“Simpanan ini peragaan kejantanan,” kata Nicholas Brooks, sejarawan yang menyebut benda gemerlap yang ditemukan di Staffordshire sebagai “perhiasan bagi pendekar pendamping raja.” Hampir 75 persen logam dalam simpanan itu berupa emas, yang berat totalnya lima kilogram lebih. Menurut Brooks, “sumbernya misterius.” Sebagian besar emas di Inggris pada dasarnya berasal dari Roma. Emas kekaisaran jatuh ke tangan suku Germania sebagai rampasan setelah penjarahan Roma, dan simpanan yang ditemukan di Inggris mungkin pernah diedarkan kembali dan didaur ulang. Pada masa Simpanan Staffordshire, persediaan emas sudah menipis, dan sebagai gantinya digunakan perak dan aloi perak . Demikian pula, sumber batu akik—seperti emas, merupakan hal menonjol dalam simpanan itu—telah bergeser, dari India ke Bohemia dan Portugal.
Sejarawan Guy Halsall menaksir nilai emas dalam simpanan itu pada masanya setara dengan 800 solidus, senilai sekitar 80 kuda. Nilai modern temuan itu dihitung sebesar £3.285.000, atau 52,5 miliar rupiah kurang sedikit. Namun, pada zamannya, nilai simpanan itu tentu diukur dengan berbagai aspek lain. Emas memang menyilaukan, tetapi dari sudut pandang praktis, bagian senjata yang paling berharga—“bagian yang panjang, runcing, dan tajam untuk membunuh,” komentar Halsall dengan kering—tidak ada dalam harta karun itu, dan mungkin saja mata pedangnya sengaja disimpan untuk digunakan lagi.
Hal terpenting, benda-benda dalam simpanan ini dulu ditempa dan dikubur dalam dunia yang melihat kegaiban dalam peristiwa dan tindakan sehari-hari; misalnya, nasib buruk diyakini berasal dari panah kecil yang dilepaskan peri jahat, dan ada banyak peninggalan berupa jimat terhadap serangan. Kesaktian sebuah benda lebih penting daripada nilai materinya. Emas dihargai tak hanya karena bernilai tinggi, tetapi juga karena sakti (karena indah dan tidak pernah rusak), dan karenanya digunakan dalam jimat. Mitos Germania menggambarkan aula emas dewa-dewa, dan seiring semakin makmurnya gereja dan biara Kristen, mereka membuat benda sakramen dari emas. Dalam banyak budaya, seni metalurgi sendiri bernuansa gaib, dan saga Nordik memerinci dengan jelas seni gaib sang pandai logam, dari tombak dan cincin emas Odin hingga godam Thor.
Hal yang magis ini juga mungkin menjelaskan keberadaan ketiga benda yang jelas nonmiliter dalam Simpanan Staffordshire: dua salib emas dan pita emas tipis yang diukir dengan kutipan kitab suci. Agama Kristen pertama datang ke Britania bersama penjajahan Romawi, memudar seiring memudarnya bangsa Romawi, dan diperkenalkan kembali dengan bersemangat kepada Inggris Anglo-Saxon oleh para misionaris, sebagian besar dari Irlandia dan Eropa. Ada “keyakinan yang memandang perpindahan agama sebagai pertempuran spiritual,” tulis Karen Jolly, pakar tentang agama rakyat Anglo-Saxon. Berpindah ke agama Kristen adalah pertempuran jiwa—boleh dibilang peperangan, sesuatu yang dipahami kaum kafir Germania ini. Dan salib adalah lambang yang bermanfaat secara militer, yang muncul secara dramatis di pertempuran dalam sejarah. Venerabilis Beda berkisah tentang raja Northumbria, Oswald, yang sebelum Pertempuran Heavenfield melawan bangsa Wales pada tahun 634 “menegakkan tanda salib suci dan, sambil berlutut, berdoa agar Tuhan mengirim bantuan surgawi kepada para penyembahnya yang menghadapi kesukaran.” Dia dan anak buahnya lalu “meraih kemenangan yang sesuai dengan iman mereka.” Yang aneh, salah satu dari kedua salib dalam simpanan itu sengaja dibengkokkan dan dilipat, sama seperti banyak benda lain yang ada di sana. Apakah ini untuk “membunuh” kesaktian militernya, seperti pada pedang?!break!
Kemungkinan ini semakin meyakinkan karena adanya satu-satunya benda lain yang tampaknya nonmiliter: Pita emas tipis, kedua sisinya diukir dengan kutipan kitab suci yang sama, yang, menariknya, juga dilipat. “[S]urge d[omi]ne disepentur inimici tui et [f]ugent qui oderunt te a facie tua—Bangkitlah, Tuhan, supaya musuh-Mu berserak dan orang-orang yang membenci Engkau melarikan diri dari hadapan-Mu.” Kutipan ini berasal dari teks Vulgata Latin ayat Bilangan 10:35 dan Mazmur yang kini bernomor 68:1—ayat yang mungkin digunakan untuk tujuan yang tidak lazim. Dalam Life of Saint Guthlac, yang ditulis sekitar tahun 740, Guthlac diganggu setan, lalu ia “menyanyikan ayat pertama Mazmur 67 seolah-olah bernubuat, ‘Bangkitlah, Tuhan,’ dll.: Ketika mereka mendengar ini, pada saat yang sama, lebih cepat daripada kata-kata, semua rombongan setan lenyap bagai asap dari hadapannya.” Bahkan benda nonmiliter dalam Simpanan Staffordshire itu tampaknya memiliki fungsi gaib yang bermanfaat secara militer.
Bangsa Mercia adalah perampok perbatasan yang agresif—nama Mercia berasal dari kata Inggris Kuno mierce, yang berarti “orang perbatasan”—dan mungkin itu sebabnya simpanan itu terdiri atas benda dengan gaya dari berbagai daerah. “Simpanan itu ditemukan di zona perbatasan, yang selalu menarik,” kata Kevin Leahy. “Tempatnya di perbatasan Mercia dan Wales.” Dengan kata lain, wilayah yang diperebutkan. Sekitar tahun 650, di Lembah Trent di Staffordshire, dekat Lichfield, terjadi pertempuran kecil yang melibatkan orang Mercia dan tetangga Wales mereka. Banyak rampasan perang diangkut dari situ—mungkin lewat jalan Romawi tua, Watling Street, yang melewati tempat ditemukannya Simpanan Staffordshire. Peristiwa dan tempat ini diperingati dalam puisi Wales “The Death Song of Cynddylan”:
Mulia dalam perang! Rampasan melimpahDibawa Morial dari garis depan Lichfield.Seribu lima ratus ternak dari garis depan;delapan puluh kuda jantan dan abah-abah.Uskup kepala merana di rumah sudut empat,biarawan pembukuan tak melindunginya.Rombongan 80 kuda dan rampasan dari seorang uskup “merana” (detail yang tergambar dari ukiran dan salib emas): Puisi itu menawarkan penjelasan menarik tentang simpanan itu, tetapi sayangnya penjelasan itu dibangun dari bukti tak langsung yang lemah, yang kebetulan tersisa dari zaman yang sebagian besar buktinya telah lenyap. Kita dapat menyusun banyak teori lain yang menarik. Kelompok tak dikenal itu mungkin memilih tempat penguburan karena tempat itu tersembunyi—atau justru karena menonjol. Permakaman itu mungkin ditandai agar dapat ditemukan, atau mungkin diniatkan sebagai sesajen yang tersembunyi selamanya dari semua orang, kecuali dewa-dewa mereka. Simpanan itu mungkin tebusan, rampasan perang, atau tanda syukur. Mungkin juga koleksi pusaka Anglo-Saxon yang dikubur pada masa setelah itu.
Di masa kini, lanskap Mercia yang sudah pupus masih menggema dalam nama-tempat Anglo-Saxon, seperti nama yang berakhir dengan “leah” atau “ley,” yang berarti “hutan terbuka”, seperti Wyrley, atau Lichfield sendiri, yang namanya berarti kira-kira “padang gembala umum di dalam atau samping hutan kelabu.” Tempat penguburan simpanan itu kini berupa padang rumput tempat kuda Fred Johnson merumput. Kemungkinan besar kita tak akan pernah tahu kisah di balik Simpanan Staffordshire, tetapi di dunia tanpa mantra atau naga seperti sekarang, mampukah kita memahaminya seandainya kita tahu?