Sarsembek Zhunusov, kepala arsitek kota, teringat rasa gentar yang dialami rekan-rekannya ketika beberapa tahun yang lalu Nazarbayev menyatakan bahwa dia ingin membangun sebuah piramida besar. “Semua orang merasa takut karena kita harus menjadi arsitek hebat untuk membangun sebuah piramida.”
Pekerjaan membangun Istana Perdamaian dan Harmoni akhirnya jatuh kepada Norman Foster, arsitek Inggris yang juga bertanggung jawab untuk pembangunan Khan Shatyr, atau “tenda raja,” sebuah bangunan anggun, tembus pandang yang mengingatkan kita akan sebuah yurt (tenda khas Kazakh).
Nazarbayev tetap ingin terlibat dalam setiap perencanaan kota itu, sampai ke pilihan hamparan bunga dengan pola memikat. “Dia selalu memiliki beberapa komentar,” ujar Zhunusov. Saat inti ibu kota hampir selesai, Nazarbayev memerintahkan para arsitek untuk mengeksplorasi kemungkinan membangun tenda raksasa lainnya yang akan menampung “kota dalam ruangan” dengan pengendalian-suhu berkapasitas 15.000 orang.
Mungkin tempat terbaik untuk mengetahui sejauh mana ambisi—dan ego—yang dimiliki Nazarbayev adalah ruang pengamatan di atas Baiterek. Di tengah-tengah lantai dengan pemandangan 360-derajat dan bar yang menyajikan bir Turki dingin tampak tumpuan perunggu ditutup sebuah lempengan emas padat seberat dua kilo, di tengah-tengahnya terlihat cap tangan kanan sang presiden.
Kota ini pun memiliki sisi jenakanya. Patung-patung yang diselimuti tanaman anggur—angsa, kuda, jerapah—tampaknya lebih dekat dengan Disneyland daripada Pyongyang. Pada sore yang segar di bulan Juni, anak-anak meniup gelembung sabun di alun-alun di samping Air Mancur Menari, yang diterangi lampu warna-warni saat lagu hip-hop Rusia dikumandangkan dari beberapa pengeras suara besar.
Pemain skateboard mengenakan celana jeans rendah memamerkan keahliannya saat polisi melihat acuh tak acuh. Kafe di luar melayani anggur Prancis seharga sekitar Rp156.000 per gelas.
Etos ibu kota yang meledak-ledak mungkin menemukan puncak ekspresinya di pusat perbelanjaan, dengan Khan Shatyr—tenda rancangan Foster—adalah tempat yang paling terkenal. Tingkat paling atas menjadi sebuah pantai dalam ruangan dilengkapi kolam renang arus dan pasir impordari Maladewa.
Astana bukanlah sekadar proyek kesombongan seorang diktator atau kota tempat orang-orang kaya berpesta, melainkan juga magnet bagi para pencari kerja seperti Yernar Zharkeshov. Juga, seperti Darkhan Dossanov, seorang pria gigih berusia 25 tahun yang dengan senyuman miring lalu mendekati saya di jalan pada satu malam untuk melatih bahasa Inggrisnya.
Enam hari sebelumnya, ia tiba di ibu kota hanya dengan membawa ponsel dan Sony PlayStation jinjing, setelah menjual kamera digitalnya untuk membeli tiket kereta api dari rumahnya yang berjarak sekitar 800 kilometer sebelah timur ibu kota. Ia telah mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pelayan di sebuah restoran Italia nan mewah. Sebelum menemukan tempat berteduh di sebuah apartemen tiga kamar tidur sempit bersama dengan sepuluh orang lainnya, dia tidur di atas beberapa kursi restoran yang disatukan.
Seminggu kemudian, Dossanov mengatakan kepada saya bahwa dirinya telah kehilangan pekerjaan di restoran karena penglihatannya yang terganggu. Akhirnya, dia melamar pekerjaan ke sebuah restoran lain dan tetap yakin bahwa dirinya telah membuat pilihan yang tepat dengan datang ke Astana. !break!
Memang, energi kreatif dan kewirausahaan tampak bergejolak di kalangan muda Astana. Dalam teater lusuh di Bantaran Kanan Sungai Esil, empat penari muda melompat dan berputar mengikuti rutinitas tarian avant-garde di bawah tatapan tajam Adyl Erkinbaev, seorang penari dan koreografer berusia 32 tahun yang menata rambutnya dengan ekor kuda pendek.
Erkinbaev berasal dari Kirgistan, tempat dirinya menghadiri sekolah balet nasional. Dia pindah ke Astana pada tahun 2002 sebagai bagian dari inisiatif pemerintah kota untuk memenuhi ibu kota baru dengan kaum seniman dan penampil. Musim semi lalu, balet bangkrut tetapi Erkinbaev telah merekrut empat penari untuk sebuah produksi independen.