walaupun area-area pertambangan ditutup untuk pengunjung yang tidak memiliki izin, kekhawatiran akan penambangan ilegal dan pencurian menyebabkan seluruh Sperrgebiet masih memiliki kesan terlarang. Hanya beberapa wisatawan diperbolehkan memasuki taman dalam satu waktu, bersama pemandu yang sudah memiliki izin, dan terdapat kamera-kamera di pinggir jalan untuk memonitor lalu lintas pengunjung yang memasuki dan meninggalkan taman. Atmosfer paranoia yang kental itu barangkali bisa diilustrasikan dengan baik oleh sejumlah kendaraan dan peralatan berkarat dan terbakar matahari, yang ditinggalkan begitu saja di dalam taman setelah kehilangan fungsi—upaya untuk mencegah para pekerja tambang menyembunyikan intan di dalamnya dan mengambilnya lagi di tempat penampungan barang rongsokan.

Saat ini, Namibia menjadi eksportir mineral non-bahan bakar keempat terbesar di Afrika dan produsen uranium keempat terbesar di dunia. Kekayaan akan mineral tersebut sama sekali tidak mengucur ke masyarakat. Penggalian mineral juga tidak hanya dilakukan di lahan milik pribadi, tetapi juga di dalam dan sekitar area yang telah ditetapkan sebagai taman nasional. Ironisnya, untuk mengekstraksi uraniumnya yang melimpah, Namibia harus menghambur-hamburkan sumber dayanya yang sangat langka: air. Sebuah tambang memerlukan 106 juta kubik air setahun. Namun, sebuah pusat desalinasi air laut berskala besar tengah dibangun di pesisir dekat Swakopmund.“Bangsa kami sedang berkembang,” jelas Midori Paxton, yang ketika itu bekerja untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Pariwisata di Windhoek. “Tidak realistis jika kami melarang penambangan di area-area yang dilindungi, namun kami bekerja keras untuk meminimalkan dampak penambangan di area-area yang dilindungi, namun kami bekerja keras untuk meminimalkan dampak penambangan."