Pegunungan yang Menginspirasi Sang Fotografer

By , Rabu, 28 September 2011 | 12:00 WIB

Pada perjalanan pertamanya ke Sierra Nevada, di bulan Juni 1916, Ansel Adams berpetualang dengan senjata sebuah kamera—Kodak Brownie No. 1—dan mulai melakukan pemotretan. “Rasanya saya akan bangkrut bila meneruskan intensitas pemotretan yang saya lakukan,” tulis fotografer pemula berusia 14 tahun kepada Bibi Mary di San Francisco pada musim panas itu. “Saat ini saya sudah memotret 30 gambar.”!break!

Dia terus memotret selama hampir tujuh de­kade, hingga kematiannya di usia 82 pada 1984. Saat itu, ia telah menjadi fotografer yang masyhur di seluruh dunia dan punya suara yang berpengaruh untuk kehidupan alam liar. Walaupun telah melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang jauh, ia berulang kali kembali ke Sierra untuk petualangan, inspirasi artistik, persahabatan, dan hiburan yang dia temukan di antara puncak granit bergerigi, jalanan berselimut salju, dan langit yang mudah berubah. Penggambaran topik yang ia lakukan tanpa kompromi ini masih menarik peziarah ke alam liar yang bersandang namanya, jauh di jantung High Sierra.

Pada suatu pagi di Agustus yang cerah, se­­ke­lompok pengagum Adams muncul dari sela pepohonan dengan menunggang kuda, menghamburkan awan debu saat me­nyaksikan pemandangan Danau Thousand Island. Pada ketinggian hampir 3.000 meter, pe­mandangan menakjubkan terhampar di ba­wah sinar matahari yang condong. Danau ber­hias batu-batu besar dikelilingi padang rumput pegunungan yang subur, berkilauan di bawah langit biru tanpa cela. Gundukan hi­tam Puncak Banner dan Gunung Ritter me­nyatukan pemandangan itu. Penunggang kuda menambatkan tunggangannya di samping pe­pohonan pinus dan salah satu dari mereka menjelaskan tujuan perjalanan ini. “Kita men­cari lubang tripod Ansel,” kata Michael. Di usia 77 ini, ia adalah internis yang bersemangat dari Fresno, sekarang sudah pensiun. Dia bercanda tentang lubang tripod itu tapi tidak tentang harap­an untuk menemukan tempat yang sama di mana Adams membuat kenangan potret
da­nau dan Puncak Banner yang mengesankan  dan mengejutkan dirinya sendiri.

“Saya mengambil banyak foto menjemukan dan mengalami beberapa kegagalan me­malu­kan,” tulis Adams dalam otobiografinya, mengingat perjalanan ke Danau Thousand Island pada 1923. Namun, satu gambar jadi sebuah pengecualian. “Saya masih bisa meng­ingat kegembiraan pemandangan itu,” lanjutnya. “Semua tepat pada tempatnya dalam cara ter­indah: bebatuan, awan, gunung, dan kondisi saat itu...” “Perjalanan pada tahun 1923 itu membantu mendorongnya mendalami fotografi­—ia sadar ia memiliki sesuatu, “kata Michael, yang mengikuti karier Adams dengan saksama, menganalisis fotonya, mendalami tulisannya, dan mengunjungi tempat kerjanya. Namun ia belum pernah mengunjungi sudut negara yang sangat disukai Adams.

“Nah, saya akhirnya sampai ke Danau Thou­sand Island,” ujar Michael bangga. Dia ber­­jalan santai di antara bebatuan besar di tepi danau menggunakan Stetson tua, dan dengan tampangnya yang kasar dan janggut putih, dia sangat mirip dengan Ansel Adams. Michael Adams adalah putra satu-satunya sang fotografer. Ia berkunjung ke tempat ini untuk berhubungan kembali dengan ayahnya dan menyelesaikan sebuah catatan kaki sejarah keluarga yang melibatkan Puncak Banner.

Michael menyusuri tepi danau, mencari tempat di mana kejadian tak disengaja itu terjadi, sementara putranya, Matthew, dan saya berjalan menjelajahi danau, mengamati pemandangan, dipanggang terik matahari, dan merasa putus asa karena tidak satu pun tempat terlihat cocok. Akhirnya kami membandingkan beberapa posisi batu dengan Puncak Banner dan menetapkan lokasi di koordinat 37° 43’ N, 119° 10’ W. Pemandangan itu persis sebagaimana di­lihat oleh Ansel Adams, kecuali tidak hadirnya awan dan pinus di sebelah kanan, yang tumbuh menghalangi pemandangan sejak 1923.

“Selain itu, pemandangannya cukup persis dengan apa yang dilihat kakek saya,” kata Matthew Adams, yang meneruskan ketertarikan keluarga dalam fotografi sebagai presiden Galeri Ansel Adams di Taman Nasional Yosemite. Me­miliki tubuh tinggi dan kurus, Matthew adalah versi muda kakeknya, dengan hidung Romawi dan alis gelap melengkung. Dia meraih kamera saku dan memotret ayahnya, yang melepaskan Stetsonnya dan berseri-seri menatap danau yang telah menarik perhatian Ansel.

Misi tercapai, kami membereskan barang dan kembali ke perkemahan. Kami menyusur jalan setapak, melintas padang rumput ting­gi yang tampak cerah berkat tetumbuhan Lupi­nus breweri dan Orthocarpus eridnthus. Selanjutnya kami melewati pepohonan juniper (sejenis pinus) di dataran tinggi, dan menyusup celah menuju Danau Clark, tempat perkemahan kami didirikan menghadap pemandangan pe­gunungan yang indah. Bayang-bayang me­manjang, bintang menempati posisinya, dan tiba-tiba udara menjadi dingin. Kami menarik kursi ke perapian, mengenang orang yang mem­bawa kami ke tempat ini.

“Kurasa ayah saya senang bahwa Sierra Club dan pihak lain telah memanfaatkan karyanya dengan baik,” kata Michael. Dia mengutak-atik kamera Polaroid barunya, membangkitkan per­tanyaan: Apakah dia seorang fotografer juga? “Tidak,” katanya. “Itulah hal pertama yang di­tanyakan orang kepada saya. Hal kedua yang mereka tanyakan adalah apa yang dipikirkan ayah tentang fotografi digital. Jawabannya, dia akan sangat menyukainya. Dia selalu bergairah membicarakan aspek teknis fotografi. Dia selalu bereksperimen. Jadi saya pikir dia akan sangat antusias dengan teknik digital, dan dia akan me­nemukan cara untuk menggunakannya.”

Saat melihat fotonya, Anda mungkin men­dapat kesan bahwa Ansel Adams adalah pria berlidah tajam, memandang dunia dengan dingin dan punya sedikit minat dalam ke­manusiaan. Sesungguhnya dia suka berteman dengan rasa humor yang membumi, cerewet, dan jaringan pertemanan luas yang begitu sedih akan kematiannya. Dua di antara temannya adalah William A. Turnage, saat itu menjabat sebagai presiden Wilderness Society, dan Alan Cranston, senator California. Ketika Adams wafat, Cranston tidak membuang waktu untuk menghubungi Turnage untuk mengungkapkan rasa simpati.

“Apa yang bisa kita lakukan untuk Ansel?” tanya sang senator. Turnage sudah mem­persiapkan jawaban: membuat daerah Kawas­an Lin­dung Ansel Adams baru. “Hal ini akan membuat Ansel bergembira melebihi segala­nya­­—tetapi hal itu butuh gebrakan di Kongres,” kenang Turnage saat memberitahu Cranston.

Sang Senator langsung menyetujuinya dan memperjuangkannya. Ia membujuk rekan partai Republik dari California, Senator Pete Wilson, agar menjadi rekan untuk mendukung undang-undang yang menambahkan lebih dari 48.000 hektare lahan Kawasan Lindung Minarets yang sudah ada dan mengubah namanya untuk meng­hormati teman mereka. Dalam beberapa bulan setelah kematian Adams, proposal itu ditandatangani oleh Presiden Ronald Reagan.

Api unggun di Danau Clark mulai meredup. Michael Adams menatap bara api dan kembali membicarakan ayahnya. “Ia akan tergelitik saat tahu bagian dari negara ini dinamai berdasarkan namanya. Ia pasti sangat senang.”