Membekukan Masa Kini

By , Kamis, 7 Juli 2011 | 15:59 WIB

Sebuah kendaraan berbak terbuka terguncang-guncang menyusuri tanah bergelombang yang diapit persawahan. Rangkaian bukit di kejauhan berjejer memagari bentang alam Sumedang yang disaput kabut. Sesaat,  jalan sempit itu mengantar mobil membelah kampung tempat para penghuninya menghabiskan waktu dalam dekap kehangatan senja. Anak-anak bersorak menyepak bola, remaja bercanda di beranda, dan orang tua duduk santai di balai-balai. Suatu saat nanti, semua ini akan terbalut sepi, tenggelam dalam genangan air saat Waduk Jatigede terealisasi.

Mobil terus melaju menuju ke sebuah dusun Ciwangi, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Perjalanan berujung di pelataran yang kira-kira cukup untuk menampung tiga buah kendaraan roda empat. Di hadapannya, terdapat makam yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Setelah mesin mobil dimatikan, dua dari empat orang yang sejak tadi berada di bak belakang meloncat keluar dengan gesit. Dua orang lagi membuka sebuah peti besar yang tergeletak di dalam bak.

Di dalamnya terdapat sebuah alat yang ukurannya sedikit lebih kecil dari pengeras suara portabel. Brahmantara, ketua tim pemindai dari Instansi Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Jawa Tengah, mengeluarkan dan memanggul alat berbobot sekitar 16 kilogram itu sambil berlari kecil menuju makam. Inilah alat yang nilainya tak terperi, khususnya bagi ahli bidang konservasi: pemindai laser tiga dimensi portabel.

Dengan berhati-hati, Bram, begitu panggilannya, menempatkan pemindai di sebuah sudut, di atas tripod besar. Makam ini berukuran sekitar lima kali lima meter, berupa gundukan tanah berselimut rumput hijau cerah yang dikelilingi ratusan bongkahan batu sebesar dua kepalan tangan.  Rekan-rekan Bram berpencar, meletakkan titik-titik target di sekeliling pagar makam—sebuah lempeng logam khusus berbentuk persegi empat berwarna biru dengan bulatan putih di tengahnya—yang nantinya digunakan sebagai titik patokan untuk menggabungkan hasil pemindaian dari sudut yang berbeda-beda untuk mendapatkan semua data sisi makam.!break!

Di bawah atap saung tepat di depan situs, saya pun duduk di sisi pria bertubuh gempal yang kini mengoperasikan sebuah program peranti lunak Cyclone 5.5 yang ada di dalam komputer jinjingnya, untuk mengolah data. Penduduk dusun mulai berdatangan mengelilingi kami. Dari jauh, alat pemindai mulai beraksi, bergerak terpatah-patah searah jarum jam dalam rentang 360 derajat. Citra yang direkam dalam bentuk foto mulai bermunculan di layar komputer. Tahap selanjutnya adalah pemilihan area pemindaian berdasarkan rangkaian foto yang telah didapatkan. Dari sinilah alat ini mulai unjuk kebolehan dengan menyapu area yang ditentukan menggunakan sinar laser berona hijau untuk merekam seluruh permukaan.

Diiringi dengung lembut alat pemindai, denyut laser mulai bergerak naik turun dengan kerapatan dua milimeter antarpias, menyapu permukaan makam dari kiri ke kanan. Di bawah bayang-bayang pohon, sinarnya kadang jelas terlihat. Sementara itu di layar komputer, citra permukaan mulai diwujudkan oleh data dalam ribuan point clouds atau titik-titik awan.

Ingatan saya kembali ke akhir tahun lalu, saat mengunjungi ruang kerja Bram di Yogyakarta. Ia menunjukkan hasil pemindaian yang dilakukan sejak Unesco menghibahkan alat ini kepada Balai Konservasi Peninggalan Borobudur tahun 2006. Candi, benteng, rumah ibadah dan situs purbakala lain dapat kami saksikan dari berbagai sudut di layar komputer, mengikuti gerakan mouse sesuai keinginannya. Kini, saya bagai tersihir saat menyaksikan pembentukan citra makam yang terwujud perlahan, bersama beberapa belas pasang mata yang nyaris merobohkan saung reyot itu.

Nunun Nurhayati dari Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional yang berada di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, selama lima tahun terakhir menampung aspirasi masyarakat Sumedang dan membuat program-program khusus untuk memenuhi kebutuhan mereka terkait dengan pembangunan waduk Jatigede.!break!

Peran pemindai laser tiga dimensi ini terasa amat besar bagi Nunun. Apalagi dalam memenuhi keinginan mereka untuk merelokasi situs yang dikeramatkan. Hasil pemindaian akan jadi acuan yang tajam saat situs ini dibongkar dan ditata ulang di lokasi baru. Sebanyak 94 objek dari 42 situs yang kelak terkena dampak pembangunan waduk, baru 7 situs yang dipindai, Awalnya, tak sedikit masyarakat yang tidak paham dan menolak pemindaian. Kini mereka sadar bahwa warisan kebudayaan yang telah lama ada serta terancam oleh rencana pembangunan waduk dapat tersimpan dalam data yang teramat detail.Perjalanan situs-situs di Jatigede bisa jadi masih panjang untuk mencapai sebuah tahap seperti yang telah diraih oleh Jam Gadang yang menjulang dengan megahnya di Sumatra Barat.

Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) berbekal dana dari pemerintah Belanda berkerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Universitas Bung Hatta Padang, pemerintah setempat, serta Balai Konservasi Peninggalan Borobudur melakukan rehabilitasi terkait gempa di Sumatra Barat pada 2006 dan 2007.

Tak seperti bangunan kolonial lain yang umumnya didesain oleh orang Belanda, bangunan Jam Gadang dirancang oleh Yazid Sutan Gigi Ameh. Namun, cetak biru yang dibutuhkan dalam untuk merehabilitasi tak pernah ditemukan. Bahkan di Leiden, Belanda.“Karena kami tidak memiliki data fisik, pemindaian laser pun digunakan dan hasilnya menjadi bagian dari rekomendasi saat rapat teknis digelar untuk mengetahui apakah Jam Gadang memang memiliki masalah setelah gempa,” ujar Hardini, koordinator pelaksanaan rehabilitasi Jam Gadang.

Uniknya, tiap lantai punya derajat dan arah kemiringan yang bervariasi: lantai satu, dua dan empat condong ke kanan, sedangkan lantai tiga miring ke kiri, ungkap Hardini sambil memperlihatkan hasil pemindaian. Kemiringan terbesar terjadi pada tingkat kedua (1o17’10”). Namun bangunan layak digunakan, sejauh kemiringan tak menyentuh angka lima derajat.!break!

Lebih jauh lagi, “Hasil dokumentasi seperti Jam Gadang digunakan pula untuk kebijakan pelestarian,” ungkap Fitra Arda, kepala BP3 Batusangkar. Perubahan fisik ataupun lingkungan bangunan bisa dicatat dari tahun ke tahun untuk menentukan kebijakan yang harus diambil dalam memelihara sebuah bangunan. Bram dan timnya memerlukan waktu dua hari untuk memindai bangunan setinggi 28,295 meter ini. Tak seperti situs makam di Sumedang yang hanya membutuhkan dua titik pemindaian, untuk mendapatkan tingkat akurasi yang tinggi bangunan Jam Gadang dipindai dari berbagai arah: timur laut, barat laut, barat daya, tenggara, serta utara jam.

Bagi tim pemindai, hasil jerih payah mereka akan sangat berarti saat digunakan untuk mengembalikan bangunan ke kondisi yang lebih baik. Hal inilah yang diupayakan oleh para ahli setelah hasilnya digunakan sebagai acuan rehabilitasi. Pengembalian menara jam ini kepada “kondisi terbaiknya” menurut Arya Abieta, penanggung jawab teknis untuk proyek rehabilitasi ini pun segera dilaksanakan. Setelah bangunan dianggap layak, beberapa material bangunan dikirim ke laboratorium di Balai Konservasi Peninggalan Borobudur untuk diurai sehingga komposisi aslinya diketahui. Contohnya plasteran bangunan atau cat yang dulunya bermaterial kalkarium yang diaplikasikan dengan merang. “Kami mengejar point keaslian agar tidak terjadi efek samping,” papar Arya. Percobaan dengan menggunakan berbagai bahan kimia pun dilakukan untuk mendapatkan material semirip mungkin dengan hasil lebih baik. Misalnya materi yang hampir sama dengan kalkarium, namun dengan sifat yang tidak mudah larut saat terkena air. Perburuan kaca dari zaman yang sama pun dilakukan untuk menggantikan kaca-kaca yang telah pecah.

Bagi Bram, peresmian Jam Gadang setelah rehabilitasi selesai dilakukan pada 22 Desember 2010 memberi arti yang sangat besar. Kerja yang ia lakukan selama ini terwujud dalam bentuk nyata. Sejauh pemindaian yang ia lakukan, belum ada yang berakhir seperti ini. Dengan mata berbinar ia berkata kepada saya di ruangan berlatar Candi Borobudur yang berdiri megah di kejauhan, “Saya ingin membuat website khusus gambar tiga dimensi untuk situs-situs yang ada di Indonesia. Di situ kita bisa seolah-olah keluar masuk ke dalam benteng atau candi yang belum pernah kita kunjungi. Dengan begitu, orang akan benar-benar tertarik untuk mengunjungi situs-situs tersebut. Kita punya data dan kita bisa melakukan itu,” tegasnya penuh semangat.