Klan Urban Genghis Khan

By , Rabu, 28 September 2011 | 12:12 WIB

Belum lama ini, seorang penggembala ternak Mongol muda bernama Ochkhuu Genen memuat sisa-sisa kehidupannya ke atas sebuah mobil pikap pinjaman buatan China, lalu membawanya pindah ke Ulanbator, ibu kota Mongolia yang semakin meluas. Dengan tubuh ramping dan tampilan bermartabat, Ochkhuu tidak menampakkan tanda-tanda kegalauan tatkala sibuk mengemas, mengangkat, membongkar, dan menata kembali barang bawaannya.!break!

Beberapa jam setelah tiba, Ochkhuu sudah merampungkan tendanya atau ger—rumah tradisional kaum nomad berbentuk bundar—di atas lahan kosong yang sempit dan berpagar yang di­sewanya di pinggiran kota. Di sekelilingnya terdapat ribuan lahan lainnya, masing-masing dengan ger di bagian tengah, berdesakan di sejumlah lereng yang menghadap ke Ulanbator. Setelah pipa tungku­nya berdiri dan tiang-tiang tendanya terpasang, dia membukakan pintu kayu yang rendah untuk istrinya, Norvoo; putranya yang masih bayi, Ulaka; dan putrinya yang berusia enam tahun, Anuka.Norvoo juga dengan lega mengerjakan tugas yang tengah di­tanganinya. Ditepisnya rasa khawatirnya sejenak untuk memastikan ger-nya terasa sama nyamannya dengan rumahnya di desa.

Namun, di luar pintunya, pemandangan benar-benar berbeda dengan pemandangan di stepa yang berjarak satu jam perjalanan ke barat daya ibu kota. Di sini, sebagai pengganti lapangan rumput, tampak pagar kayu setinggi dua meter yang berjarak beberapa meter dari ger. Dan sebagai pengganti ternak yang disayangi Ochkhuu—kawanan kuda, sapi, dan biri-biri—hanya ada anjing induk semang.

Banyak sekali gangguan di daerah kumuh yang rumah-rumahnya sudah hampir rubuh, atau kawasan ger; di situlah sekitar 60 persen dari 1,2 juta penduduk Ulanbator tinggal tanpa jalan beraspal, sanitasi, atau air leding. Seperti di daerah kumuh perkotaan lainnya, kawasan ger sarat dengan kriminalitas, minuman keras, kemiskinan, dan rasa putus asa yang menyebabkan banyak orang di sini me­lakukan hal-hal yang mengherankan bagi seorang penggembala, seperti mengunci pintu rumah pada malam hari.

“Begitu kita melangkah ke luar ger, yang kita saksikan hanyalah pagar itu,” kata Ochkhuu. “Seperti tinggal di dalam kotak.”

Kaum nomaden tidak cocok tinggal di dalam kotak, tetapi Ochkhuu dan Norvoo berada di situ bukan atas keinginan mereka sendiri. Pada musim dingin 2009-2010, sebagian besar ternak mereka tewas karena beku atau kelaparan saat terjadi dzud putih, musim yang ditandai dengan salju, es, dan cuaca dingin menggigit yang men­cekam, yang terjadi setelah musim panas yang kering; masa itu berlangsung lebih dari empat bulan. Sebelum cuaca buruk itu berakhir, ternak mereka yang jumlahnya 350 ekor susut menjadi hanya 90 ekor. Di seluruh Mongolia, sekitar delapan juta hewan—sapi, yak, unta, kuda, kambing, dan biri-biri—tewas pada musim dingin itu.

“Setelah itu, saya tidak bisa lagi membayang­kan masa depan kami di desa,” kata Och­khuu dengan suara lirih. “Jadi, kami me­mutuskan untuk menjual sisa ternak kami dan membuka lembaran hidup baru.”

Keputusan itu juga merupakan keputusan realis­tis untuk memperbaiki kehidupan anak-anak mereka. Di pedesaan, mereka sangat jauh dari puskesmas dan sekolah, tetapi di sini mereka bisa memperoleh perawatan kesehatan gratis untuk bayi mereka, dan Anuka dapat ber­sekolah di sekolah negeri.

Terdapat lebih dari setengah juta orang mirip Ochkhuu dan Norvoo yang saat ini ting­gal di UB, sebutan Ulanbator oleh orang Mongol. Banyak di antara mereka terpaksa me­­ninggalkan stepa akibat musim dingin yang berat, nasib buruk, dan masa depan yang suram. Dan sekarang, setelah tambang batu bara, emas, dan tembaga Mongolia menarik investasi asing miliaran dolar, mereka juga membanjiri UB untuk menyambar peluang kerja.

Di luar lingkungan gedung bertingkat ting­gi di pusat kota, UB sering terasa seperti kota perbatasan yang kacau balau, terhampar di sepanjang lembah sungai. Kawasan per­mukiman yang didirikan pada 1639 sebagai pusat biara Buddha dan pos perdagangan yang berpindah-pindah itu tumbuh berkembang di lokasinya saat ini pada 1778. Kota itu terhampar di sepanjang jalan utama yang ramai, yang mem­bentang di sepanjang kaki gunung yang rendah. Dewasa ini jalan tersebut dinamakan Jalan Perdamaian, dan masih jadi satu-satunya jalan yang langsung menghubungkan kedua sisi kota. Sejak subuh hingga malam hari, lalu lintas sangat padat. Mengemudi di jalan itu ibarat berada di ban berjalan yang merangkak melalui kawasan apartemen yang sudah hampir runtuh peninggalan masa Uni Soviet.

Selain itu, kaum nomad yang baru datang dalam jumlah banyak itu sama sekali tidak tahu cara mengemudikan kendaraan di kota, menye­berangi jalan ramai, atau berbasa-basi dalam per­gaulan masyarakat di lingkungan perkotaan. Tidaklah mengherankan ketika sedang meng­antre di sebuah kios kita menyaksikan se­sosok lelaki bertubuh besar dan tegap yang ber­pakaian seperti penggembala—sepatu bot stepa, topi wol, dan baju tradisional del yang dililitkan—berderap melangkah ke depan antre­an, me­nabrak pelanggan lain dengan bahunya yang lebar. Jika ada penggembala lain sedang meng­antre, dia juga didorong dengan sama keras­nya. Tidak terjadi perkelahian, tidak ada yang menggerutu. Memang begitulah keadaannya.

“Orang-orang ini benar-benar bebas,” kata Baabar, penulis dan ahli sejarah terpandang yang menulis tentang karakter bangsa Mongol. “Bahkan, meskipun mereka sudah tinggal di UB selama bertahun-tahun, mereka masih berjiwa nomaden. Mereka berbuat sesuai dengan yang ingin mereka lakukan, pada waktu yang mereka inginkan. Perhatikan saja orang yang sedang menyeberang jalan. Tidak pernah ter­pikirkan oleh mereka untuk memperhatikan orang lain, bahkan mobil yang sedang melaju sekalipun.”!break!

Pada suatu hari Sabtu pagi, Ochkhuu, Norvoo, dan kedua anak mereka kembali ke desa untuk menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua Norvoo untuk menyiapkan ladang pertanian mereka menghadapi musim dingin. Ochkhuu mem­bantu mertuanya, Jaya, memotong jerami. Jaya sudah kehilangan sejumlah besar hewan ter­nak pada masa dzud yang terakhir—jumlah ternaknya susut dari seribu menjadi 300 ekor—tetapi dia bertekad untuk bangkit, me­ngandalkan pengalaman se­­bagai penggembala selama dan setelah masa pemerintahan komunis, yang dirindukannya.